Mohon tunggu...
Musyaffa M Sos
Musyaffa M Sos Mohon Tunggu... Dosen - When we should change, there is chance

We never die, couse always think and show writting....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Media Komunikasi dan Perkembangannya

24 Maret 2020   17:00 Diperbarui: 30 Maret 2020   14:45 1256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diskursus mengenai media komunikasi dan pengembangannya menjadi menarik saat ini. Karena, pada dasarnya Indonesia saat ini merupakan hasil metamorfosa atau evolusi bahkan revolusi dari perkembangan media komunikasi dari masa ke masa. Tentu, setiap masa mempunyai media, dan setiap media memiliki masanya. 

Secara Common Sense, banyak pihak mengira bahwa media komunikasi era sekarang masih banyak pembatasan dan keterbatasan. Padahal, secara historis, media komunikasi hari ini jauh lebih berkembang pesat dan progresnya signifikan, jika dibandingkan beberapa abad terlewat.

Sumarno dalam literasinya, berjudul "Sistem Komunikasi Indonesia", mengulas singkat tentang perkembangan media komunikasi. Ia paparkan dengan sistematis sejak masa Kerajaan-Kerajaan Tua (Kerajaan Hindu-Budha). Ia paparkan sedemikian rupa, dari mengulas makna simbolik sebuah prasasti, hingga alat-alat tradisional. 

Lebih menarik, ada segmen khusus terkait perkembangan media komunikasi pada masa Islam datang, disertai ulasan perkembangan medianya. Hingga pada akhirnya, ia tukilkan sedikit bahasan terkait media pers, setidaknya menjelaskan deskripsi perkembangan sejak era kemerdekaan, berlanjut pada masa Orde Lama, hingga menjelang Orde Baru. 

Tentu, pada bahasan ini, penulis juga memaparkan perkembangan media komunikasi secara makro sejak Orde Baru tumbang, berlanjut memasuki masa Reformasi jilid I, hingga saat ini tengah memasuki akhir Reformasi Jilid II. Hal ini penting, karena masa reformasi, baik pada tahap I hingga tahap II menjadi 'Angin Segar' bagi insan pers dimana saja berada. 

Kini, mereka sebenarnya tidak begitu khawatir dengan upaya pembredelan oleh pihak pemerintah. Justru, tumbangnya industri media saat ini, berawal dari persaingan antara media senyawa, atau saat ini media non-senyawa (Media Siber). Khusus mengenai perkembangan media siber saat ini akan dibahas pada bagian akhir dari ulasan ini.

Perkembangan Media Komunikasi Era Kerajaan hingga Gambarannya Saat Ini

Penulis memulai dari perkembangan media komunikasi sejak jaman kerajaan-kerajaan tua di Indonesia, sebagaimana Sumarno ulas.  Pada bagian pertama, titik fokus deskripsi pada masa kerajaan tua. Media komunikasi pada masa itu masih mengoptimalkan pemanfaatan alat-alat tradisional, seperti: genderang, kentongan, bahkan terompet tanduk kerbau. 

Tentu, hal itu dengan menggunakan nada dan bunyi sebagai sandi yang sudah diketahui dan disepakati bersama di kalangan mereka. Beberapa daerah yang saat itu menggunakan alat tersebut, seperti:Masyarakat Dayak di Kalimantan. 

Sementara itu, genderang hampir digunakan oleh rata-rata Kerajaan guna menginformasikan kepada rakyat dan prajurit untuk bersiap menghadapi peperangan. Sama halnya dengan tiupan terompet dari Tanduk Kerbau, juga memiliki pesan dan makna tersendiri. Dua media komunikasi ini memiliki keterbatasan, salah satunya terbatasnya radius jangkauan suara. 

Karenanya, mereka dan juga kerajaan di Jawa, memanfaatkan kentongan dalam menginformasikan sesuatu hal penting kepada rakyat. Karena kentongan, memiliki jangkauan siar yang jauh lebih luas. Uniknya, tidak boleh sembarangan memukul kentongan. Setiap bunyi atau nada kentongan memiliki makna tersendiri. Misal, satu kali kentongan menandakan ada bahaya, dua kali kentongan ada rombongan yang mendatangi kerjaan, demikian seterusnya. Beda halnya masyarakat Sunda, justru menggunakan media Alu dan Lesung yang menghasilkan bunyi Tutunggulan. 

Pada masa terdahulu, tidak hanya menggunakan tiga jenis media komunikasi sebagaimana penulis deskripsikan di atas. Media komunikasi lain yang tak kalah efektifnya, salah satunya 'Titah dan Sabda Raja'. Tulisan dengan huruf Ka-Ga-Nga(Di Bengkulu dan Sumatera Selatan hingga sebagian Lampung menggunakan huruf ini pada beberapa suku), juga tulisan huruf Pallawa (Jawa dan beberapa wilayah lainnya), secara simbolis menyusun pesan penting dari Raja kala itu.

 Pesan penting dari Raja itulah yang selanjutnya dikenal istilah 'Titah Raja atau Sabda Raja'. Biasanya mereka tulis pada Kulit kerbau. Apakah saat ini masih dijumpai hal demikian? Iya, terutama pada daerah-daerah yang masih kental dengan nuansa Kerajaan. Misal, Titah Raja Kesultanan Ngayogjakarta Hadiningrat. Pada Kamis,30 April 2015, Raja Yogjakarta, Sri Sultan Hamengkubowono X, mengeluarkan Titahnya, yang dikenal dengan 'Sabdaraja'.  Adapun isi lengkapnya sebagai berikut:

"Gusti Allah Gusti Agung Kuasa cipta paringana sira kabeh adiningsun sederek dalem sentolo dalem lan Abdi dalem. Nampa welinge dhawuh Gusti Allah Gusti Agung Kuasa Cipta lan rama ningsun eyang eyang ingsun, para leluhur Mataram Wiwit waktu iki ingsun Nampa dhawuh kanugrahan Dhawuh Gusti Allah Gusti agung, Kuasa Cipta Asma kelenggahan Ingsun Ngarso Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Surya Ning Mataram Senopati ing Ngalaga Langgenging Bawono langgeng ing tata Panatagama. Sabda Raja iki perlu dimengerteni diugemi lan ditindake yo mengkono." 

Di era saat ini, Titah Raja sebagaimana tersebut di atas, disebarkan melalui media massa. Namun, uniknya, pada era terdahulu, Titah Raja harus dipasang di Alun-Alun pada pohon-pohon besar atau diedarkan melalui para prajurit dengan menunggangi kuda. Mereka sebarkan ke seluruh rakyat dengan berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya. Titah Raja sebagaimana tersebut di atas, masih bersifat satu arah. 

Pada era Kerajaan, suara rakyat dapat juga tersampaikan melalui aneka media yang unik. Rakyat dapat menyampaikan aspirasinya melalui seni budaya yang disenangi raja. Bentuknya beragam dan menggunakan bahasa, "Panca Curiga". Hal itu biasanya berbentuk, Silib, Sindir, Seloka, Sasmita dan Simbol. 

Sudah dua hal yang penulis utarakan, makna simbol alat media tradisional dan titah atau sabda raja. Selanjutnya, ada hal yang tak dapat ditinggalkan untuk dipelajari. Hal ketiga yang perlu dipahami seksama adalah adanya pesan melalui prasasti dan candi-candi. Jika kita menyempatkan berkunjung di berbagai daerah di Jawa, maka mudah dikunjungi aneka candi yang tersebar di berbagai daerah. 

Setiap candi memiliki relief di dinding candi, menggambarkan suasana orang-orang di saat itu, baik secara tekstual maupun kontekstual. Penulis masih kesulitan memahami alur cerita di relief itu. Padahal, jika kita dapat mengetahui alur cerita relief candi dan prasasti, maka banyak pelajaran dan hikmah manfaat yang diperoleh. 

Candi Penataran di Blitar memiliki Relief yang mudah dimengerti, Gambaran Candi Hindu. Foto: Penulis saat mengunjungi Candi Penataran pada 2014 Silam | dokpri
Candi Penataran di Blitar memiliki Relief yang mudah dimengerti, Gambaran Candi Hindu. Foto: Penulis saat mengunjungi Candi Penataran pada 2014 Silam | dokpri
Media Komunikasi Era Awal Masuknya Islam

Secara tradisional, Wali Songo sebagai icon atau figur Islamisasi di Nusantara melakukan pendekatan budaya. Media arus bawah menjadi primadona dalam bentuk kesenian dan kebudayaan. Sehingga, substansi makna Islam dapat diterima dengan senang hati oleh masyarakat lintas generasi. Sebagai contoh, Gamelan yang sering dikenal Sekaten pada Keraton Cirebon dan Yogyakarta dibunyikan pada keramaian Gerebeg Maulud. Bahkan, cerita wayang dengan dasar tokoh dari cerita Mahabarata dan Ramayana pun tak terhindar dari modifikasi tokoh. Para wali menggantinya dengan tokoh dan figur Islam.  Ini merupakan fase bahwa Islam dikomunikasikan dengan demokratis, tanpa paksaan dan intimidasi.
Era keterbukaan komunikasi yang demokratis tersebut, juga memberi ruang dialektika problem kehidupan rakyat proletar. Melalui kegiatan seni, aspirasi rakyat dapat tersampaikan di hadapan raja. Uniknya, hal tersebut tanpa menyinggung raja dan pemerintahannya. Wajar jika ada teori menyebut bahwa akar komunikasi nasional bermula dari budaya bangsa.

