"Di pasar ini kadang kondisinya memang tidak stabil, jadi kadang aku jual gorengan juga, ya mana yang laku dah pokoknya. Walaupun untuk tempe juga masih tetap membuatnya, tapi cuma sebatas setor sama pedagang yang ada di pasar saja. Mereka juga dijual lagi. Jadi aku dateng langsung taruh barang", ujar mbok Simpen.
Memang sebelum covid datang, mbok Simpen memang sudah membuat tempe dan gorengan sejak lama, namun karena yang melanda. Hanya volume dan jumlah perbandingan keduanya saja yang berbeda.
Sebelum covid, jumlah produksi tempe memang paling banyak, namun semenjak covid tempe dibuat hanya untuk pedagang yang ada dipasar dan mereka jual lagi. Gorengan pun juga begitu, hanya buat dan dietorkan saja ke pedagang yang ada di pasar. Ini demi semuanya berjalan dan semua bisa cari makan.
Ada lagi pengusaha tempe yang malah mucul di masa covid ini dan hanya bertahan selama 3 bulan. Bagus asal desa pandansari, kecamatan kajoran, kabupaten magelang ini juga merasakan ganasnya usaha UMKM dalam menerjang badai pandemi.
Dia memang sebenarnya sudah bertahun -- tahun menekuni usaha tempe pabrikan dengan bungkus plastik, namun itu bukan usahanya sendiri, ini usaha dari bosnya yang ada di Kota Madiun. Selama di Madiun bertahun -- tahun, pendi berhasil menjadi anak buah yang bisa dibilang lancar dalam menerima tugas dan mau belajar.
Karena memang ia juga hanya tamatan SMP saja. Bahkan hanya dengan bermodalkan skill yang ia pelajari bertahun-tahun dengan bosnya itu, di masa pandemi ini ia berhasil mendirikan usaha sendiri dan dengan alat yang seadanya.
Sampai akhirnya ia membuat tempe sendiri sampai menjualnya sendiri. Bermodalkan motor bebek dan kerombong, ia berhasil menjual tempe nya ke berbagai pelosok desa, ia keliling dan bahkan sesekali juga di pasar, atau setor ke warung juga.
Di awal pembuatan memang ia berhasil menjual semua barang daganganya hanya 5 jam saja setiap hari. Setiap hari berangkat jam 5 pagi dan pulang jam 10 an pagi. Diawal juga harga yang dia tawarkan hanya sebatas mencari keuntungan untuk beli rokok saja, namun seiring ia menaikkan harga sedikit demi sedikit, konsumen pun masih tetap bisa ditahan.
Ia memulai menambah bahan baku dan menambah jumlah produksinya, yang tadinya 5 kg kedelai, sekarang menjadi 10 kg kedelai. Namun karena sekarang ini bahan bakunya naik, akhirnya ia sedang off dulu untuk melanjutkan usaha dagang tempenya.
"ya karena bahan baku kedelai yang akhir-akhir ini saya rasakan tidak stabil dan naiknya juga kebangetan , ya saya sendiri langsung berhenti aja dulu, soalnya terkait untung dan ruginya bedanya jauh banget. Dan kalau dengan produk harga yang saya naikkan, dan ukuran saya agak kecilkan lagi, tentu pasaran saya bisa hilang. Apalagi banyak banget pesaingnya." ujar pria yang masih berusia 19 tahun itu.
"Untungnya biaya produksi nya masih saya kerjakan sendiri, prosesnya juga manual, untuk pemasakan menggunakan kayu bakar, jadi masih dapet sayalah kalau buat untung sendiri. Tapi itu yang sudah mengerjakan orang dan proses produksinya makan biaya banyak, pasti ngos-ngos an di suasana kayak gini." Tambahnya.