Mohon tunggu...
Mita
Mita Mohon Tunggu... Administrasi - -

Just share my thoughts

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

New Normal, Menuju Kewarasan Baru

1 Juni 2020   00:04 Diperbarui: 3 Juni 2020   13:02 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah menerbitkan aturan penerapan new normal terkait kejadian luar biasa yang sedang kita semua alami. New normal bisa dikatakan gaya hidup baru di tengah pandemi. 

Salah satu contoh sederhana adalah kita tetap bisa hidup normal  namun tetap wajib melakukan protokol kesehatan seperti memakai masker, rajin cuci tangan, dan sebagainya. 

Selama tiga bulan terakhir hal ini tentu sudah menjadi hal biasa dan mau tak mau menjadi lebih concern dengan kesehatan jasmani agar imun tetap kuat. 

Lalu bagaimana dengan kesehatan jiwa atau kesehatan mental. Sangat perlu mengatur jiwa ini tetap seimbang, jangan sampai tumbang, karna terkadang merasa lebih baik lelah fisik daripada lelah jiwa. 

Ada yang perlu diperhatikan apakah kita orang yang diperlakukan buruk atau justru kita orang buruk itu sendiri. Beberapa hal bisa kita renungkan di mana kita termasuk.

1. Mental Health Comes First

Selama ini apakah kita hidup seperti menaiki wahana roller coaster ? terlalu banyak khawatir dan ketakutan. Intinya tak nyaman. If it feels wrong, it's wrong. Jangan paksa. 

Kita bukan penganut adrenaline junkie, kita butuh ketenangan jiwa. Apapun bentuknya yang berpotensi menguras energi lebih baik tinggalkan. Seumpamanya kita dalam sebuah hubungan namun lebih banyak derita daripada bahagia lebih baik relakan. 

Begitu juga jika kita mempunyai teman yang lebih banyak konflik daripada saling support lebih baik jauhi. Kita punya hak untuk membuang toxic people dalam hidup kita. Dan juga tak ada salahnya untuk blok akses komunikasi dari orang-orang bermasalah.2. Keluar Dari Grup

Kemudahan berkomunikasi di era ini kadang bisa menjadi sebuah beban tersendiri ketika keharusan ikut meramaikan grup menjadi sebuah kewajiban menjaga komunikasi layaknya menjaga sebuah tali silaturahmi di dunia nyata. 

Misalkan nomor kita berada dalam sebuah grup whatsapp, namun isinya melenceng dari tujuan terbentuknya grup tersebut. Contoh, grup pertemanan. Walaupun anggota grup sudah pasti orang yang sudah dikenal baik, namun tetap jaga privasi dan perasaan orang lain. 

Apa yang dibahas bukanlah sindiran, atau membicarakan masalah orang sebagai topik obrolan di grup karna tidak semua orang ingin masalahnya dibahas dalam forum walaupun hanya sekedar di grup pertemanan atau grup keluarga. 

Dan mungkin ada hal lain yang kelihatannya tidak pas atau mengganggu, lebih baik keluar dari grup whatsapp, telegram atau apapun itu. Kita perlu keluar dari zona apapun yang sifatnya negatif. 

Keluar dari grup bukan berarti kekanakan atau memutuskan tali silaturahmi. Namun salah satu bentuk filteruntuk menyaring mana yang baik untuk asupan mental. Dan hal itu adalah hak setiap orang. Jika tak cukup berani atau tidak enak bisa dengan cara mute selama 8 jam, 1 minggu, ataupun 1 tahun.

Sebagai anggota dalam sebuah grup komunikasi, kita harus memperhatikan etika apakah kita termasuk orang yang menganggu. Contoh, jika menumpang promosi ke dalalm grup boleh saja kirim 1 atau 3 foto produk selanjutnya bisa japri (jaringan pribadi) jika ada yang berminat, jangna sampai share puluhan foto produk langsung drop semua. 

Ini namanya spam. Kecuali hal ini dilakukakn di grup khusus urusan bisnis.Kita juga harus bisa membedakan circle dari grup yang kita bergabung. 

Grup pertemanan biasa dengan grup teman dekat sudah pasti berbeda. Misalkan, grup alumni. Kita mungkin memang kenal dengan semua member grup tapi jangan berfikir mereka semua setipe. 

Contohnya, berbagi foto atau video porno, lalu marah jika ditegur dengan alasan "kaku banget. Udah pada dewasa ini,". Hey, tidak semua orang nyaman dengan hal itu. Jika ingin membagi hal sensitif lebih baik dalam grup yang membernya satu frekuensi.

Yang membuat orang sebenarnya malas atau enggan dimasukan ke dalam grup salah satunya adalah terlalu banyak notifikasi tak penting. Contoh yang paling menyebalkan adalah saat ada dua orang yang make appointment tapi bahasnya di dalam grup.

3. Gashlight

Gashlight kurang lebih artinya memanipulasi perasaan atau emosi. Misalkan dalam sebuah hubungan pasangan si wanita menemukan kejanggalan si pria sepertinya mempunyai affair dengan wanita lain, saat ditanya si pria malah balik mengatakan si wanita terlalu sensitif, cemburuan, curiga berlebihan, dan selalau membuat bad mood. 

Dan hal ini justru membuat si wanita menjadi down. Hal ini tak hanya ada pada hubungan asmara namun bisa terjadi dalam hubungan pertemanan, lingkungan kerja, dan lainnya. 

Coba pikirkan kira-kira diri sendiri lebih sering berada di posisi mana? Ternyata selama ini kita korban gashlighting atau justru kita lah pelaku gaslighting atau disebut gaslighter. Pelaku atau korban tidak ada gender spesifik. 

Kalau kalian merasa sering berbohong dan meyakinkan kebohongan, memutarbalikan fakta, memelintir cerita dan cenderung meyalahkan korban kemungkinan kalian adalah gashlighter. Selama ini memikirkan siapa toxic people, memikirkan siapa orang yang jadi villain di hidup kita, tapi kita lupa mikir sebenarnya kita yang toxic buat orang lain. Kita yang jahat ke orang lain tanpa kita sadari.

4. Ghosting

Pasti sering dengar kalimat "ditinggal pas lagi sayang-sayangnya". Kalimat itu kedengarannya nyelekit banget ya apalagi buat orang yang sudah pernah merasakan. Tapi tenang kamu ga sendiri kok. 

Setiap orang pasti pernah mengalami. Dalam hal ini seseorang pasti punya alasan tersendiri mengapa harus mengakhiri sebuah hubungan dan merupakan hal yang lumrah. Namun bagaimana cara mengakhiri sebuah hubungan bisa menjadi tolak ukur sikap kedewasaan seseorang. 

Jika datang dengan baik-baik, maka pergi juga harus permisi. Dan pergi begitu saja tanpa alasan yang jelas adalah buruk dari yang terburuk. Hal ini disebut ghosting. 

Ghosting 

20200531-235454-5ed5421cd541df3dc17a2982.jpg
20200531-235454-5ed5421cd541df3dc17a2982.jpg
bisa diartikan pergi menghilang begitu saja tanpa kabar dan alasan yang jelas seperti hantu. Banyak alasan kenapa orang melakukan ghosting, di antaranya tak ingin ambil pusing untuk menghindari dari kemungkinan perdebatan atau pertengkaran, meremehkan keberadaan orang lain, dan yang pasti tak ada etika atau anak jaman sekarang menyebutnya "ga ada akhlak lo !". 

Orang yang ghosting memang pengecut dan kekanakan. Orang memang cenderung menghindar dari masalah, namun jika kita masih berada pada suatu urusan, baiknya diselesaikan sebagaimana mestinya. Kita bukan anak kecil yang sehabis bermain lalu mainan ditinggal berserak nanti tinggal mama yang merapihkan. Karena sebagai orang dewasa kita tahu yang namanya sebuah tanggung jawab.

Jika kita terkena ghosting orang lain, mungkin tanpa disadari malah justru membuat kita intropeksi diri mengapa hal ini mesti terjadi namun jangan menyalahkan diri sendiri. Beri batasan sampai kapan kita perlu menghubungi dan yang pasti tak perlu mengejar. Biarkan dia pergi mungkin dia butuh inang baru. Tapi lain hal jika yang ghosting adalah orang yang punya hutang kejar terus jangan kasih kendor haha.

5. Love Yourself

Pegal jika leher terus menghadap ke atas. Stop membandingkan pencapaian diri sendiri dengan orang lain. Terima dan sayangi diri sendiri.  Setiap orang punya timeline masing-masing. Kalau di sekeliling terasa lebih sukses, yakini saja setiap orang ada masanya. Jangan lepas dari rahmat Tuhan. Kalau saat ini terasa begitu buruk coba ingat kalimat ini "my current situation is not my final destination". Bagu yang sudah merasa mencapai semuanya cukup hargai perjuangan orang. Setiap orang medan tempurnya berbeda. Kalo kamu merasa lebih sukses bukan berarti lebih hebat tapi mungkin saja bisa jadi ombak nya tak seekstrim orang lain. Ada kalimat "nakhoda yang tangguh tak lahir dari ombak yang tenang".

Sampai di sini semoga bisa menjadi habit atau kebiasaan supaya menjalankan new normal bukan hanya protokol dari pemerintah, namun untuk diri sendiri menjaga kewarasan jiwa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun