Menjaga Identitas Budaya: Dongkrek Jawa Timur dalam Dinamika Era Globalisasi
Nama penulis: Musa Dwi OktovianÂ
Kelas: 12 IPS 2Â
Sekolah: SMAN 3 Kabupaten Tangerang
Budaya asli Jawa Timur
Jawa Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di bagian timur Pulau Jawa. Provinsi Jawa Timur didirikan pada tanggal 4 Maret 1950 berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Timur sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1950 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Timur. Provinsi ini secara keseluruhan terdiri atas 29 Kabupaten dan 9 Kota, dengan total 38 wilayah tersebut, Jawa Timur memiliki budaya yang kaya dan beragam. Dalam aspek kebudayaan, Jawa Timur dikenal dengan beragam tradisi, seni, dan kesenian yang khas, seperti wayang kulit, tari tradisional, musik gamelan, Â dan batik.
Salah satu kesenian yang terkenal adalah Dongkrek, sebuah kesenian yang memadukan antara seni tari, musik, topeng, dan drama yang biasanya dipertunjukan dengan arak-arakan keliling kampung. Kesenian ini erat kaitannya dengan ritual yang diikuti oleh 34 orang penari dan pemusik. Dalam sajian ritual, Dongkrek digelar dalam suasana yang gelap, yakni tengah malam Jumat Legi/pada saat bulan suro. Namun, setelah meninggalnya Raden Ngabei Lo Prawiro Dipuro, keberlangsungan Dongkrek mengalami masa transisi.Â
Kegiatan arak-arakan yang biasanya dilakukan pada setiap bulan suro mulai surut, dan bahkan kegiatan Dongkrek sempat hilang dari wilayah Mejayan. Hal tersebut dapat menjadi sasaran yang empuk dalam pernyataan bahwa anak muda malas atau tidak berminat meneruskan kesenian tradisional karena melekat dengan stigma yang membosankan.Â
Juga pada kenyataannya mereka para anak para peneru, yaitu masyarakat asli yang seharusnya menjadi penerus malahan leih memilih berpindah haluan pada budaya luar terutama pada anak muda. Sehingga membuat kearifan lokal wilayahnya hilang. Keberlangsungan dongkrek mengalami kemunduran. Kegiatan arak-arakan yang biasanya dilakukan pada setiap bulan Suro/Jum'at Legi mulai surut, dan bahkan kegiatan Dongkrek hilang sama sekali dari wilayah Mejayan. Hal itu karena adanya pewarisan yang tidak mengakar pada keluarga Lo Prawiradipoera.
Oleh karena itu, di zaman sekarang meskipun Indonesia memiliki keragaman budaya yang melimpah, kita tidak dapat memungkiri bahwa saat ini hampir semua negara di dunia telah mengalami dampak dari globalisasi. Sebagai sebuah "ruang interaksi", era globalisasi bisa dilihat sebagai arena kontestasi yang terjadi antar berbagai elemen kehidupan manusia di seluruh dunia.
1 Dalam proses ini, globalisasi memberikan dampak yang mendua. Di satu sisi, globalisasi memberikan ruang keterbukaan terhadap setiap negara untuk mempromosikan nilai-nilai budayanya kepada negara lain. Akan tetapi di sisi yang lain, globalisasi menjadi ranah pertarungan bagi nilai-nilai yang ada di dunia. Nilai yang lebih dominan akan berkuasa dan tidak akan tunduk atau berakulturasi dengan yang menang. Kesenian seperti Dongkrek akan mulai tergeser kearah kesenian yang berdimensi komersial sebagai akibat proses industrialisasi, sistem ekonomi pasar, dan globalisasi informasi.