Oleh. Titin kartini
Dalam kesempatan wawancara AIMAN, Profesor Hamdi Muluk seorang peneliti psikologi Universitas Indonesia (UI) mengungkapkan, hanya dengan politik uang seorang caleg bisa menembus konstestasi dan menjadi pemenang.
Berita tersebut sebenarnya tidak mengagetkan. Hal tersebut sudah lumrah dalam masyarakat terkait persaingan para calon penguasa dalam sistem demokrasi. Mereka akan menggunakan berbagai macam cara untuk mendulang suara walau dengan cara-cara haram sekalipun dan ini sudah rahasia umum.
Pengamat politik DPP UGM Mada Sukmajati menyatakan, "Politik uang dengan jual beli suara akan masif di daerah dengan tingkat pendapatan dan pendidikan rendah yang banyak, serta memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Politik uang terjadi karena berbagai macam faktor, ada ekonomi, politik, hukum, dan budaya", ujar Mada.
Adanya jeratan pragmatisme politik dalam demokrasi membuat para calon penguasa melakukan semua itu. Pragmatisme sendiri adalah sebuah sikap yang meletakkan segala sesuatu di atas asas kemanfaatan. Pelakunya akan  menghalalkan segala cara untuk meraih tujuannya dengan mengabaikan asas kebenaran, kebaikan maupun kepantasan.
Dalam dunia politik, istilah pragmatis merujuk pada prilaku politisi yang cenderung melihat bahwa realitas itu lebih baik dan kemudian manusia harus tunduk pada apa yang disebut realitas. Salah satu ciri dari orang pragmatis adalah tak lagi memegang ideologi. Ideologi telah tergantikan oleh konflik kepentingan (conflict of interest).
Hasilnya, masyarakat sekarang sangat sulit untuk menemukan politisi yang benar-benar idealis walaupun mereka berasal dari parpol yang berhaluan agama Islam sekalipun.
Para ulama menjelaskan pentingnya agama berdampingan dengan  kekuasaan, "Agama dan kekusaan itu ibarat dua saudara kembar". dikatakan pula bahwa,  "Agama adalah pondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak berpondasi akan hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap".
(Abu Abdillah al-Qal'i, Tadrib ar-Riyasah wa Tartib as-siyasah, 1/81).
Dalam demokrasi dengan ideologi kapitalisme dan sekularismenya tentu agama tidak akan pernah dijadikan pondasi pada diri calon para penguasa ini, karena ketika mereka ingin menjadi penguasa, mereka hanya menggunakan standar perbuatan manfaat dan memisahkan agama dari standar perbuatan mereka.
Dalam Islam kekuasaan adalah amanah sehingga mereka tidak berlomba-lomba dalam mengejar kekuasaan, karena beratnya beban yang akan mereka tanggung baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Allah SWT berfirman : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta jangan mengkhianati amanah-amanah kalian, sementara kalian tahu".
(TQS al-Anfal (8):27)
Rasulullah Saw bersabda : "Ada tiga perkara, yang siapapun melakukan tiga perkara tersebut, dia tergolong orang munafik meski ia shaum, shalat, dan mengklaim dirinya muslim yaitu : jika berkata dusta; jika berjanji ingkar; dan jika diberi amanah khianat."
(Ibn Bathah, Al-Ibanah al-Kubra, 2/697)
Namun sangat sulit bahkan tidak mungkin kita menemukan para calon penguasa yang amanah dan mempunyai ketakwaan kepada Allah dan Rasul-Nya dalam demokrasi. Kekuasaan yang ingin meraka raihpun sudah menggunakan cara-cara yang haram bagaimana ketika mereka sudah berkuasa pasti akan lebih lagi perbuatannya. Kalau pun ada, penguasa yang baik dan amanah harus berada pada sistem yang baik pula.
Walhasil, kita akan menemukan calon penguasa yang melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya ketika sistemnya pun berubah bukan lagi sistem buatan manusia yang terbukti kebobrokannya tetapi dengan sistem islam yaitu khilafah satu-satunya sistem yang berasal dari Sang Pencipta Manusia Allah SWT.
Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H