Dimasa pandemi ini, semua terkena dampaknya. Baik pengusaha, anak sekolah, pedagang maupun perusahaan sekalipun juga merasakan efek covid 19 yang tak jelas kapan selesainya. Ini tidak  hanya di lokal saja, tapi seluruh dunia juga merasakanya.
Apalagi dengan adanya sistem kebijakan lockdown, yang justru membuat perputaran ekonomi semakin rancu. Usaha mikro kecil menengah juga sangat terpuruk, bahkan banyak juga yang sudah sampai gulung tikar karena covid 19 ini.
Salah satu pengusaha tempe yang berasal dari Ponorogo, mbok Simpen juga mengeluhkan hal ini. "kadang aku sendiri juga jadi bingung dengan keadaan pandemi ini, mau cari keuntungan aku susah banget", ujarnya sambil sesekali tangan mengusap keningnya. Tempe yang dibuat mbok Simpen ini dibuat dengan bungkus daun pisang. Tidak seperti kebanyakan tempe yang dibungkus dengan plastik.
Rasa yang dihasilkan dari bungkus dedaunan memang lebih enak, dia sudah lama menjalani usaha ini dan sudah mempunyai banyak pelanggan, bahkan sekali buat bisa sampai ribuan, kalau dipasar hanya butuh waktu kurang dari 3 jam saja sudah bisa langsung pulang. Ini karena saking larisnya.
"Ini waktu aku dulu jualan tempe sebelum ada pandemi covid kaya gini, kalau sekarang mah sudah beda", katanya. Dia juga menambahkan bahwa yang bikin pengusaha tempe selalu rugi dan gulung tikar kebanyakan bukan karena penjualan ke konsumen tempe. Biasanya karena harga bahkan baku yang naiknya kelewat batas.
Seperti beberapa waktu terakhir ini yang paling parah, bahkan pernah sampai 10 ribu per kilo, tentu ini untuk balik modal saja sudah susah, apalagi untuk cari untung. Sedangkan kebutuhan keluarga juga sudah tidak bisa ditawar lagi.
Selama menjalani sebagai pengusaha tempe, mbok Rumi baru kali ini mengalami penurunan produksi yang sangat drastis akibat harga bahan baku yang naiknya kelewatan, apalagi dari pihak produsen kalau mau menaikkan harga jual tempe nya juga sangat bersaing di pasaran.
Kalau di pedesaan untuk menaikkan harga sudah pasti kesusahan, mengingat dimasa orang banyak di PHK, disuruh di rumah aja, dilarang berkerumun dan yang usaha banyak juga yang kena imbasnya.
"Di pasar ini kadang kondisinya memang tidak stabil, jadi kadang aku jual gorengan juga, ya mana yang laku dah pokoknya. Walaupun untuk tempe juga masih tetap membuatnya, tapi cuma sebatas setor sama pedagang yang ada di pasar saja. Mereka juga dijual lagi. Jadi aku dateng langsung taruh barang", ujar mbok Simpen.
Memang sebelum covid datang, mbok Simpen memang sudah membuat tempe dan gorengan sejak lama, namun karena yang melanda. Hanya volume dan jumlah perbandingan keduanya saja yang berbeda.
Sebelum covid, jumlah produksi tempe memang paling banyak, namun semenjak covid tempe dibuat hanya untuk pedagang yang ada dipasar dan mereka jual lagi. Gorengan pun juga begitu, hanya buat dan dietorkan saja ke pedagang yang ada di pasar. Ini demi semuanya berjalan dan semua bisa cari makan.
Ada lagi pengusaha tempe yang malah mucul di masa covid ini dan hanya bertahan selama 3 bulan. Bagus asal desa pandansari, kecamatan kajoran, kabupaten magelang ini juga merasakan ganasnya usaha UMKM dalam menerjang badai pandemi.
Dia memang sebenarnya sudah bertahun -- tahun menekuni usaha tempe pabrikan dengan bungkus plastik, namun itu bukan usahanya sendiri, ini usaha dari bosnya yang ada di Kota Madiun. Selama di Madiun bertahun -- tahun, pendi berhasil menjadi anak buah yang bisa dibilang lancar dalam menerima tugas dan mau belajar.
Karena memang ia juga hanya tamatan SMP saja. Bahkan hanya dengan bermodalkan skill yang ia pelajari bertahun-tahun dengan bosnya itu, di masa pandemi ini ia berhasil mendirikan usaha sendiri dan dengan alat yang seadanya.
Sampai akhirnya ia membuat tempe sendiri sampai menjualnya sendiri. Bermodalkan motor bebek dan kerombong, ia berhasil menjual tempe nya ke berbagai pelosok desa, ia keliling dan bahkan sesekali juga di pasar, atau setor ke warung juga.
Di awal pembuatan memang ia berhasil menjual semua barang daganganya hanya 5 jam saja setiap hari. Setiap hari berangkat jam 5 pagi dan pulang jam 10 an pagi. Diawal juga harga yang dia tawarkan hanya sebatas mencari keuntungan untuk beli rokok saja, namun seiring ia menaikkan harga sedikit demi sedikit, konsumen pun masih tetap bisa ditahan.
Ia memulai menambah bahan baku dan menambah jumlah produksinya, yang tadinya 5 kg kedelai, sekarang menjadi 10 kg kedelai. Namun karena sekarang ini bahan bakunya naik, akhirnya ia sedang off dulu untuk melanjutkan usaha dagang tempenya.
"ya karena bahan baku kedelai yang akhir-akhir ini saya rasakan tidak stabil dan naiknya juga kebangetan , ya saya sendiri langsung berhenti aja dulu, soalnya terkait untung dan ruginya bedanya jauh banget. Dan kalau dengan produk harga yang saya naikkan, dan ukuran saya agak kecilkan lagi, tentu pasaran saya bisa hilang. Apalagi banyak banget pesaingnya." ujar pria yang masih berusia 19 tahun itu.
"Untungnya biaya produksi nya masih saya kerjakan sendiri, prosesnya juga manual, untuk pemasakan menggunakan kayu bakar, jadi masih dapet sayalah kalau buat untung sendiri. Tapi itu yang sudah mengerjakan orang dan proses produksinya makan biaya banyak, pasti ngos-ngos an di suasana kayak gini." Tambahnya.
Penjual tempe baik yang menggunakan produk tradisional yang masih menggunakan bungkus daun pisang dan tempe yang menggunakan bungkus plastik, keluhan keduanya sama saja. Terkait covid mereka merasakan dampaknya.
Dampak paling parah tentu ada pada harga bahan baku yang tidak stabil dan bahkan kalau naik bisa kelewat batas, ini yang membuat banyak pengusaha tempe bisa gulung tikar dan bahkan tidak sedikit yang beralih profesi.
Pembuatan tempe sendiri juga memerlukan waktu sampai 3 hari, agar bisa jualan setiap hari tentunya harus membuat nya setiap hari, ada selisih 2 hari dimana ini merupakan modal yang 2 kali lipatnya harus di penuhi dulu di bahan baku dan pembuatan.
"Ya kalau saya sampai tidak buat tempe beberapa hari saja, rasanya seperti usaha saya ini  mulai dari nol lagi ". Ini kata mbok Simpen sambil mengeluh dengan kondisi pandemi yang entah kapan selesainya ini.
Bahkan mungkin juga tidak hanya mbok Simpen dan mas Bagus saja yang merasakan hal ini, ini hanya penggalan obrolan dengan beberapa orang saja, terkait dengan produk yang menggunakan kedelai sebagai bahan bakunya.
Baik itu pengusaha tahu maupun tempe, semuanya merasakan dampaknya Apalagi dengan kondisi yang sewaktu -- waktu bisa lockdown yang kadang ini juga mendadak. Dimana kebutuhan keluarga tidak bisa di tawar lagi.
Semua harus makan, solusi terbaik mungkin cuma bertahan dengan produksi seadanya atau pindah ke bisnis lain yang bisa menghasilkan uang dan bisa memenuhi kebutuhan keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H