Oh iya, sekarang dirumah lagi rame, kata ibu bakal ada acara doain ayah, tujuh harian katanya. Wah, banyak makan lho yah, kita ga usah perebutan lagi. Kita bisa makan sampe kenyang.
Tapi kan ayah ga ada, hehe,
udah ya yah, ibu udah makin cerewet tuh.
Dadah ayah, nanti aku cerita lagi yah”.
Kupandangi secarik kertas yang sudah kusimpan di dompetku bertahun-tahun. Sebuah curhatan seminggu setelah ayahku pergi. Masih ku ingat dulu, ketika menulisnya. Aku tak kuasa menahan air mataku. Tetesan air mata itu membuat beberapa bagian yang aku tulis sulit terbaca.
Dan kini, setelah bertahun-tahun lamanya gemuruh dan sesak masih aku rasakan tatkala aku membacanya kembali. Selepas ayah pergi kami sekelurga harus mati-matian menghidupi diri kami sendiri. Uang duka dari tempat ayah berkerja sudah habis sebelum 3 bulan sejak kematian ayah.
Sejak saat itu aku mengerti tugas laki-laki. Aku membantu ibuku berkerja sepulang sekolah. Diam-diam aku sering sesunggukan membayangkan betapa bahagianya jika masih ada ayah. Jika kami lengkap. Sungguh masa-masa itu ingin kuulangi. Biarlah bergitu, tak perlu lebih tak boleh kurang. Aku sangat bahagia.
“Ayah ga akan hidup lama, Do,” ucap ayahku sambil memandang kedepan. Matanya menatap jauh. Begitu teduh mata itu,serupa telaga yang memberi kehidupan bagi makhluk-makhluk disekitarnya. “ Ayah, harap kamu bisa jadi laki-laki yang baik yang mampu menjaga ibu dan adikmu Rahmi” Lanjutnya.
“Ayah percaya kamu bisa, kamu kan anak laki-laki ayah,” Ia tersenyum padaku seraya memelukku erat. Kucium aroma wangi dari tubuhnya. Ia berbusana putih. Air mukanya tampak teduh dan menyenangkan. Aku berteriak ketika dia melepaskan peluknya dan pergi menjauh. Kukerjar ia, namun langkahku tak kemana-mana. Ayahku tetap tersenyum dan semakin menjauh, menjauh sampai hilang di telan cahaya di ujung sana. Aku berontak dan sekuat-kuatnya berteriak memanggilnya. Dan yang kudapati tubuhku berpeluh di sebuah malam yang dingin. Aku bermimpi tentang ayah seminggu setelah kematiannya.
Air mataku menggenang. Tak kusadari aku mulai terisak. Mimpi yang sangat aku rindukan. Aku ingin bertemu dengannya lagi. Sudah bertahun-tahun tak kudapati memimpikannya seberusaha apapun yang aku lakukan. Sewaktu kecil aku masih kerap di datangi ayah lewat mimpi. Namun semakin dewasa dan semkin sibuk diriku, tak pernah lagi ia hadir untukku.
“Ayah nangis ya” Ucap Vere mengagetkanku. Anak laki-lakiku yang pertama. Wajahnya mirip ibunya. Matanya mengerjap memandangku. Buru-buru kuseka air mata yang menggenang di mataku. Aku tengah duduk diberanda rumahku. Tak banyak yang berubah sejak aku tinggalkan rumah ini untuk merantau nyaris 10 tahun lalu selepas SMA.
“Engga, Abi cuma ngantuk, kok” jawabku seraya berpura-pura menguap lebar. Kupeluk anakku. Ia mengingatkan aku pada diriku berahun-tahun lalu.