Dalam konteks diatas saya sangat memahami penolakan komunitas ilmiah kedokteran atas presentasi Warsito. Saya bayangkan mereka 'jengah' dengan 'metode ilmiah' untuk membuktikan klaim 'terapi kanker' tersebut. Saya bisa memahami ini karena pernah beberapa kali mengikuti langsung konferensi terkait kedokteran dimana ada beberapa pemakalah yang menyampaikan klaim dengan metode ala testimoni. Tentu saja hal yang sama tidak akan terjadi bila presentasi dilakukan di komunitas Teknologi Informasi (TI) seperti konferensi biomedical imaging dan sejenisnya. Karena komunitas TI akan fokus pada rekayasa teknis yang dilakukan, dan bukan pada 'terapi kanker'.
Yang menjadi masalah, sekali lagi, adalah munculnya polarisasi di ranah publik antara Warsito dengan komunitas ilmiah kedokteran sebagai pendosa (saat ini). Benturan ini tentu sangat tidak sehat dan kontraproduktif. Padahal seharusnya kejadian ini dipahami sebagai koreksi untuk mengingatkan Warsito agar melakukan penelitian dan metode ilmiah baku sesuai kaidah komunitas kedokteran. Memang pasti ribet, terlebih untuk peneliti eksakta seperti Warsito dan juga saya. Tetapi percayalah, sama seperti di bidang teknik dan lainnya, metode baku komunitas ilmiah merupakan sari pati pengetahuan yang dihimpun sejak awal era penelitian ilmiah dan bertujuan mulia untuk memastikan kebenaran ilmiah sejauh yang bisa dipahami manusia saat ini dengan resiko seminimal mungkin bagi manusia yang menjadi subyek. Khalayak perlu memahami bahwa metode ilmiah baku bukan sesuatu yang bisa diubah oleh kepentingan (apalagi finansial) sekelompok pihak karena bersifat global dan saling terkait satu sama lain. Itulah sebabnya keanehan dan benturan kepentingan golongan selama ini selalu terbuka kedoknya oleh komunitas ilmiah terkait. Fenomena saat ini yang cenderung memojokkan komunitas kedokteran yang seolah resisten dan dicurigai takut terganggu keuntungan finansial tentu sangat tidak beralasan dan jauh dari fakta. Apalagi kalau membawa-bawa nasionalisme, seolah pihak yang menentang tidak nasionalis...;-(. Opini, klaim dan dikotomi semacam ini yang tidak seharusnya disuburkan oleh sivitas peneliti dimanapun, karena fakta ilmiah bersifat global. Realita di komunitas ilmiah : tidak ada yang dinilai dari latar belakangnya, semua hanya fokus pada 'apa yang dihasilkan'. Bila memang teknologi yang dikembangkan well proven secara ilmiah, siapapun di dunia ini akan mengakuinya. Usaha untuk sampai ke arah well proven itulah yang harus dilakukan dengan tekun dan benar serta didukung semua pihak. Untuk mendapat dukungan tersebut tentu harus dipresentasikan ke komunitas terkait. Rantai ekosistem semacam inilah yang menjaga dan menjamin sebuah hasil penelitian ilmiah bisa dipertanggung-jawabkan. Dan sebaliknya untuk itu tidak diperlukan ekspos media...
Saya sebenarnya juga pernah mengalami hal yang mirip. Yaitu saat awal saya dan mahasiswa (A. Sulaiman dkk) memulai riset aplikasi teori partikel untuk menjelaskan dinamika di level nano dari DNA / protein. Versi populer dari riset ini bisa dibaca di artikel Deskripsi dinamika biomateri elementer ala fisika partikel elementer. Kami kesulitan saat presentasi di komunitas hayati, dan juga saat salah mengirim ke jurnal yang 'terlalu hayati'. Bagi komunitas hayati yang mengenal ribuan jenis protein tentu akan sulit sekali menerima 'teori' kami yang di ranah materi elementer dan bersifat deterministik. Karena serupa dengan 'teori' kimia yang melibatkan ratusan unsur dan berbasis pengamatan, kajian di level molekuler untuk protein sangat kompleks karena aturan yang dibangun sejauh ini berbasis pengamatan semata. Tentu saja tidak ada yang salah dengan hal ini, karena metode dan pembuktian ilmiah yang baku saat ini mewajibkan hal tersebut. Tetapi apakah kami salah, tentu saja juga tidak. Karena kami melakukan kajian frontier dan menelaah 'kemungkinan' menjelaskan dinamika protein secara deterministik seperti halnya awal-awal era fisika partikel di tahun 1920-an. Yang lebih penting kami tidak membuat klaim bahwa teori yang dikembangkan mampu 'menggantikan' penjelasan berbasis pengamatan, melainkan hanya memberikan 'indikasi' potensi penjelasan secara matematis.
Selain itu di komunitas saya, komunitas fisika teori, kami terbiasa dengan kelompok metafisika yang selalu klaim menemukan sesuatu tanpa proses dan metode yang jelas. Ada yang klaim menemukan pembangkit listrik tenaga gravitasi, teori baru yang mampu menjelaskan gravitasi, dll. Kelompok semacam ini memang menjadi sangat mengganggu dan membuat jengah, sehingga akhirnya di banyak negara dialokasikan sesi tersendiri yang terpisah dari 'komunitas ilmiah' fisika teori. Tentu saja tidak berarti kami resisten dengan ide baru dan semacamnya. Tetapi karena kelompok metafisika tersebut tidak bisa diajak berdiskusi di level yang sama. Banyak di antaranya yang meski hanya belajar mekanika klasik Newton, sudah mengklaim membuat teori gravitasi model baru...;-(. Ini bisa dianalogikan orang yang tidak pernah belajar kalkulus, tiba-tiba klaim melansir persamaan nonlinier tipe baru. Tentu saja saya percaya Warsito tidaklah se-ekstrim kasus kelompok metafisika. Tetapi bila kita mencoba memahami penolakan komunitas kedokteran dari perspektif di atas semuanya mudah dipahami dan sangat alami.
Pembelajaran
Semua hal di atas seharusnya menjadi pembelajaran bagi kita semua, khususnya para peneliti, dalam melakukan komunikasi publik terkait kegiatan dan hasil risetnya. Kita semua harus memahami (dan tidak sekedar menyalahkan) karakteristik dan kultur dunia media yang bertolak belakang. Yang sepatutnya dilakukan adalah melakukan upaya pencegahan klaim berlebihan oleh media, apalagi sampai turut memanfaatkannya entah untuk kepentingan apa...;-). Klaim-klaim serta jargon semacam "Menciptakan peraih Nobel dari Indonesia pada 2020" oleh TOFI (Tim Olimpiade Fisika) pada era 2000-an tidak selayaknya ditiru. Terlebih bila (dengan sengaja) untuk mendapatkan 'sesuatu', seperti guyuran dana yang tidak proporsional dan sebagainya. Percayalah, hal-hal semacam itu hanya akan menggerus integritas dan fokus kita. Karena akhirnya para pelaku akan dipaksa untuk melakukan aneka upaya yang bisa dikategorikan sebagai 'manipulasi ilmiah' untuk menjawab klaim yang tidak proporsional tersebut.
Tentu kita semua tidak ingin terjerumus ke arah tersebut...!
SUMBER: Blog LIPI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H