Ini adalah tulisan dari Bpk Laksana Tri Handoko , Seorang peneliti LIPI dan Dosen di berbagai Universitas negeri dalam Bidang Fisika Teoritis. Saya Copas disini agar banyak orang juga tercerahkan dan mengetahui bagaimana ilmu pengetahuan (science) itu berkembang, sehingga tidak cepat percaya jika ada klaim-klaim berlebihan dari seseorang ...
Akhir-akhir ini saya diminta pendapat oleh beberapa pihak terkait komunikasi sains ke publik. Karena cukup panjang, dan kebetulan sedang harus beristirahat di rumah, saya yakinkan diri untuk menuliskannya sebagai artikel di blog. Setidaknya ini akan membantu memberikan pencerahan pada beberapa pihak yang memerlukan.
Masalah
Salah satu masalah adalah terkait polemik penolakan komunitas kedokteran Indonesia atas kehadiran Dr. Warsito yang akhir-akhir ini mengklaim menemukan terapi kanker baru berbasis teknologi ECVT (Electrical Capacitance Volume Tomography) yang telah diteliti jauh sebelumnya. Dengan metode yang serupa untuk memindai materi, teknologi radiasi listrik statis berbasis tomografi ini diklaim mampu membunuh sel-sel kanker dalam tubuh. Tentu saja ini klaim yang luar biasa dan bombastis...
Kedua, kejadian serupa kami alami sendiri di Pusat Penelitian Informatika (P2I) LIPI. Masalah kami terkait liputan sistem operasi bandrOS di media yang diklaim : merupakan "ponsel buatan dalam negeri', ponsel anti-sadap, akan melawan Samsung dll. Wowww, tentu saja ini sangat berlebihan. Karena kami awalnya hanya mengembangkan aneka varian sistem operasi berbasis Linux sejak 2006 untuk kebutuhan khusus, yang kemudian dikenal sebagai distro lokal IGOS Nusantara (IGN). Kebutuhan tersebut didasari aneka kegiatan pengembangan dan aplikasi SBC (small board computer) untuk telemetri, kontrol serta otomasi. Dalam perjalanannya, dikembangkan untuk mengikuti tren perangkat bergerak dengan sistem operasi berbasis Android maupun Tizen.
Sehingga kami sendiri menjadi terkaget-kaget dengan liputan media yang sedemikian gencar, tetapi menuju ke arah yang sama sekali tidak relevan. Padahal sedari awal kami tidak fokus pada hal tersebut, melainkan hanya ingin merealisasikan perangkat khusus yang efisien baik ukuran, daya maupun kinerjanya sesuai kebutuhan. Ponsel bandrOS sekalipun tidak ditujukan untuk membuat ponsel pesaing Samsung dkk. Kami tidak bersaing 'menjual ponsel', karena kompetisi di bidang tersebut lebih pada harga dengan margin minim dan tidak pada teknologi. Karena lebih banyak perang gimmick dan kurang menantang sebagai tema riset ilmiah. Kami juga tidak mentargetkan membuat sistem operasi sendiri, karena sudah ada aneka sistem operasi yang tersedia. Dari awal fokus kami pada pengembangan layanan khusus dengan ponsel sebagai salah satu perangkatnya. Contoh : layanan monitoring dan komunikasi pasien di rumah-sakit, komunikasi kebencanaan, pengumpul data survei termasuk rekapitulasi pemilu di level TPS dengan keamanan khusus. Tentu saja salah satu aplikasi perangkat tersebut bisa untuk ponsel anti sadap karena bila semuanya dibuat khusus tentu bisa dibuat 'susah' disadap...;-). Tetapi bila diekspos sebagai 'ponsel anti sadap', tentu ini akan memunculkan opini yang sama sekali berbeda, seperti P2I mendukung para koruptor...;-(.
Fenomena klaim berlebihan
Kedua fenomena di atas memiliki efek yang sama, yaitu fenomena over claimed yang bisa sangat berbahaya. Pertama karena memberikan edukasi yang salah ke publik. Kedua, berpotensi menghancurkan kredibilitas pelaku kegiatan itu sendiri bila tidak ditangani dengan baik.
Kedua kejadian diatas seharusnya menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk lebih berhati-hati dalam memaknai suatu 'hasil' kegiatan, khususnya riset. Karena riset ilmiah berujung invensi gradual, dan bahkan incremental development. Artinya tidak ada riset ilmiah 'membuat mobil', yang ada adalah riset ilmiah membuat material yang kuat untuk bahan mesin mobil, riset ilmiah membuat karet elastis untuk ban mobil dan seterusnya. Riset 'mengembangkan mobil' bisa dipastikan bukan riset ilmiah, tetapi rekayasa integrasi sistem dari berbagai hasil riset ilmiah sebelumnya. Ini merupakan ranah dari R&D di industri, bukan di lembaga riset atau universitas !
Poin kedua, riset ilmiah tidak boleh membohongi publik, meski boleh salah selama tidak disengaja dan telah melalui metode ilmiah baku. Ini kontras dengan pola penulisan artikel di media massa yang mengutamakan 'tagline yang menjual', salah tidak apa karena harus kejar tayang serta bisa dikoreksi belakangan. Meski bukan berarti media boleh 'dengan sengaja' membuat artikel yang salah, tetapi yang dimaksud disini adalah media tidak selalu perlu melakukan kajian mendalam untuk memastikan kebenaran artikel yang ditulis. Hanya pada kasus investigasi khusus saja media yang baik akan melakukan cek dan ricek secara mendalam. Hal ini tentu bisa dipahami karena tidak mungkin mengejar tenggat waktu tayang kalau seluruh artikel harus dikaji mendalam seperti layaknya peneliti melakukan riset. Dalam riset, saat menemukan suatu hasil yang luar biasa sekalipun, peneliti diajarkan untuk berhati-hati dan bahkan mencurigai diri sendiri untuk mencari kemungkinan adanya kesalahan yang berujung pada kesimpulan bombastis tersebut. Peneliti harus senantiasa mawas dengan menanyakan pada diri sendiri : 'kalau saya bisa menemukan hal hebat seperti ini, mengapa orang lain sedunia selama ini tidak menemukannya... dst". Filosofi ini menyebabkan seorang peneliti umumnya (harus) sangat berhati-hati, bila perlu melakukan pembuktian ulang dengan metoda yang berbeda dan sebagainya.
Perbedaan filosofi, karakteristik profesi dan kultur di atas menimbulkan jurang komunikasi antara peneliti dengan awak media massa. Meski di lain sisi, banyak kasus dimana peneliti (atau lembaganya) memang salah mengkomunikasikannya. Untuk kasus ponsel bandrOS misalnya, kami akui dari awal ada kesalahan komunikasi dari pihak lain (diluar LIPI) yang kebetulan telah mendapatkan purwarupa ponsel tersebut. Sehingga selang 1-2 bulan liputan media menjadi tidak terkendali dan P2I serta LIPI kesulitan meluruskannya pada saat ponsel tersebut diluncurkan secara resmi pada HUT LIPI ke 46 di Serpong. Akhirnya hanya ada beberapa artikel media yang melakukan klarifikasi atas kesalahan tersebut, seperti LIPI Tak Jual HP Antisadap, Tapi Siap Berikan Layanan Bila Diminta di detik.com.
Hal serupa juga terjadi pada kasus 'keteraniayaan peneliti' yang merupakan akumulasi dari lontaran kekecewaan dan keluh kesah banyak peneliti maupun dosen di Indonesia. Kasus ini kemudian diangkat oleh media sebagai tajuk utama. Tentu saja ekspos atas masalah ini sangat menguntungkan peneliti karena memunculkan simpati dan dukungan publik. Meski menurut saya hal ini adalah semu belaka, karena pada saat yang sama ekspos ini memunculkan polarisasi antara peneliti dengan negara + pemerintah sebagai pendosa. Tentu hal ini menimbulkan situasi yang tidak kondusif karena opini publik terbentuk hanya dari satu aspek tertentu, padahal permasalahan sebenarnya mencakup banyak aspek seperti saya ulas di artikel Keteraniayaan peneliti dan brain drain.
Semu yang dimaksud di atas adalah simpati tersebut bisa berbalik 180o menjadi antipati saat publik menemukan fakta lain yang bertolak belakang. Karena itu sedari dulu saya berpendapat sangat berbahaya 'bermain dan memanfaatkan' media massa untuk kepentingan kelompok, apalagi pribadi. Terlebih para peneliti umumnya bukanlah politikus yang terbiasa berhadapan dengan media dan segala dinamikanya. Contoh nyata adalah publikasi luar biasa terkait Pak Dahlan Iskan (DI) yang kemudian berbalik 180o setelah muncul fakta lain yang berbeda, padahal Pak DI notabene adalah dedengkot media yang pasti paham dan berpengalaman menangani media. Mungkin secara riil Pak DI memiliki kepemimpinan yang sangat baik, tetapi akibat over exposure bisa dipastikan saat ini mengalami defisit stigma positif di mata publik.
Pengalaman diatas kami ambil sebagai pelajaran berharga saat 'mengkomunikasikan' penandatanganan kerjasama teknis LIPI dengan ALICE CERN pada 21 Oktober 2013 lalu. Meski kerjasama ini bisa diklaim sebagai peristiwa fenomenal bagi komunitas ilmiah Indonesia, karena untuk pertama kalinya terlibat aktif dalam sebuah kolaborasi global raksasa, kami berusaha menempatkan semuanya dalam konteks yang sepantasnya. Syukurlan ekspos media cukup memadai dan proporsional, serta tidak sampai menimbulkan klaim-klaim berlebihan yang malah akan membebani teman-teman pelaksana ke depannya.
Kasus Terapi Kanker Ala Warsito
Kembali ke opini saya terkait dengan polemik terapi kanker Warsito. Secara personal saya mengenal beliau yang merupakan salah satu kakak kelas saat studi di Jepang dulu. Warsito sejak lama berkiprah di dunia pengolahan citra untuk beragam aplikasi. Hasil risetnya yang membanggakan adalah aplikasi pemindaian waktu nyata berbasis ECVT.
Tidak sekedar memindai dan menampilkan materi dalam visual tomografi, Warsito kemudian mencoba mengaplikasikan teknologi yang sama untuk meradiasi materi itu sendiri. Dalam kasus ini adalah sel-sel kanker. Tentu saja ide ini sah-sah saja, sangat bagus dan secara teoritis memiliki landasan yang kuat.
Banyak literatur dan kajian yang menyimpulkan bahwa gelombang elektromagnetik (listrik maupun magnet) mampu mempengaruhi pertumbuhan, atau sebaliknya mematikan sel-sel hidup. Sama halnya dengan teknologi cryogenic untuk material pada suhu sangat rendah. Teknologi ini kemudian diaplikasikan pada terapi kanker di banyak rumah sakit di Cina. Tetapi berbeda dengan radiasi elektromagnetik, pembekuan bisa dilakukan langsung pada sel-sel yang telah dipastikan sebagai kanker dengan alat khusus.
Masalah pada terapi ala Warsito adalah belum bisa dijelaskan bagaimana radiasi elektromagnetik tersebut hanya akan bereaksi pada sel-sel kanker, dan tidak berinteraksi apapun dengan sel-sel sehat di sekitarnya. Dengan kata lain, efek sampingan dari terapi ini masih belum bisa dipertanggung-jawabkan.
Yang paling fatal barangkali adalah cara komunikasi yang tidak sesuai dengan standar komunitas. Di komunitas kedokteran, terlebih di konferensi ilmiah, tentu tidak cukup dengan testimoni. Karena justru disitulah letak perbedaan antara 'ilmu kedokteran' dengan 'tukang jual obat'. Ilmu kedokteran bukan ilmu pasti dan menyangkut nyawa manusia, karenanya memiliki perangkat metode ilmiah yang sangat panjang, rinci serta (mungkin) ribet.Seperti doktrin mereka : medicine is a science of uncertainty and art of probability dan khususnya untuk pengobatan selalu berbasis pada evidence-based medicine dan value-based medicine. Tentu saja bukti (evidence) ini tidak cukup dengan 'testimoni', tetapi harus melalui proses dan prosedur baku untuk memastikan semuanya dilakukan dengan benar dan menjaga kaidah-kaidah kemanusiaan.
Mungkin bisa saya berikan analogi ekstrim atas kasus ini. Beragam ide menarik selalu muncul di Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) LIPI, misalnya ide sumber energi dari aneka buah khususnya jeruk-jerukan. Tetapi kita harus bisa membedakan antara 'bisa' dengan 'layak'. Semua anak tentu bisa mencoba dan menghasilkan sumber daya listrik dari buah jeruk, tetapi apakah kemudian hal tersebut boleh diklaim bahwa jeruk bisa dipakai sebagai 'pengganti PLTA' ? Tentu saja untuk sampai pada klaim tersebut harus dilakukan upaya-upaya lanjutan yang luar biasa berbasis metode ilmiah baku.
Bahkan untuk penelitian ilmiah remaja di LKIR saat ini kami mewajibkan aneka formulir persetujuan (consent form) dari responden, orang-tua, laboran, mentor dan sebagainya. Hal ini untuk memastikan bahwa pelajar pelaku penelitian melakukan seluruh aspek sesuai prosedur ilmiah, termasuk keamanan untuk yang bersangkutan dan lingkungannya. Saat ini sudah bukan era dimana setiap orang bisa melakukan penelitian, terutama dengan subyek manusia, tanpa mengindahkan etika dan metode baku.
Dalam konteks diatas saya sangat memahami penolakan komunitas ilmiah kedokteran atas presentasi Warsito. Saya bayangkan mereka 'jengah' dengan 'metode ilmiah' untuk membuktikan klaim 'terapi kanker' tersebut. Saya bisa memahami ini karena pernah beberapa kali mengikuti langsung konferensi terkait kedokteran dimana ada beberapa pemakalah yang menyampaikan klaim dengan metode ala testimoni. Tentu saja hal yang sama tidak akan terjadi bila presentasi dilakukan di komunitas Teknologi Informasi (TI) seperti konferensi biomedical imaging dan sejenisnya. Karena komunitas TI akan fokus pada rekayasa teknis yang dilakukan, dan bukan pada 'terapi kanker'.
Yang menjadi masalah, sekali lagi, adalah munculnya polarisasi di ranah publik antara Warsito dengan komunitas ilmiah kedokteran sebagai pendosa (saat ini). Benturan ini tentu sangat tidak sehat dan kontraproduktif. Padahal seharusnya kejadian ini dipahami sebagai koreksi untuk mengingatkan Warsito agar melakukan penelitian dan metode ilmiah baku sesuai kaidah komunitas kedokteran. Memang pasti ribet, terlebih untuk peneliti eksakta seperti Warsito dan juga saya. Tetapi percayalah, sama seperti di bidang teknik dan lainnya, metode baku komunitas ilmiah merupakan sari pati pengetahuan yang dihimpun sejak awal era penelitian ilmiah dan bertujuan mulia untuk memastikan kebenaran ilmiah sejauh yang bisa dipahami manusia saat ini dengan resiko seminimal mungkin bagi manusia yang menjadi subyek. Khalayak perlu memahami bahwa metode ilmiah baku bukan sesuatu yang bisa diubah oleh kepentingan (apalagi finansial) sekelompok pihak karena bersifat global dan saling terkait satu sama lain. Itulah sebabnya keanehan dan benturan kepentingan golongan selama ini selalu terbuka kedoknya oleh komunitas ilmiah terkait. Fenomena saat ini yang cenderung memojokkan komunitas kedokteran yang seolah resisten dan dicurigai takut terganggu keuntungan finansial tentu sangat tidak beralasan dan jauh dari fakta. Apalagi kalau membawa-bawa nasionalisme, seolah pihak yang menentang tidak nasionalis...;-(. Opini, klaim dan dikotomi semacam ini yang tidak seharusnya disuburkan oleh sivitas peneliti dimanapun, karena fakta ilmiah bersifat global. Realita di komunitas ilmiah : tidak ada yang dinilai dari latar belakangnya, semua hanya fokus pada 'apa yang dihasilkan'. Bila memang teknologi yang dikembangkan well proven secara ilmiah, siapapun di dunia ini akan mengakuinya. Usaha untuk sampai ke arah well proven itulah yang harus dilakukan dengan tekun dan benar serta didukung semua pihak. Untuk mendapat dukungan tersebut tentu harus dipresentasikan ke komunitas terkait. Rantai ekosistem semacam inilah yang menjaga dan menjamin sebuah hasil penelitian ilmiah bisa dipertanggung-jawabkan. Dan sebaliknya untuk itu tidak diperlukan ekspos media...
Saya sebenarnya juga pernah mengalami hal yang mirip. Yaitu saat awal saya dan mahasiswa (A. Sulaiman dkk) memulai riset aplikasi teori partikel untuk menjelaskan dinamika di level nano dari DNA / protein. Versi populer dari riset ini bisa dibaca di artikel Deskripsi dinamika biomateri elementer ala fisika partikel elementer. Kami kesulitan saat presentasi di komunitas hayati, dan juga saat salah mengirim ke jurnal yang 'terlalu hayati'. Bagi komunitas hayati yang mengenal ribuan jenis protein tentu akan sulit sekali menerima 'teori' kami yang di ranah materi elementer dan bersifat deterministik. Karena serupa dengan 'teori' kimia yang melibatkan ratusan unsur dan berbasis pengamatan, kajian di level molekuler untuk protein sangat kompleks karena aturan yang dibangun sejauh ini berbasis pengamatan semata. Tentu saja tidak ada yang salah dengan hal ini, karena metode dan pembuktian ilmiah yang baku saat ini mewajibkan hal tersebut. Tetapi apakah kami salah, tentu saja juga tidak. Karena kami melakukan kajian frontier dan menelaah 'kemungkinan' menjelaskan dinamika protein secara deterministik seperti halnya awal-awal era fisika partikel di tahun 1920-an. Yang lebih penting kami tidak membuat klaim bahwa teori yang dikembangkan mampu 'menggantikan' penjelasan berbasis pengamatan, melainkan hanya memberikan 'indikasi' potensi penjelasan secara matematis.
Selain itu di komunitas saya, komunitas fisika teori, kami terbiasa dengan kelompok metafisika yang selalu klaim menemukan sesuatu tanpa proses dan metode yang jelas. Ada yang klaim menemukan pembangkit listrik tenaga gravitasi, teori baru yang mampu menjelaskan gravitasi, dll. Kelompok semacam ini memang menjadi sangat mengganggu dan membuat jengah, sehingga akhirnya di banyak negara dialokasikan sesi tersendiri yang terpisah dari 'komunitas ilmiah' fisika teori. Tentu saja tidak berarti kami resisten dengan ide baru dan semacamnya. Tetapi karena kelompok metafisika tersebut tidak bisa diajak berdiskusi di level yang sama. Banyak di antaranya yang meski hanya belajar mekanika klasik Newton, sudah mengklaim membuat teori gravitasi model baru...;-(. Ini bisa dianalogikan orang yang tidak pernah belajar kalkulus, tiba-tiba klaim melansir persamaan nonlinier tipe baru. Tentu saja saya percaya Warsito tidaklah se-ekstrim kasus kelompok metafisika. Tetapi bila kita mencoba memahami penolakan komunitas kedokteran dari perspektif di atas semuanya mudah dipahami dan sangat alami.
Pembelajaran
Semua hal di atas seharusnya menjadi pembelajaran bagi kita semua, khususnya para peneliti, dalam melakukan komunikasi publik terkait kegiatan dan hasil risetnya. Kita semua harus memahami (dan tidak sekedar menyalahkan) karakteristik dan kultur dunia media yang bertolak belakang. Yang sepatutnya dilakukan adalah melakukan upaya pencegahan klaim berlebihan oleh media, apalagi sampai turut memanfaatkannya entah untuk kepentingan apa...;-). Klaim-klaim serta jargon semacam "Menciptakan peraih Nobel dari Indonesia pada 2020" oleh TOFI (Tim Olimpiade Fisika) pada era 2000-an tidak selayaknya ditiru. Terlebih bila (dengan sengaja) untuk mendapatkan 'sesuatu', seperti guyuran dana yang tidak proporsional dan sebagainya. Percayalah, hal-hal semacam itu hanya akan menggerus integritas dan fokus kita. Karena akhirnya para pelaku akan dipaksa untuk melakukan aneka upaya yang bisa dikategorikan sebagai 'manipulasi ilmiah' untuk menjawab klaim yang tidak proporsional tersebut.
Tentu kita semua tidak ingin terjerumus ke arah tersebut...!
SUMBER: Blog LIPI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H