Mohon tunggu...
Mursyidah Amiriyah Al Achsanah
Mursyidah Amiriyah Al Achsanah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Studi Agama-agama UIN Sunan Ampel Surabaya

Hobi mengamati dunia sekitar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perempuan (yang Tersandung) Kemerdekaan

15 Agustus 2024   21:01 Diperbarui: 15 Agustus 2024   21:07 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akhir-akhir ini kalau ingin nyantai sambil scroll-scroll sosmed, rasanya saya nggak jadi santai. Yah bagaimana lagi? Ketika saya membuka gawai, saya berjumpa dengan berita-berita yang membuat saya geram. Apalagi yang paling viral adalah kasus ini: aturan pelarangan penggunaan jilbab tim paskibraka nasional Indonesia.

Semakin berkembangnya zaman, manusia semakin banyak yang sadar tentang hak-hak perempuan. Feminisme digaungkan di penjuru dunia, menandakan kesadaran itu benar adanya. Menurut amnesty.org, sangatlah penting memperjuangkan hak-hak wanita. Hak-hak perempuan juga merupakan seperangkat dalam Hak Asasi Manusia[1]. The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) tahun 1979 memberikan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan[2]. 

 

Terkait dengan penggunaan jilbab para siswi, di pemerintahan Indonesia sudah melegalkan para siswi menggunakan pakaian sesuai dengan keyakinan yang dianutnya. Tertulis pada Surat Keputusan No.100/C/Kep/D/1991 yang terbit pada 16 Februari 1991. Pelegalan tersebut melalui proses yang menciptakan sejarah panjang, yang mana para perempuan muslimah berjuang untuk mendapatkan hak asasinya dalam berpakaian sesuai perintah agama yang dianut. Berbagai unjuk rasa hadir menghiasi sejarah di tahun 1990-an menolak larangan berjilbab di sekolah dan kampus[3].

 

Dalam kasus dugaan pelarangan penggunaan jilbab anggota paskibraka nasional, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi menyatakan, bahwa sejak awal berdirinya Paskibraka telah dirancang seragam beserta atributnya yang memiliki makna Bhinneka Tunggal Ika. Yudi menyinggung Surat Edaran Deputi Diklat Nomor 1 Tahun 2024. Pada surat edaran tersebut tidak ada pilihan berhijab bagi anggota paskibra.

Terkait anggota paskibra wanita yang asalnya berhijab, Yudi memastikan mereka melakukan tindakan tersebut atas dasar kesukarelaaan dengan tanda tangan di atas materai 10.000. Yudi menegaskan bahwa hijab tersebut tidak dipakai hanya saat pengukuhan dan pengibaran bendera saja, di luar itu para paskibraka wanita diberi kebebasan memakai hijabnya mengakui dan menghormati kebebasan berhijab[4].

 

Namun apabila ditinjau dari Pancasila itu sendiri, tentunya hal tersebut malah jauh dari nilai Pancasila di sila pertama. Ketuhanan yang Maha Esa, seharusnya diwujudkan dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan Tuhan sebagai bangsa yang religius[5]. Hijab sendiri diwajibkan pada kaum muslimah yang tertera pada Q.S An-Nur ayat 31 dan Q.S Al-Ahzab ayat 59.

 

Jika kita kilas balik di tahun-tahun sebelumnya, tidak ada yang mempermasalahkan hijab dipakai oleh anggota paskibraka nasional. Pengurus Pusat Purna Paskibraka Indonesia (PPI) menyesal terdapat kasus yang demikian. Ketua umum PPI Gousta Feriza dengan tegas mengatakan "Tidak ada alasan. Bahkan sebelum-sebelumnya pembawa baki banyak yang pakai. Jadi tidak menggangu mereka.". 

Salah satu alumnus paskibraka tahun 2002 yang juga Waketum PPI, Amelia Ivonila Ilahude mengungkapkan bahwa dari dulu tak ada halangan yang menjadi kendala seorang paskibraka memakai hijab. Menurut Amelia, sejak 2002 penggunaan hijab sudah diperbolehkan. Angkatannya dari Propinsi Aceh saat itu yang memelopori[6]. 

 

Lalu alasan apa yang mendasari tim paskibraka wanita muslim harus lepas hijab selain untuk mengangkat nilai-nilai keseragaman dalam pengibaran bendera? Jika alasannya untuk menjaga keotentikan peraturan di zaman awal kemerdekaan, maka hal tersebut merupakan cara pelestarian budaya yang salah. Budaya seharusnya berkembang dari waktu ke waktu, menyesuaikan perubahan zaman dengan menjaga nilai-nilai yang terkandung. Nilai-nilai itulah yang merupakan jiwa dari budaya, yang harusnya dipertahankan.

 

Kita analogikan saja, makhluk hidup yang tidak dapat beradaptasi akan terseleksi dengan sendirinya. Makhluk tersebut tidak akan bertahan hidup apabila tidak bisa menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Sedangkan budaya berada dalam lingkungan yang tak luput dari dampak perkembangan zaman. Pada zaman ini, jilbab sudah legal sejak lama di pemerintahan. Diskriminasi seiring waktu sudah dapat dihapuskan. Seharusnya semakin dijamin pula hak asasi manusia. Mengapa malah semakin menunjukkan kemunduran zaman?

 

Sangat disayangkan. Ke manakah kemerdekaan yang kita impikan jika masalah berpakaian saja masih dipermasalahkan? Yang katanya tidak sesuai dengan Pancasila, padahal aturan itu sendiri yang menyandung Hak Asasi para muslimah sehingga tidak bisa bebas berkarya dan berprestasi. Yang katanya tidak seragam, padahal ada solusi dari tahun yang lalu soal seragam yang dipakai kaum berhijab. Sebenarnya yang tidak pancasilais itu siapa, sih?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun