"Kalau tak mampu kenapa marah. Memang kamu nggak level denganku".
"Saat ini caramu tidak berlaku buatku. Kamu terlalu egois, hanya mengandalkan otakmu dalam mensikapi kehidupan. Aku mau memaksakamu untuk mengikuti caraku".
Serta merta Abik melepaskan bajunya sehingga kelihatan dadanya yang berbulu lebat. Abik merangsek mendekati Ipit. Ipit menjerit nyaris berteriak.
"Jangan gila kamu, kamu mau apa?"
"Sudah jangan banyak tanya. Kamu memang punya otak, tapi aku punya otot". Abik menarik tangan Ipit, menekuknya ke belakang punggung, dan dengan sekali dorongan saja Ipit sudah jatuh tertelungkup di lantai.
"Sadar, Bik. Sadar. Kita ini teman, Bik. Jangan memaksakan kehendak!"
"Tidak peduli, yang penting aku bisa mendapatkan kamu. Kamu harus menyerah dengan caraku. Hanya ini caranya supaya aku dan kamu menjadi selevel".
Abik semakin memperkuat tekanan ke punggung Ipit. Pelan-pelan Abik bergeser posisi sampai wajah mereka beradu. Air mata Ipit sudah bercucuran, kelihatan sedih dan ketakutan. Abik tidak lagi peduli, walaupun air mata satu drum tertumpah.
Ipit tidak lagi meronta, pasrah. Hanya kebaikan hati Abik saja yang membuat akhir kisah itu tidak menjadi musibah. Abik menarik tangan Ipit, ditegakkannya di lantai dengan bertumpu pada siku. Abik pun memposisikan tanganya seperti itu juga.
"Kita adu panco. Ini caraku!" kata Abik mantap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H