Mohon tunggu...
Musyaffa M Sos
Musyaffa M Sos Mohon Tunggu... Dosen - When we should change, there is chance

We never die, couse always think and show writting....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ekspedisi Bantuan Sosial pada Suku Terasing di Jambi

5 Agustus 2018   22:49 Diperbarui: 7 Agustus 2018   15:07 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jembatan Jeramba Besi, Hanya terdiri dari Kayu bersusun, dengan kondisi berlubang/dokpri


Suku Anak Dalam (SAD), sebuah suku terasing yang masih bertahan hingga saat ini. Suku ini mendiami wilayah administrasi Provinsi Jambi, tersebar hampir di seluruh kabupaten, salah satunya mereka yang tinggal di wilayah Kabupaten Muaro Jambi. Hal menarik dari perjalanan ini, yaitu mengunjungi mereka yang saat ini mendapatkan program Bantuan Sosial Non Tunai Bersyarat.

Ekspedisi kali ini berlangsung selama dua hari satu malam. Ekspedisi diawali pada hari Senin (30/07) dan berakhir pada Selasa (31/07). Adapun penulis melakukan penjelajahan terhadap mereka yang mendiami salah satu daerah sengketa tapal batas dan sengketa kepemilikan lahan.

Daerah tersebut terletak di lima dusun, yakni Dusun Kubangan, Dusun Sei Jerat atau Pangkalan Ranjau, Dusun Mandiri Alam Sakti, dan Dusun Sei Beruang dan Dusun KM 35. Kelima dusun tersebut berada di Desa Tanjung Lebar, Kec. Bahar Selatan.

Perlu diketahui, populasi masyarakat SAD di desa tersebut berkisar 300 hingga 500 Kepala Keluarga (KK). Namun, hingga saat ini, hanya tujuh KK yang mendapatkan bantuan sosial nontunai bersyarat.

Bantuan sosial tersebut dikenal dengan istilah Program Keluarga Harapan (PKH),  merupakan salah dua dari berbagai program bantuan pemerintah lainnya.

Dari perjalanan penulis, setidaknya, hanya PKH dan Beras Sejahtera (Rastra)  secara berkala dirasakan oleh masyarakat SAD. Adapun,  program komplementer lainnya, hingga saat ini belum dirasakan manfaatnya oleh mereka.

Catatan penulis juga, mereka mendapatkan bantuan sosial PKH sejak tahun 2016. Mereka, antara lain: Cik Misa, Lija, Mariya, Mulyani, dan Saemunawati. Sementara itu, mereka yang mendapatkan bantuan PKH 2017, yakni: Too dan Erni. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kurang dari satu persen dari populasi SAD di wilayah tersebut sebagai peserta PKH.

Sedangkan, bantuan lainnya seperti Rastra terbilang jauh dari kondisi ideal.  Rastra, belum dapat dirasakan sepenuhnya oleh komunitas mereka. Setidaknya, hanya RT. 011 Pangkalan Ranjau yang mencicipi Rastra, meskipun hanya mendapatkan satu kilogram per KK.

Padahal, sesuai dengan Pedoman Umum tentang Rastra oleh Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Puan Maharani, menyebutkan bahwa Keluarga Penerima Manfaat (KPM), berhak memperoleh 10 Kg Rastra per bulan secara gratis. Namun, hal ini dapat dipahami, karena kuota bantuan tidak sesuai dengan kondisi jumlah penerima.

PKH yang direpresentasikan dengan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) setidaknya telah memberikan harapan nyata bagi mereka, dan merasakan hadirnya peran pemerintah dalam kehidupan mereka. Meskipun, program lain seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) juga sangat penting bagi keberlangsungan hidup mereka. Tak satupun dari mereka memperoleh KIS dan KIP.

Belum lagi, tingkat partisipasi mereka masih jauh dari kondisi semestinya pada aspek layanan kesehatan. Selain, menurut mereka, persoalan akses layanan kesehatan tertumpu pada akses jangkauan dan kekhawatiran biaya.

Sementara, pada aspek layanan pendidikan, terjadi karena kondisi sekolah yang jauh, dan ketidaktahuan mereka pada usia awal anak sekolah. Pada aspek pendidikan, banyak dari mereka baru menyekolahkan pada usia di atas sepuluh tahun.

Setidaknya, penulis menjumpai satu unit fasilitas pendidikan dan satu unit fasilitas kesehatan, selama ekspedisi berlangsung. Fasilitas pendidikan di daerah tersebut masih terbilang cukup memprihatinkan.

Sementara itu, kondisi apa adanya juga terjadi pada fasilitas kesehatan. Hal inilah, semestinya segera memperoleh perhatian besar dari pemerintah dan pihak terkait, apalagi di usia Indonesia memasuki 73 tahun.

Perjalanan ekspedisi ini menarik bagi penulis, selain perhatian pada SAD, juga merupakan perjalanan pertama kali menjelajahi bagi penulis selama bertugas di daerah ini. Berikut, penulis jabarkan melalui sub-sub tema ekspedisi kali ini.

Pertemuan antara Pendamping Sosial dan Penerima Bantuan dari SAD//dokpri
Pertemuan antara Pendamping Sosial dan Penerima Bantuan dari SAD//dokpri
Situasi "Geografis"

Daerah ekspedisi kali ini berada di area tapal batas. Sebelah Selatan dan Timur berbatasan dengan Bayung Lincir, Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan. Sebelah Barat perbatasan dengan Bungku, Bajubang, Kab. Batang Hari. Sebelah Utara perbatasan dengan Desa Adipura Kencana, Bahar Selatan, Kab. Muaro Jambi. Namun, setelah dilakukan pengamatan lebih lanjut, daerah tersebut berada pada titik koordinat wilayah administrasi desa Bungku, Kec. Bajubang, Kab. Batang Hari.

Saat penulis, mengikuti rapat koordinasi forum kepala desa, didapati informasi dari Camat Bahar Selatan, bahwa daerah tersebut secara administrasi masih menjadi sengketa dan sedang dalam proses perundingan di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Menurutnya, proses diskusi pun tengah berlangsung antara pejabat teras Kab. Muaro Jambi dan Kab. Batanghari. Meskipun, hingga saat ini, dampak sengketa berimplikasi kepada akses dan infrastruktur penunjang ekonomi masyarakat di sana.

Selanjutnya, saat menyusuri daerah tersebut. Penulis mendapati kondisi infrastruktur yang memprihatinkan. Akses produksi berupa jalan dan jembatan belum dikelola secara maksimal. Perjalanan dari desa Tanjung Sari, Bahar Selatan, menuju dusun Kubangan dapat dilalui kendaraan roda empat.

Namun, memasuki wilayah dusun Komunitas Adat, penulis mulai mendapati kondisi jalan setapak, lengkap dengan kondisi jembatan bermaterial kayu dan dalam kondisi yang memprihatinkan. Sebelum akhirnya penulis memasuki Gapura Adat, lalu berhenti sejenak di rumah Ketua RT. 11, Amir Hamzah.  Amir Hamzah selanjutnya menemani penulis berekspedisi.

Jembatan Jeramba Besi, Hanya terdiri dari Kayu bersusun, dengan kondisi berlubang//dokpri
Jembatan Jeramba Besi, Hanya terdiri dari Kayu bersusun, dengan kondisi berlubang//dokpri
Tidak hanya jalan setapak dengan kondisi medan curam dan menanjak. Kondisi hutan belantara pun tergantikan dengan tanaman industri dan perkebunan. Hamparan tanaman Kelapa Sawit juga beberapa luas tanaman karet menjadi pemandangan bagi penulis dalam ekspedisi tersebut. Tak sedikit pula, ruas hutan dalam posisi terbakar, dan ada juga yang kembali semak belukar dengan terhutani oleh ilalang.

Sungai yang mengitari wilayah ini, yakni Sei Lalang dan Sei Badak juga terlihat surut. Kondisi kemarau, memungkinkan sungai-sungai tersebut dalam debit air minimum.

Kondisi miris tampak di sungai tersebut, berupa patahan-patahan kayu hasil ilegal logging yang dilakukan oleh masyarakat dalam dan luar, terlebih terdapat deretan patahan kayu dalam jumlah tak sedikit yang diklaim oleh Perusahaan Swasta. Mirisnya, barisan patahan kayu tersebut dibiarkan hingga tak ada manfaat dan sia-sia.

Sungai Lalang, sebagai tapal batas, Jambi - Palembang//dokpri
Sungai Lalang, sebagai tapal batas, Jambi - Palembang//dokpri
Pada ekspedisi saat ini, penulis juga masih mendapati satwa liar dilindungi, seperti masih adanya Orang Utan, Gorilla, Badak, Beruang, dan satwa liar lainnya.

Sebagaimana diketahui, satwa-satwa tersebut memang sudah selayaknya menempati habitat asli. Sebelah Selatan dari daerah ini, masih terhampar hutan lebat.

Kemudian, di sebelah Barat Daya daerah ini juga penulis menjumpai Hutan Konservasi yang bersebelahan dengan lahan kelapa sawit milik PT. Asiatic. sehingga, dimungkinkan bagi satwa-satwa tersebut untuk hidup. Lain halnya, jika kondisi ini terjadi 10 hingga 20 tahun mendatang. Semoga masih asri sebagaimana mestinya.

Sekolah "Laskar Pelangi"  di Jambi

Penulis, menjumpai seorang siswa bernama Ari (13) yang masih duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. Usia tak menghalanginya untuk meraih cita-cita saat ia dewasa nantinya.

Ari merupakan putra dari Amir Hamzah dan Cik Misa. Mereka merupakan KPM penerima bantuan PKH dari Kementerian Sosial.

Sebagaimana diketahui, program bantuan sosial sebesar 1.890.000 yang diberikan per tahun dalam empat tahap tersebut bersyarat. Salah satu syaratnya adalah adanya komitmen pada dunia pendidikan. Program ini secara implementatif telah menstimulus mereka untuk menempuh pendidikan formal dan non formal.

Pada ekspedisi kali ini, penulis menjumpai Ari yang tengah belajar Matematika di SDN 232/IX Kelas Jauh Sei Jerat, Pangkalan Ranjau, Desa Tanjung Lebar, Kec. Bahar Selatan, Kab. Muaro Jambi. Dengan berdinding papan kayu, berlantai tanah-hanya di kantor sekolah yang menggunakan lantai panggung berupa papan kayu, penulis singgahi.

Detak kagum penulis rasakan, karena kondisi tersebut sama seperti dalam novel Best Seller, Andrea Hirata.

SDN 232/IX Kelas Jauh Sungai Jerat//dokpri
SDN 232/IX Kelas Jauh Sungai Jerat//dokpri
Salah seorang pioner pengajar di sekolah tersebut, Hermina menuturkan, bahwa sekolah tersebut didirikan pada 29 April 2013 dengan sembilan siswa dan satu guru.

Namun, setahun berlalu, ada penambahan pengajar, Elsi seorang guru Matematika berdarah Batak. Kondisi ini bersamaan dengan bertambahnya siswa hingga berkisar 20 orang. Dan setiap tahunnya mengalami peningkatan hingga puluhan siswa, dengan bertambah lagi tanaga pengajar pria bersarjana bernama Hari.

Ibu Hermina tidak hanya sekedar seorang perantau dari tanah Jawa, ia merupakan seorang guru penuh rendah hati, dan berbesar hati mengorbankan segalanya untuk pendidikan di area tersebut.

Tidaklah mudah perjalanannya. Ia harus awali dengan penuh derita, keterbatasannya diawal waktu ditandai dengan kondisi kehamilan putrinya, yang harus rela berjalan kaki, karena saat itu, ia belum memiliki sepeda motor.

Kondisi memprihatinkan juga dirasakan dengan kondisi ekonomi apa adanya, dengan jumlah honor yang diperoleh sebesar 300 ribu rupiah dari komite sekolah.

Namun, kondisi kesejateraan terus mengalami peningkatan, hingga saat ini ia pun memperoleh honorarium yang lebih baik dari Dinas Pendidikan Kab. Muaro Jambi. Meskipun, mereka dapatkan secara bertahap.

Foto Bersama Ibu Hermina dan Ibu Elsi beserta Komite Sekolah, sesaat setelah pendamping melakukan verifikasi pendidikan/dokpri
Foto Bersama Ibu Hermina dan Ibu Elsi beserta Komite Sekolah, sesaat setelah pendamping melakukan verifikasi pendidikan/dokpri
Kembali kepada kondisi Ari. Umumnya, di usianya mestinya sudah memasuki pendidikan menengah pertama. Namun, kondisi jauhnya tempat tinggal dengan sekolah menjadi faktor, belum lagi saat musim hujan tiba, lantas ia pun tak dapat menyeberang derasnya banjir akibat luapan sungai Lalang. Teramat jauh dan menantang, penulis rasakan saat mencoba menempuh perjalanan dari rumah Ari ke sekolah di mana ia belajar menggapai cita-citanya. Seorang anak yang berdarah Wong Kito dari garis bapak, dan konon kakeknya seorang Polisi, telah mengilhaminya meraih cita-cita menjadi seorang polisi dikemudian hari. Semoga cita-citanya tercapai ya Nak. Aamiin

Pasrahnya "Bidan Desa"

Perjalanan dari kawasan Sei Jerat kami lanjutkan hingga ke daerah lainnya. Dusun Tanjung Mandiri dan Mandiri Alam Sakti tampaknya lebih maju dari daerah lainnya di kawasan ini. Tujuan utamanya, penulis akan berkoordinasi dan memverifikasi kesehatan dengan bidan desa, Hermanita, Am. Keb. 

Sasaran utamanya adalah, penulis berupaya mencari info terkait bagaimana komunitas suku terasing SAD berpartisipasi aktif pada dunia kesehatan dan kegiatan bulanan rutin di posyandu. Hermanita menuturkan, bahwa tingkat partisipasi mereka masih rendah.

Menurutnya, hal tersebut dibuktikan dengan ketidak aktifan mereka pada posyandu di wilayah terdekat komunitas SAD.

"Dahulu, pernah kita bentuk kader Posyandu di Portal (Pinang Merah), tapi sudah tidak ada lagi, karena mereka tidak bersedia aktif", ujar Bidan Hermanita.

Adapun, salah satu KPM SAD yang peroleh bantuan sosial adalah Mariya. Mariya secara syarat terpenuhi komponen kesehatan, yakni Ia memiliki balita.

Usia anaknya berkisar lima bulan, hal itu berarti dia harus komitmen, dibuktikan dengan hadirnya setiap bulan di posyandu. Namun, Hermanita tak pernah menjumpai yang bersangkutan.

Pada kesempatan lainnya, penulis pernah menanyakan Maria dan bayinya terkait partisipasinya di posyandu, lantas, ia pun tidak mengetahui perihal tersebut. Maria juga menuturkan, kalau jarak tempuh baginya terbilang jauh, terlebih ia harus berjalan kaki.

Penulis dapat memahami kondisi ini, karena memang, tingkat interaksi mereka dengan masyarakat luar terbatas, terlebih informasi terkait kegiatan posyandu.

Ikan Sale dan Sambal Ikan Gabus 

Penulis masih mempunyai komitmen tinggi terkait kebersamaan dengan masyarakat jelata. Ingin merasakan apa yang dirasakan oleh mereka. Setidaknya, penulis buktikan dengan bermalam di rumah salah seorang KPM, Amir Hamzah. Lantas, di sinilah penulis merasakan kedamaian dan kebersahajaan mereka menghadapi kehidupan. Kesederhanaan mereka menjalani kehidupan di tengah ramainya hiruk pikuk desa, terlebih hiruk pikuk kota.

Apa yang mereka makan, juga penulis rasakan. Pada hari pertama, usai penulis menunaikan sholat Maghrib, hidangan berupa ikan sale tersuguhkan.

Bagi penulis, hal ini bagian dari hal istimewa, karena tidak pernah penulis lakukan ditempat lainnya. Hidangan berupa Ikan Sale begitu nikmat terasa.

Ikan Sale, merupakan ikan air tawar atau sungai, berasal dari jenis ikan Keting atau Baong, kemudian dilakukan proses pengasapan hingga kering.

Hidangan Ikan Sale, Enak banget
Hidangan Ikan Sale, Enak banget
Pada hari kedua, penulis menikmati hidangan sambal ikan Gabus. Ikan Gabus di area ini bukanlah hal yang langka. Berbagai upaya mereka dapatkan, salah satunya dengan menjaring.

Sambil menikmati hidangan yang ada, Amir Hamzah menceritakan tentang proses perburuan yang kerap ia kerjakan. Misal, mencari Rusa atau Kijang. Sayang sekali, saat itu, penulis tidak sempat ikut kegiatan berburu.

Juz Jambu Alas dan Energi Kalor

Instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)
Instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)
Ada hal menarik yang hingga saat ini penulis rasakan. Dalam Ekspedisi ini, penulis mendapati salah seorang kediaman warga pendatang. Pak Roni merupakan salah seorang warga yang mendiami wilayah tersebut sejak 2009. Namun, sejak dua tahun lalu, ia mulai berinisiatif menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Ia beli dengan harga tiga jutaan. Tetapi, sejak saat itu, ia tidak kesulitan memenuhi kebutuhan penerangan, terlebih ia gunakan untuk hal-hal praktis lainnya seperti membuatkan saya Juz 'Jambu Alas'.

Juz Jambu Alas
Juz Jambu Alas
Juz Jambu Alas adalah juz pertama kali saya nikmati seumur hidup. Rasanya yang sedikit masam tetapi bercampur manis ini menyegarkan penulis ditengah panasnya matahari.

Hal unik lainnya, ternyata Jambu Alas digunakan oleh komunitas adat terpencil seperti SAD guna mengatasi panas dalam. Bisa jadi hal itu dimungkinkan, karena rasa masam yang disinyalir terkandung vitamin C. Terlebih, Pak Roni ternyata menanam beberapa pokok tanaman Jambu Alas dengan kondisi yang tumbuh subur, dan berbuah lebat.

Jambu Alas
Jambu Alas
Keberimbangan potensi alam dengan energi alam terbarukan, telah mengilhami kita semua. Ditengah, naiknya tarif dasar listrik oleh PLN. Kondisi tersebut, tak mempengaruhi kehidupan Pak Roni beserta keluarganya. Setiap bulan ia tak sibuk memikirkan membayar tagihan, justru ia dapat berbagi dengan keluarga lainnya. Salah satu implikasinya, ia dapat menyuguhkan kepada penulis berupa Juz Jambu Alas, yang segar dan dingin.

Kondisi "Demografi"

Masyarakat di wilayah ini umumnya pendatang. Jumlah KK saat ini telah mencapai 1.500. Mereka berasal dari lintas suku dan agama. Ada yang berasal dari Jawa, Sunda, Batak, dan lainnya. Proses perkawinan bersilang justru terjadi. Bahkan, salah seorang KPM dari SAD, bernama Lija telah menikah dengan seorang pria bersuku bangsa Batak, Aries Hasibuan.

Adapula, mereka yang merantau dari Lampung, dengan suku bangsa Bali dan beragama Hindu. Mereka yang umumnya berprofesi sebagai Petani atau Pekebun terlihat bersatu padu, dan hidup berdampingan satu sama lain dalam suasana penuh kerukunan dan perdamaian.

PT. REKI dan Masa Depan Mereka pada Sengketa Lahan

PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) kerap berbenturan dengan Komunitas SAD di Pangkalan Ranjau. PT REKI mengklaim masih memiliki hak kelola lahan. Sementara, komunitas SAD pun mensinyalir masih memiliki hak kelola atas lahan tersebut. Benturan kerap terjadi. Hal ini dibuktikan dengan beragam aksi yang dilakukan oleh SAD kepada PT. REKI.

Dilansir dari situs tribunjambi.com, bahwa Konflik dimulai sejak REKI mendapatkan izin kelola restorasi ekosistem di hutan produksi Jambi, seluas 46.385 hektar, sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.327/Menhut-II/2010.

Upaya kemitraan yang dilakukan oleh PT.Reki terhadap komunitas SAD kerap tak membuahkan hasil. Sebanyak 500 KK SAD tetap meminta agar lahan tersebut dikembalikan kepada mereka, menjadi lahan adat sebagaimana sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun