Mohon tunggu...
Murodi Shamad
Murodi Shamad Mohon Tunggu... -

Seorang lulusan SMK yang memiliki hobi menulis, membaca dan melamun serta kerap ditemukan tengah berbincang dengan tembok dan kucing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Petrichor dan Sebuah Cerita Tentang Ayah

17 Desember 2015   08:51 Diperbarui: 1 April 2017   08:51 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ku pandangi gelas besar milik ayah, kuusap perlahan. Ayah pernah cerita bahwa ia mendapat gelas ini dari seorang temannya yang merantau ke Kalimantan. Ia yang kupanggil Om Gendut karena perutnya yang besar. Ia kerap datang untuk menemani ayah berbincang sampai jauh malam. Sebelum pergi ke Kalimantan. Pada Malam hari sebelum berangkat, om Gendut datang dan memberikan gelas besar ini. Kenang-kenangan katanya.

Sejak saat itu, Om Gendut tak pernah ada kabarnya. Sebagian bercerita bahwa ia sudah bekerja ke Malaysia, sebagian cuma bilang kalau om Gendut mungkin sudah tewas sebab anak dan istrinya pun tak tau keberadaan imam mereka. Ayah selalu bilang, bahwa Om Gendut masih hidup.ia hanya lupa jalan pulang atau masih terlalu sibuk dengan pekerjanya. Untuk itu ia akan tetap menunggunya. Sampai saat ini. Sebatas waktu ayah sanggup menunggunya.

“Ayah, hari ini hujan deras. Aku jadi ingat dulu selalu meminta hujan berhenti sejenak agar ayah bisa pulang. Aku kan tau ayah pasti nakal lagi ga bawa payung seperti yg ibu suruh. Aku pasti menunggu ayah diteras depan sambil membawa handuk hijau kesayangan ayah.“

Ayahku bekerja sebagai seorang montir disebuah bengkel milik Koh Ahen dekat kantor kecamatan. Ayah biasanya pergi dengan sepeda tuanya yang katanya sudah diwariskan turun-temurun. Dari kakek, ayah, sampai pada dirinya dan mungkin suatu saat, jika aku sudah cukup tinggi dan cukup tenaga, sepeda itu akan berganti kepemilikan kepadaku.

Aku kerap menunggunya pulang sore hari, ayah bekerja hanya sampai jam 4 Sore. Lalu pulang ke rumah. Perjalanannya dengan sepeda menghabiskan waktu setengah jam. Bagiku, ayah adalah sosok yang selalu membawa tenang dimanapun ia berada.

Ia akan menggendongku dan mengagkatnya tinggi-tinggi sebelum membawaku masuk ke dalam rumah. Aku imgat baunya. Ia jarang menggunakan minyak wangi tapi tak pernah kurasakan terganggu oleh aroma tubunya. Justru bagiku, ayah adalah pria paling wangi yang pernah aku temui, ayahku selalu hebat dimataku.

Hujan membuat genangan didepan rumah. Air kecoklatan tampak berrumpun disana. Aku memegang handuk hijau yang jika di bentangkan maka aku bisa tenggalam didalamnya. Aku menunggunya sambil duduk didepan rumah. Menunggu sampai sosok itu hadir dari ujung jalan sana dengan sepeda hitam kesayangannya.

Dari jauh sudah dapat kulihat dan kurasakan senyum ayah. Ia memandangku dan aku memandangnya. Kami selalu punya cara saling menyayangi bahkan hanya depan tatapan mata. Bukankah kasih seorang ayah jarang berupa kata ? mereka lebih sering mengungkapkannya dengan teladan dan disiplin sejak kecil agar kita tak tersesat dan tak tentu arah.

Ayah selalu bandel tak pernah mendengarkan nashat ibu untuk membawa payung. Bagi ayah, hujan adalah rahmat.dan ia takkan menutupi dirinya ditimpahi rahmat dari langit. Meski begitu ayah jarang sakit meski ia bergelung dibawah hujan selama perjalanan pulang setengah jam. Kata ayah, hujan tidaklah jahat. Fisik kitalah yang seharusnya mampu bertahan dari segala macam penyakit yang datang. Hujan tak pernah membawa penyakit tandasnya.

Tapi, kini tak ada yang aku tunggu, meski begitu yah. Aku masih duduk diteras sambil membawa handuk hijau ayah. Mungkin ayah bertanya untuk apa. Aku juga ga tau yah, aku hanya belum bisa menghentikan kebiasaan itu.

Pada sebuah sore yang temaram. Di penghujung Desember yang basah. Aku menunggu ayah pulang seperti biasa. Aku bersiap dengan handuk di tangan. Menantap jalan yang menjauh. Hujan tak kunjung reda sejak matahari di atas kepala. Ibu sedang menyiapkan pisang goreng untuk kudapan sore ayah. Aku yang membeli pisang goreng itu tadi pagi dipasar. Bahkan aku yang memilih pisangnya. Aku juga yang sibuk mengupas pisang untuk ibu goreng. Adikku sedang bermain di kamar. Ia sedang sibuk dengan bonekanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun