Ipit dikenal sebagai Gadis Nggak Level. Sebutan ini muncul gara-gara seringnya Ipit berkata sinis ke teman-teman lelakinya "Sorry ya kamu nggak level denganku". Itu selalu terjadi ketika teman lelakinya mendekatinya untuk memacarinya. Tidak tahu apa yang terjadi, setelah kencan pertama, si lelaki pasti mundur teratur dan dicap nggak level.
Sebagai lelaki yang dari mula merasa nggak level dengan Ipit, Abik tidak mau ikut serta dalam kompetisi itu. Wajarlah karena Ipit memang cantik dan pintar, sementara Abik merasa dirinya biasa-biasa saja. Hanya saja ketika teman-temannya sudah pada mundur, ada terbersit niat Abik untuk mencoba mendekati Ipit. Apa salahnya? Kalau berhasil syukur, kalau gagal toh tidak sendirian. Hal inilah yang menguatkan nyali Abik untuk mencoba peruntungan.
Mengenal lebih jauh kepribadian Ipit, ternyata Ipit adalah gadis yang menyenangkan. Jauh dari kesan yang dipublikasikan teman-temannya. Tidak sombong, diajak bicara enak, pokoknya asyik deh. Akhirnya setelah mengumpulkan segenap keberanian, Abik mengutarakan isi hatinya.
"Ada caranya, ada tatakramanya", kata Ipit memberi lampu kuning.
"Apa itu?"
"Datanglah nanti sore jam empat ke rumahku".
Jam empat kurang lima menit Abik memenuhi undangan Ipit. Dengan senyum ramah Ipit menyambutnya dan mempersilakan Abik duduk. Begitu Abik duduk, Ipit masuk ke ruang belakang dan keluar lagi membawa jus melon dan dua piring kue serta setoples kacang goreng. Tanda-tanda bagus, batin Abik. Kenapa ya teman-temannya tidak mau sedikit berjuang untuk memilikinya. Dasar mental pengecut.
Seteguk dua teguk Abik minum jus melon, disertai berkunyah-kunyah pisang goreng panas. Pembicaraan akrab seterusnya terjalin dengan lancar. Sampai kemudian Ipit menyampaikan sesuatu yang membuatnya keselek.
"Kamu harus mengalahkan aku main catur". Alamak, bagai disambar bajaj perasaan Abik. Apa nggak ada ide lebih baik, kok catur gitu lho! Abik memang sama sekali tidak bisa main catur, maksudnya hanya tahu cara melangkahkannya tapi tak sekalipun pernah menang bermain melawan siapun. Memandang kotak hitam putih saja pusing, apalagi harus memelototi.
"Bagaimana, mau menyerah atau mencoba dulu?"
"Aku tak mau mencoba dan tidak mau mengalah. Terus terang aku marah dengan tawaranmu!!" Abik menjawab dengan nada tinggi
"Kalau tak mampu kenapa marah. Memang kamu nggak level denganku".
"Saat ini caramu tidak berlaku buatku. Kamu terlalu egois, hanya mengandalkan otakmu dalam mensikapi kehidupan. Aku mau memaksakamu untuk mengikuti caraku".
Serta merta Abik melepaskan bajunya sehingga kelihatan dadanya yang berbulu lebat. Abik merangsek mendekati Ipit. Ipit menjerit nyaris berteriak.
"Jangan gila kamu, kamu mau apa?"
"Sudah jangan banyak tanya. Kamu memang punya otak, tapi aku punya otot". Abik menarik tangan Ipit, menekuknya ke belakang punggung, dan dengan sekali dorongan saja Ipit sudah jatuh tertelungkup di lantai.
"Sadar, Bik. Sadar. Kita ini teman, Bik. Jangan memaksakan kehendak!"
"Tidak peduli, yang penting aku bisa mendapatkan kamu. Kamu harus menyerah dengan caraku. Hanya ini caranya supaya aku dan kamu menjadi selevel".
Abik semakin memperkuat tekanan ke punggung Ipit. Pelan-pelan Abik bergeser posisi sampai wajah mereka beradu. Air mata Ipit sudah bercucuran, kelihatan sedih dan ketakutan. Abik tidak lagi peduli, walaupun air mata satu drum tertumpah.
Ipit tidak lagi meronta, pasrah. Hanya kebaikan hati Abik saja yang membuat akhir kisah itu tidak menjadi musibah. Abik menarik tangan Ipit, ditegakkannya di lantai dengan bertumpu pada siku. Abik pun memposisikan tanganya seperti itu juga.
"Kita adu panco. Ini caraku!" kata Abik mantap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H