Media Pers dan Media Lainnya

Jauh sebelum hari ini, banyak pihak mengenal media arus utama raksasa di Indonesia. Nyatanya, hal itu bermula dari embrio yang jarang orang ketahui. Setahun setelah Kebangkitan Indonesia 1908, telah ada media di bumi pertiwi. 1909 E.F.E Douwes Dekker atau Dr. Danudirdjo Setya Budi mulai merintis pers berbahasa melayu. Hal itu karena didasarkan pada pengalamannya menjadi Editor media Belanda, Bataviasche Niewsblad. 

Pada 1910, muncul Surat Kabar Mingguan, sebelum akhirnya menjadi surat kabar harian, yakni Medan Prijaji. R.M Tirtohadisuryo pun menjadi pemimpin redaksi. Pada masa inilah pergulatan dunia jurnalistik berkembang, hingga akhirnya R.M Tirtohadisuryo didaulat sebagai Bapak Jurnalistik di Indonesia. Meskipun, tulisannya berbau sarkastik dan kerap memicu amarah penguasa saat itu. Sehingga, ia pun dipindahkan oleh Belanda ke Lampung. 

Selain Harian Medan Prijaji, berikutnya muncul media pers yang mengusung tema pergerakan politik. Selain berbicara politik, media ini juga berbicara mengenai ekonomi dan perburuhan. Media tersebut dikenal sebagai Surat Kabar Oetoesan Hindia. Dari masa inilah, media banyak bermunculan dengan membawa platform yang sama, yakni: memacu pergerakan kemerdekaan Nusantara.

Memasuki masa kemerdekaan, fungsi pers beralih menjadi fungsi membantu pembangunan negara. Pemerintah saat itu meminta insan pers, agar menyajikan berita atau artikel yang dapat memproduksi opini positif dan memotivasi masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan bangsa dan negara. Karenanya, semua pers harus memegang teguh prinsip pers Pancasila, yakni Bebas dan Bertanggung Jawab. Fred Siebert, Wilbur Schramm, dan Theodore Peterson dalam bukunya Four Theories of the Press (1903) mengamati setidaknya ada empak kelompok besar teori (sistem) pers, yakni sistem pers otoriter (aouthoritarian), sistem pers liberal (libertarian), sistem pers komunis (marxist), dan sistem pers tanggung jawab (Social Responsibility). Indonesia seperti telah disebutkan di awal, menganut sistem pers tanggung jawab. 

Seiring berjalannya waktu, media pers dikuatkan dengan hadirnya media penyiaran. Perkembangan teknologi komunikasi secara signifikan terjadi. Apalagi, saat itu telah diorbitkannya Satelit Palapa A dan Palapa B. Meskipun, terdapat kemajuan dalam teknologi, tetapi pers mengalami atmosfer yang tidak menentu. Sejak era orde lama hingga orde baru, pers mengalami fase 'ancaman' dari penguasa, jika kontennya dianggap terlalu tajam, Guna mendirikan dan mengaktifkan media saja perlu rangkaian birokrasi yang kompleks.
Namun, hal itu tidak menjadi permasalahan berlarut. Menyusul kebijakan Presiden Habibie yang lebih memanusiakan insan pers. Sebelumnya, mereka harus mendapatkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), sebelum mengeluarkan konten persnya. Namun, di Era Habibie, melalui kebijakan Menteri Yunus Yosfiah, SIUPP dicabut. Ini menjadi angin segar bagi insan pers di Indonesia. 

Memasuki era reformasi, pers kian memperoleh kedudukan dan kebebasan dalam suasana demokratis. Berbagai media berkembang signifikan. Media khusus berita sudah tidak lagi TVRI, tetapi ada Metro TV dan TV One (Dahulu Lativi), dan saat ini ada Inews TV. Dan pada fase reformasi jilid II, media seperti itu mulai melakukan konvergensi melalui jejaring internet. Saat ini, media arus utama tersebut telah memanfaatkan media internet, dan telah memiliki platform media siber tersendiri. Uniknya, media pers yang bertahan secara konvensional dengan mengandalkan oplah cetak, sudah banyak yang berguguran. Misal, pada 2018, harian Surat Kabar Pat Petulai resmi tutup. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun