Mohon tunggu...
Elvi Murdanis
Elvi Murdanis Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Pemerhati Pendidikan, Parenting, Remaja dan Sejarah. Sharing @elvimurdanis

Menulis membuat hidup lebih berkualitas dan bermakna

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lukisan Pertama Andi

22 Juni 2020   20:28 Diperbarui: 22 Juni 2020   20:17 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Bu, kok belum tidur?" tanya Andi yang terbangun karena mendengar suara deru mesin jahit ibunya. Ia mengucek-ngucek matanya sambil menguap lebar. Sudah jam 3 pagi namun ibunya belum juga tidur. Sang ibu hanya tersenyum. Ia beranjak dari mesin, mendekati Andi dan menggiringnya menuju kamar tidur.

"Andi tidur saja duluan, ya". kecupnya penuh kasih di kening Andi. Setelah Andi terlelap ia kembali ke mesin jahit melanjutkan jahitannya yang belum selesai.

Paginya, Andi melihat ibunya tertidur di kursi  mesin jahit. Ia tidak tega membangunkan. Pelan-pelan ia menuju kamar mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Selesai mandi, semua perlengkapan sekolahnya sudah disiapkan. Sarapan juga sudah terhidang. Ibunya bangun dan menyiapkan semuanya untuknya.

"Nanti nilai seratus lagi ya, Nak," ucap ibunya sambil mengambilkan sepiring nasi goreng.

"Pasti, Bu". Andi  mengangguk mantap. Dengan lahap ia menyendok nasi goreng di hadapannya. Nasi goreng pagi itu terasa lebih nikmat dari pagi sebelumnya.

Bagi ibunya, tak ada yang membuatnya lebih bahagia selain mendengar Andi  menyandang juara satu setiap semester. Ia ingin anaknya menjadi orang pintar. Agar tidak bernasib seperti dia yang hanya menjadi seorang tukang penjahit baju. Andi pun selalu belajar dengan sungguh-sungguh. Ia tidak ingin ibunya kecewa. 

Dan sampai sekarang belum ada yang bisa menggesernya dari rangking satu. Impian terbesarnya adalah membahagiakan sang ibu. Semenjak kematian ayah, ibunya selalu bekerja siang malam menjahit untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ia selalu hiba melihat ibunya menjahit sampai tengah malam bahkan terkadang sampai tidak tidur hingga pagi.

"Anak-anak, tugas akhir semester kesenian kalian adalah menggambar. Tugas dikumpul sebelum ujian semester. Kalian boleh menggambar apa saja. Lukisan yang paling indah akan ibu beri hadiah!" ujar bu guru kesenian panjang lebar.

"Iya, Bu!" semua murid serentak menjawab dengan penuh semangat.

Begitu juga Andi. Walau ia tidak punya alat menggambar kecuali sebatang pensil yang sering ia gunakan untuk menulis, ia tidak putus asa. Ia pasti mampu membelinya. Ia yakin itu.

Sebulan kemudian, ia baru dapat membeli peralatan menggambar itu dengan uang tabungannya. Ketika sedang asyik memilih-milih, ia berpapasan dengan teman sekelasnya.

"Yang ini lebih bagus, Ndi. Kalau pakai ini kamu akan serasa pelukis beneran," ujar temannya sambil terseyum. "Aku saja beli yang ini," lanjutnya. Andi mengerutkan kening. Wajahnya menunjukan keraguan.

"Yang ini untukmu, aku yang bayar," ujarnya menyodorkan sepaket alat melukis sama seperti yang ia beli.

 "Tenang, ayahku pelukis. