“Ohayou gozaimasu (Selamat pagi), Manami!” sapa Yumiko padaku yang baru saja selesai memarkir sepeda di parkiran depan.
Aku tersenyum pada Yumiko dan membalas sapaannya, “Ohayou gozaimasu, Yumiko!”
Sesaat Yumiko menatapku. Lalu ia berkata memujiku, “Hari ini Manami terlihat manis dengan bandana biru muda itu!”
“Ah Yumiko, bisa saja deh!” jawabku dengan wajah sedikit merah karena malu dipuji Yumiko, sahabat terdekatku yang berwajah amat cantik.
“Hahaha… begitu saja Manami sudah malu. Ayo, kita segera ke loker! Jika telat mengganti Uwabaki (sepatu khusus sekolah), kita tidak akan diizinkan Pak Daiki ikut pelajarannya,” seru Yumiko di sela-sela tawanya.
“Ayo! Kita lomba, ya. Siapa yang duluan sampai loker berarti menang dan boleh minta traktir Udon di Merogame Seimen, haha…!” teriakku yang langsung lari dengan kaki panjangku.
“Huuu…, itu sih pasti menang kamu, Manami! Tubuh tinggimu pasti bisa lari mendahuluiku. Aku tidak mau!” bantah Yumiko. Tapi, dia tetap lari juga menyusulku yang tertawa-tawa.
Aku dan Yumiko sudah bersahabat sejak satu tahun yang lalu. Kami berkenalan saat upacara penerimaan siswa baru di SMA-ku sekarang. Yumiko, gadis imut dengan wajah cantik, putih dan rambut lurus sebahu. Tubuhnya sedang dan langsing. Tubuh yang amat kuinginkan sejak dulu. Tahu kenapa? Aku, Manami Akane, gadis berusia hampir 16 tahun yang berbeda dari yang lain. Tinggi badanku melebihi anak-anak perempuan seusiaku. Rambut panjang yang kumiliki selalu dikucir dengan poni yang dijepit ke samping. Kulitku tidak putih karena sering bermain tenis di lapangan terbuka. Tak ada yang menarik dari penampilanku. Aku juga tak tahu apa kelebihanku. Ah, mungkin hanya di bidang tenis diriku ini cukup pandai dan bisa membanggakan.
Kembali pada Yumiko. Sebenarnya, jika bisa mengubah takdir aku ingin menjadi gadis secantik Yumiko. Dikagumi dan disukai banyak orang. Banyak orang? Setelah kupikir-pikir tidak juga, ya. Yumiko hanya disukai dan dikagumi oleh para kaum laki-laki saja. Kalau dari kaum perempuan sih, menurutku banyaklah yang tidak menyukai Yumiko. Mereka iri pada kecantikannya juga keanggunan dan kelembutan sifatnya. Itulah sebabnya, hanya aku yang mau bersahabat dekat dengan si cantik Yumiko.
Sekarang mulai memasuki minggu ke dua di bulan Agustus. Kyoto, masih dalam Natsu (musim panas). Beruntungnya aku bisa lahir dan besar di Kyoto karena di saat musim panas begini, masih ada bukit-bukit sejuk sebagai penawar musim panas. Di musim panas ini juga, sekolahku sering mengikuti perlombaan di bidang olahraga, terutama tenis. Aku, si gadis jangkung selalu dipilih guru untuk mewakili sekolah dalam turnamen tenis. Tak jarang, setiap habis pertandingan, aku selalu membawakan piala untuk sekolah. Para guru dan senpai (senior) bangga padaku. Aku bersyukur karena Tuhan masih memberikan satu kelebihan di balik banyaknya kekuranganku.
Keringat bercucuran membasahi kening dan leher. Kuletakkan raket di pinggir lapangan dan duduk di sana. Air mineral dalam botol kuteguk perlahan. Dari kejauhan, kulihat Kak Satoru bersama teman-temannya lagi berbicara dengan guru pelatih tenis yang baru. Kalau tidak salah dengar namanya Pak Arata. Senpai memang belum mengenalkan Pak Arata kepada kami. Wajar saja jika aku dan para kohai (junior) belum tahu nama pelatih baru itu
“Manami, kamu makin hebat, deh! Tadi aku hampir kewalahan menghadapi gerakanmu yang amat lincah,” puji Aika, lawan mainku beberapa menit yang lalu.
“Tidak juga, Aika. Aku mesti banyak belajar, nih. Biar bisa menembus pemain nasional sekalian go internasional, hehehe…” ujarku sambil tersenyum.
Aika membalas senyumku. “Pasti bisa. Manami kan jago di lapangan, tadi saja Aika kalah terus,”
Sudah sering kudengar pujian orang tentang permainan tenisku. Entah dari mana bakat bermain tenis ini ada padaku. Baru di kelas dua ini aku masuk klub tenis. Untung saja di awal tes masuk klub tenis, permainanku mengesankan sehingga bisa diterima. Kurang lebih dua bulan berlatih aku sudah pandai bermain tenis hingga pernah mengalahkan senpai.
Kak Satoru, cowok tinggi putih dengan rambut menutupi sebagian keningnya, telah berhasil mencuri hatiku saat kenaikan kelas dua kemarin. Setelah aku tahu pujaan hatiku itu adalah anggota inti dari klub tenis, tanpa pikir panjang aku langsung mendaftarkan diri di klub tersebut. Awal mulanya kenapa bisa jatuh hati pada Kak Satoru karena aku menabrak dirinya ketika berlarian menuju kelas fisika. Kak Satoru terjatuh, lalu aku berniat meminta maaf padanya. Namun saat Kak Satoru mengangkat wajahnya dan menatapku, dengan cepat kupalingkan wajah dan meninggalkannya tanpa sempat meminta maaf. Aku terlalu gugup berhadapan dengan cowok cakep dan manis seperti Kak Satoru. Setelah itu, kuikrarkan di dalam hati jika mulai detik ini aku telah jatuh cinta padanya.
“Daaarrr…, melamun saja! Melamunkan apa sih?” tanya Yumiko yang tiba-tiba sudah berada di belakangku dan menepuk pundakku cukup kuat hingga membuatku terkejut.
“Tidak melamun, kok. Yumiko sudah selesai dari klub tatacara perjamuan minum teh?” jawabku dan balik bertanya pada Yumiko yang wajahnya kini terlihat sangat bahagia.
“Hai (Iya), Manami. Oh ya, senpai kalian yang bernama Satoru itu yang mana, ya?”
Aku terdiam sesaat ketika Yumiko menanyakan Kak Satoru.
“Manami, kenapa diam?”
“Lie (Tidak), itu yang sedang berdiri tepat menghadap guru pelatih yang mengenakan topi merah,” jelasku sambil menunjuk ke arah Kak Satoru.
“Aduh, cakep juga!” decak Yumiko kagum sambil terus mengamati Kak Satoru.
Dalam hati aku berdoa semoga Yumiko tidak jatuh cinta pada Kak Satoru. Jika iya, tentu aku akan kalah dengan Yumiko. Dengan penuh kepercayaan kupastikan Kak Satoru akan lebih memilih gadis seperti Yumiko dibanding diriku.
Hari Minggu yang damai. Kubuka jendela kamarku dan kusaksikan suasana pagi dengan mentari yang masih tersenyum memancarkan sinarnya untuk Kyoto. Masih seperti pagi-pagi sebelumnya, Kyoto dibungkus kehangatan dan dilapisi sakura-sakura nan cantik. Dari jendela kamar, aku bisa memandangi Philosopher’s Path. Kuakui Kyoto memang cantik dengan pesona Jepang kunonya, namun Philosopher’s Path saat Haru (musim semi) adalah salah satu tempat terindah dan teromantis. Ratusan pohon sakura berbaris di jalanan pinggir Kanal, membuat kuil-kuil yang berada di sekitar jalan tersebut terlihat makin indah. Sekarang pun saat musim panas, kecantikan sakura masih mewarnai Philosopher’s Path.
Haha (Ibu) terlihat sibuk memanggang roti di dapur. Kucium pipi kanan orang yang amat kucintai ini dengan tubuh masih basah sehabis mandi. Haha cuma bisa geleng-geleng kepala. Lalu dengan segera, aku naik kembali ke kamarku untuk mengeringkan badan dan merapikan diri.
“Manami keluar dulu ya, Bu!” teriakku berpamitan pada haha seraya mengambil satu lembar roti panggang di meja.
“Iterasshai (Hati-hati di jalan), Manami! Lebih baik makan rotinya di rumah!” nasihat haha sambil memandangiku yang terburu-buru.
“Tidak sempat, Bu!” seruku lalu melangkahkan kaki menuju pintu.
Kukayuh sepedaku dengan cukup cepat. Semoga bisa sampai tepat waktu. Mataku menyapu jalanan wilayah Sanjo. Bersih dan rapi. Orang-orang berlalu lalang masih dengan kesibukan masing-masing walau hari ini hari libur. Sama seperti diriku yang entah kenapa pagi ini tergesa-gesa menuju Togaden, restoran tofu (tahu). Bukan berniat untuk makan tofu karena memang Togaden buka jam lima sore. Tapi demi menuntaskan rasa penasaranku atas cerita Yumiko tadi malam.
Yumiko menelponku dan mengatakan bahwa hari ini pukul 9 pagi, dia janjian bertemu dengan Kak Satoru di depan Togaden. Aku meringis mendengarnya dan berniat untuk tidak ambil pusing. Tapi nyatanya aku tak bisa. Aku terus memikirkan dan penasaran apakah pernyataan Yumiko benar.
Aku menghentikan sepedaku dan menatap dua manusia yang sedang berdiri di depan Togaden. Yumiko dengan rok merah muda dan atasan putihnya terlihat makin menarik, ia tertawa kecil sambil menatap Kak Satoru yang sedang berbicara sesuatu yang mungkin cukup lucu hingga menimbulkan tawa di antara mereka. Rasanya dada ini bergemuruh melihat keakraban mereka. Aku tak menyangka Yumiko bisa langsung akrab dengan Kak Satoru dalam waktu satu hari saja. Tapi tak bisa disalahkan, itulah Yumiko yang memang dari sananya memiliki daya tarik hingga mudah bergaul dengan semua laki-laki dalam waktu singkat.
Aku berniat mengayuh kembali sepedaku untuk pulang. Tapi Yumiko menyadari keberadaanku.
“Manami…!” panggil Yumiko sambil melambaikan tangannya menyuruhku menghampirinya. Mau tak mau aku pun menoleh dan menuju ke sana.
“Ohayou gozaimasu, Yumiko. Ohayou gozaimasu Kak Satoru…,” sapaku pada mereka.
“Ohayou gozaimasu, Manami.” balas Kak Satoru dan Yumiko berbarengan. Mereka berdua berpandangan lalu tertawa bersama.
“Aduh, kenapa kita bisa bareng membalas ucapan Manami ya, Satoru? Hehehe…,” ucap Yumiko kecil sambil tersenyum.
Aku ikut tersenyum, tepatnya pura-pura tersenyum menutupi kecemburuanku karena Yumiko dengan begitu cepatnya bisa dekat dengan laki-laki yang kusukai. Apalagi Yumiko telah memanggil Kak Satoru hanya dengan namanya. Ah, rasanya aku ingin cepat-cepat pergi dari sini.
“Manami dari mana dan mau ke mana?” tanya Kak Satoru padaku.
“Tadi dari minimarket. Habis itu keliling sebentar dan ternyata ketemu Kakak dan Yumiko, hehehe…” jawabku berbohong.
“Oh…,” kata Kak Satoru singkat.
“Manami, mau ikut kami tidak ke Fushimi Inari?” tawar Yumiko padaku.
Kami? Berarti Yumiko dan Kak Satoru akan ke Fushimi Inari. Aku terbayang ciri khas Fushimi Inari yaitu deretan kayu yang menjadi gapura-gapura bersusun berwarna orange dan hitam. Kontur tanah yang berbukit menjadi ciri khas jika semakin ke dalam area, semakin menanjak. Sudah lama diriku tidak ke sana sejak chici (ayah) meninggalkan haha dan aku demi wanita lain.
“Hei, kok malah melamun. Mau tidak, Manami?” tanya Yumiko lagi sambil mengibaskan tangannya di depan wajahku.
“Eh, tidak. Maaf Yumiko. Hari ini aku membantu haha membuat pesanan kue,” jawabku. “Aku duluan ya, semoga ke Fushimi Inari kalian menyenangkan,”
Yumiko tersenyum dan melambaikan tangannya ketika aku kembali mengayuhkan sepeda, sementara Kak Satoru hanya diam saat aku berpamitan.
Sesampainya di rumah, haha sudah sibuk menyusun kue-kue yang akan diantarkan kepada pemesan.
“Manami, siang nanti sekitar pukul 1 tolong antarkan kotak berwarna hijau itu ya!” kata haha yang melihatku sudah duduk di kursi sambil menuangkan minuman jeruk buatannya.
Aku mengangguk lalu tersenyum. Sebenarnya aku ingin bekerja paruh waktu untuk meringankan beban ibuku. Tapi haha tidak memperbolehkanku bekerja. Cukup belajar dengan rajin dan menjadi anak pandai sehingga bisa bekerja yang baik nantinya, itu pinta haha padaku. Aku pun berjanji, akan menjadi anak yang baik, bisa membanggakan dan membahagiakan haha.
Sambil meneguk minuman, aku membayangkan Yumiko yang kini tengah berjalan berdua dengan Kak Satoru. Apakah mereka sudah menjadi sepasang kekasih? Apakah Kak Satoru menyukai Yumiko dan Yumiko juga menyukai Kak Satoru, ya? Aku tidak tahu itu. Hanya yang kutahu jika saat ini aku merasakan kehampaan.
***
“Aku menyukai Satoru, Manami. Menurutmu bagaimana? Apakah Satoru akan menerima cintaku?” kata Yumiko saat istirahat pergantian palajaran.
“Yumiko gadis yang cantik, laki-laki manapun akan menyukai Yumiko termasuk Kak Satoru,” jawabku sekenanya.
Yumiko tersenyum sumringah. Lalu ia berkata lagi, “Pada Festival Gozan no Okuribi nanti, aku akan menyatakan cinta pada Satoru,”
Aku kaget. “Yumiko yang akan menyatakan duluan?” tanyaku pada Yumiko yang terlihat bahagia. Aku belum pernah melihat wajah Yumiko secerah itu. Apakah karena ia telah benar-benar jatuh cinta pada Kak Satoru hingga membuat dirinya seperti itu?
Yumiko menganggukkan kepala cepat. “Hai, Manami!” jawab Yumiko mantap.
“Ganbatte kudasai (Selamat berjuang), sahabatku! Semoga semuanya lancar. Jangan lupa mentraktirku makan udon jika berhasil!” kataku sambil mengerlingkan mata jenaka pada Manami.
“Oke, mudah itu! Hahaha…,” Manami tertawa dengan bahagia.
Munafik, aku benar-benar munafik. Bisa-bisanya aku mendoakan Yumiko berhasil dengan Kak Satoru. Padahal hatiku sedang dibakar api cemburu. Ya Tuhan, aku berharap Kak Satoru tidak menerima cinta Yumiko, doaku dalam hati. Tapi, alangkah jahatnya diriku pada sahabat sendiri.
Aku baru merasakan perasaan mereka, para gadis yang membenci Yumiko, karena Yumiko telah merebut perhatian cowok-cowok yang diincar mereka. Aku sudah menetapkan hati untuk tidak ikut membenci Yumiko, tapi saat ini kenapa rasa itu tiba-tiba ada. Rasa sedikit kesal karena Yumiko menyukai Kak Satoru. Jika aku mulai membenci Yumiko, aku merasa yang jahat itu aku.
Bukan kehendak Yumiko yang terlahir dengan kecantikan lebih dan memiliki daya tarik yang memikat. Jadi tak seharusnya mereka atau pun aku dengan seenaknya menyalahkan Yumiko. Yumiko tetap gadis yang berhak mendapatkan sahabat dan dapat diterima dengan baik olehku dan oleh mereka.
Selesai sekolah hari ini, seperti biasanya aku segera menuju klub tenis. Yumiko sendiri ke klub tatacara perjamuan minum teh. Dalam hati aku berucap, untung saja Yumiko bukan anggota klub tenis. Jika iya, tentu Yumiko akan terus bersama Kak Satoru. Aku yang hanya bisa menyukai diam-diam tentu akan sangat menderita menahan cemburu.
Setelah meletakkan tas di ruangan klub, aku segera menuju lapangan. Akan tetapi kohai kelas 1 belum menyiapkan dan membersihkan lapangan. Bisa-bisa senpai kelas 3 akan marah jika melihat lapangan dalam keadaan begini. Aku tak ingin itu terjadi. Lalu dengan cepat kubersihkan lapangan dan mengaturnya.
“Manami, kenapa kamu yang membersihkan lapangan? Mana kohai kelas 1?”
Aku menoleh ke belakang, ternyata Kak Satoru.
Dengan berdebar-debar aku menjawab, “Mungkin mereka masih belajar di kelas, Kak.”
Aku tersentak ketika Kak Satoru ikut membantuku menyiapkan lapangan.
“Kak… Emm, tidak usah, Kak. Nanti senpai yang lain melihat. Mereka marah jika Kakak ikut bekerja,” kataku yang tak dihiraukan Kak Satoru.
“Satoru…!” panggil Yumiko yang sudah berada di dekat kami.
Kenapa Yumiko datang sih, gerutuku dalam hati.
Kak Satoru memberikan senyuman yang indah untuk Yumiko. Aku baru sadar senyuman itu sangatlah spesial dan hanya untuk satu orang, Yumiko.
“Yumiko bawa kyogashi untuk Satoru. Dimakan, ya!” kata Yumiko pada Satoru sambil menyerahkan kotak berisi kue khas Kyoto.
“Arigatou gozaimasu (Terima kasih), Yumiko. Kamu membuat kyogashi sendiri?” tanya Kak Satoru sambil memandang lekat pada Yumiko.
Yumiko tersipu. “Hai, Satoru. Khusus untuk Satoru, hehehe…”
Yumiko dan Kak Satoru berbicara seolah tak ada aku. Mereka mengacuhkanku. Lebih baik pergi menjauh dari mereka. Aku berlari menuju ruangan klub. Airmata membasahi kedua belah pipiku. Kubenamkan wajah di atas tas. Menangis, menumpahkan kesedihanku.
***
“Itadakimasu (Selamat makan), Sayang. Makan yang banyak ya, biar makin tinggi dan pintar, hehe…,” ujar haha bercanda dengan mengucapkan doa biar makin tinggi.
Aku hanya tersenyum kecil. Tak biasanya sikapku begitu. Biasanya jika haha menggodaku, aku akan teriak-teriak lalu dilanjutkan dengan tertawa.
“Manami, kamu kenapa? Wajahmu menyiratkan kesedihan begitu,”
“Tidak apa-apa, Bu. Manami hanya kelelahan. Manami naik dulu, ya. Mau langsung tidur,”
“Makanannya dihabiskan dulu, Sayang!”
“Sudah kenyang, Bu.” jawabku yang langsung mempercepat langkah menaiki tangga.
Di dalam kamar, aku duduk memandangi langit malam yang bertabur bintang lewat jendela kamarku. aku termenung memikirkan perasaanku. Sungguh aku telah benar-benar merasakan minder karena berbeda dengan yang lain. Punya orangtua yang tidak lengkap, kehidupan ekonomi yang pas-pas an, tubuh tinggi menjulang namun kurus tidak berisi, wajah yang standar dan parahnya memiliki perasaan terpendam pada laki-laki yang hampir sempurna. Ah, pikiran apa ini? Bisa-bisanya aku mencela diri sendiri. Padahal Tuhan telah menciptakanku dengan sebaik-baiknya dan selalu memberikan nikmat-Nya yang cukup buatku.
Besok tanggal 16 Agustus, artinya Festival Gozan no Okuribi akan segera tiba. Festival yang diselenggarakan dari petang hingga malam ini akan menerangi Kyoto dengan aneka karakter Jepang dan simbol kebudayaan dari api, menyala di gunung-gunung yang mengelilingi Kyoto. Aku sudah membayangkan keindahan dan keramaian di festival tersebut. Bahkan aku pernah bermimpi keluar di malam hari berdua dengan Kak Satoru ketika Festival Gozan no Okuribi.
Angin malam membelai wajah sedihku. Sejak Yumiko mengenal Kak Satoru perasaan sedih selalu melanda hati ini. Aku tahu, beberapa gadis di sekolahku menyukai Kak Satoru, tapi aku biasa-biasa saja karena Kak Satoru tidak menanggapi mereka. Entah kenapa, saat Yumiko yang menyukai Kak Satoru aku tidak bisa biasa-biasa saja. Aku terlarut dalam kesedihan. Merasa takut Yumiko bisa merebut hati Kak Satoru.
“Angin, sampaikan salamku untuk Kak Satoru!” kataku lirih pada angin yang kembali membelai wajahku.
***
“Eh, sudah tahu belum jika Kak Satoru sekarang lagi dekat dengan anak kelas 2 bernama Yumiko. Aku sih menyerah saja, karena tak mungkin bersaing dengan Yumiko yang cantik itu,” kata salah satu anak kelas 1 pada temannya yang terlihat cemberut mendengar pernyataannya.
Ternyata berita tentang kedekatan Yumiko dan Kak Satoru sudah meluas. Aku hanya menelan ludah mendengarnya.
“Manami, benar ya jika Yumiko dekat dengan Kak Satoru? Yumiko jahat, deh! Masa semua cowok keren di sekolah kita ingin dimilikinya semua!” seru Aika yang menghampiriku. Sedikit tersedak aku mendengarnya karena sedang meneguk minuman.
“Emm… Hai, Aika.” jawabku pendek setelah itu kembali kuteguk habis air di dalam botol.
Aika meninggalkanku. Aku tahu ia kecewa, sama seperti diriku.
Aku berjalan meninggalkan lapangan tenis. Sudah hampir sore, jadi kuputuskan untuk segera pulang. Dengan berjalan gontai aku menuju ruangan klub tenis. Baru saja langkah kakiku akan menapaki ruangan itu dan tanganku akan membuka pintu, aku mendengar suara kecil. Kuurungkan niat untuk masuk mengambil tas. Dengan seksama aku mendengarkan percakapan dua orang di dalam.
“Gomen nasai (Maafkan aku), Yumiko! Saat ini aku tak bisa,”
Aku amat mengenal suara itu. Suara Kak Satoru.
“Kenapa? Apa ada gadis lain yang disukai Satoru? Jadi apa artinya selama ini Satoru mendekatiku?”
Ini suara Yumiko. Tiba-tiba pintu terbuka, Kak Satoru keluar dengan wajah marah dan kesal. Baru kali ini aku melihat wajah Kak Satoru seperti itu. Kak Satoru memandangiku sesaat lalu pergi.
Aku melangkah masuk dengan perlahan. Yumiko sedang duduk sambil menundukkan kepalanya, membenamkan wajahnya di meja.
“Yumiko…,” panggilku sambil membelai rambutnya.
Yumiko mengangkat kepalanya. Kini wajah cantiknya basah oleh airmata. Aku tak mengerti.
“Satoru menolakku, Manami! Aku sangat menyesal menyatakan cinta padanya. Benar-benar tidak tahu diri! Apa coba kekuranganku sampai ia tak menerima cintaku?” Satoru jahat, sok cakep dan munafik!” jerit Yumiko.
“Hentikan, Yumiko! Tasukete (Tolong)! Kak Satoru tidak begitu,” belaku yang membuat Yumiko terbelalak. Aduh, kenapa aku membela Kak Satoru. Bisa-bisa perasaanku dapat dibaca Yumiko.
“Kenapa Manami membela Satoru?” tanya Yumiko mulai menangis lagi.
Aku membawa tubuh Yumiko ke dalam pelukanku. Mencoba menenangkannya.
“Yumiko, bukankah katamu pada saat festival malam ini akan menyatakan cinta pada Kak Satoru. Lalu kenapa kamu lakukan sekarang?” tanyaku setelah Yumiko cukup tenang.
“Aku ingin Satoru segera jadi kekasihku. Jadi malam nanti tinggal merayakannya. Tapi keinginan itu tidak terwujud. Aku heran ada apa di pikiran Satoru sampai-sampai ia menolakku,” jelas Yumiko dengan sinis karena ia tak menerima penolakan Kak Satoru.
Aku terdiam. Yumiko terlihat begitu marah dan sedih. Wajar saja karena lelaki pilihannya menolak cintanya, padahal banyak lelaki lain yang menginginkan cintanya.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, aku memikirkan kejadian antara Kak Satoru dan Yumiko. Perasaanku sekarang tak menentu. Ada rasa bahagia karena ternyata Kak Satoru tidak memiliki perasaan apa-apa pada Yumiko. Tapi sebaliknya aku juga merasakan kesedihan karena sahabat yang kusayangi menangis. Hati kecilku mulai bereaksi. Lebih baik Kak Satoru menerima Yumiko saja, biar Yumiko tetap bahagia dengan senyumannya terukir indah di wajahnya yang cantik. Walaupun hati ini pedih namun bila Yumiko bisa bahagia, tak apalah.
***
Jam dinding kamarku menunjukkan pukul 8 malam. Surat berwarna jingga sedang kugenggam. Haha mengatakan jika sekitar pukul 4 sore tadi surat itu tergeletak di dekat pagar. Tertulis namaku di sana, maka haha mengambilnya. Aku ragu untuk membaca isi surat itu karena takut hanya akan berisi olokan atau ejekan untukku. Sebab dulu pernah dua kali aku mendapatkan surat dan isinya berupa cacian untukku dan haha.
Handphone-ku bergetar, ada pesan masuk dari Yumiko. Setelah membacanya, aku mengganti pakaian yang agak tebal dan merapikan rambutku lalu turun ke bawah untuk menemui haha.
“Bu, Manami izin keluar ya. Yumiko mengajak Manami untuk melihat Festival Gozan no Okuribi,” bujukku pada haha yang sedang asyik menonton televisi.
“Oke, tapi pulangnya jangan lewat pukul 12, Manami sayang. Iterasshai!”
Aku mengangguk lalu mencium pipi kanan haha. “Konbanwa dan Oyasumi nasai (Selamat malam dan selamat tidur), Bu!”
Dengan langkah ringan kutembus suasana malam di luar. Yumiko menyuruhku tidak usah membawa sepeda di pesannya tadi. Berjalan kaki lebih seru katanya. Kami janjian bertemu di restoran udon, Merogame Seimen, untuk makan udon bersama. Baru setelah itu kami akan berjalan keliling merasakan kemeriahan api yang dinyalakan penduduk Kyoto.
Aku memasuki Merogame Seimen yang ramai. Mataku berkeliling mencari Yumiko. Kutemukan Yumiko yang duduk berhadapan dengan Kak Satoru. Aku bingung kenapa bisa ada Kak Satoru di sini. Apakah Yumiko mengajak Kak Satoru juga. Atau Kak Satoru tidak jadi menolak Yumiko dan kini mereka telah jadian. Ah, berbagai macam pertanyaan berloncatan di benakku.
“Konbanwa (Selamat malam), Yumiko dan Kak Satoru!” sapaku pada mereka yang sedang terdiam.
Kak Satoru terkejut dengan kehadiran diriku. Yumiko memandangku dalam-dalam lalu pergi meninggalkan kami. Aku hendak menyusul Yumiko, tapi jemari Kak Satoru menggenggam lenganku. Aku menoleh ke arah Kak Satoru dan mata kami bertatapan. Matanya yang indah seolah menenggelamkan energi tubuhku. Aku terduduk di kursi tempat Yumiko duduk tadi.
“Manami sudah membaca suratku?” tanya Kak Satoru gugup sambil menatap mataku.
“Surat apa, Kak?” jawabku ikutan gugup. Ah, ada apa ini. Apa yang sebenarnya terjadi. Kok Kak Satoru terlihat gugup begitu. Kenapa matanya tak lepas untuk menatapku terus-terusan.
“Surat berwarna jingga. Sebenarnya ingin kuberikan langsung padamu di sekolah tadi, Manami. Tapi aku belum memiliki keberanian. Jadinya aku ke rumahmu saja dan menyelipkannya di dekat pagar,”
Aku mendengarkan penjelasan Kak Satoru. Berarti surat itu yang ditemukan haha dan belum kubaca. Kini aku tertunduk, tidak tahan ditatap terus oleh mata bening dan teduh milik lelaki pujaanku.
“Emm, suratnya sudah Manami terima. Tapi Manami belum membacanya, Kak. Gomen nasai (Maaf),”
“Daijobu desu (Tidak apa-apa), Manami. Seharusnya aku yang minta maaf karena tanpa seizinmu aku menyayangimu. Aishiteru (Aku cinta kamu), Manami…”
“Kak Satoru bilang apa sih? Salah tidak, Kak?” karena begitu gugupnya aku berkata sekenanya saja.
Kak Satoru menggelengkan kepala. Tangannya mengangkat kepalaku dan membelai daguku sambil menggenggam jemariku dengan tangannya yang hangat. Badanku rasanya lemas. Sesaat kemudian dikecupnya jemariku dengan bibir merahnya. Aku merasakan kehangatan mengalir pada seluruh tubuhku. Aku memberanikan diri menatap wajah Kak Satoru untuk mencari kesungguhan dalam sikapnya.
“Apakah ini mimpi, Kak?” tanyaku lirih, hampir menangis.
“Ini nyata, Manami. Aku sungguh menyukaimu bahkan mencintaimu.” jawab Kak Satoru. Kulihat matanya memerah dan sedikit keluar bulir bening dari sana.
Kini kami berdua tengah duduk di taman. Ditemani cahaya api dari beberapa gunung, kami berbicara panjang lebar dengan bahagia. Beberapa menit lalu, aku telah menerima cinta Kak Satoru di Merogame Seimen dan kini kami sudah menjadi sepasang kekasih. Surat jingga yang belum kubaca ternyata berisi tentang perasaan Kak Satoru padaku.
“Sejak Manami masuk klub tenis, aku mulai menyukai Manami yang gigih berlatih dan tidak segan-segan membantu kohai membersihkan lapangan. Itulah saat itu aku pernah berusaha mendekati Manami dengan membantu membersihkan lapangan tenis. Tapi Manami malah menjauh karena Yumiko datang. Asal Manami tahu, aku mendekati Yumiko hanya untuk dekat pada Manami. Tapi ternyata Yumiko salah mengartikan,”
Aku sangat bahagia mendengar penuturan dari Kak Satoru.
“Yumiko bagaimana, Kak? Apa dia membenciku setelah tahu ini?”
“Tenang saja, Sayangku. Yumiko sudah tahu semuanya jika aku mencintai Manami. Dia mau menerimanya dan tidak akan membenci Manami,”
Aku tak bisa menahan tangis lagi. Kini airmataku tumpah. Kak Satoru memelukku. “Mulai malam ini panggil aku dengan Satoru saja, Manami!” bisiknya di dekat telingaku.
“Iya, Sa… toru,” jawabku di sela-sela tangisku.
Aku tak tahu harus bersyukur seperti apa untuk semua keindahan yang kudapatkan malam ini. Sungguh ini seperti mimpi.
“Manami jangan lagi merasa kurang dengan apa yang ada pada diri Manami. Tubuh tinggi Manami, kulit dan wajah Manami atau mungkin keadaan keluarga Manami, itu semua bukan kekurangan. Itu jalan Tuhan agar Manami mensyukuri nikmat-Nya. Perbedaan Manami dari gadis yang lain telah membuat hatiku memilih Manami. Tetaplah seperti ini, Manami!”
Aku mengangguk-anggukkan kepala di dalam dekapan hangat Satoru. Suatu hari nanti, aku akan menceritakan pada Satoru jika sejak awal diri ini memang telah memilih dia. Aku yakin, Satoru akan bahagia mendengarnya. Di musim yang baru, Aki (Musim gugur) yang kira-kira tinggal dua minggu lagi, aku akan melihat pemandangan warna warni daun yang berguguran bersama kekasihku, Satoru. Aku berharap, Yumiko juga akan mendapatkan kekasih sesuai pilihannya sebelum memasuki musim gugur. Dengan begitu, kebahagiaanku akan lengkap karena bisa merayakan keindahan di saat musim berganti bersama seorang kekasih dan seorang sahabat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H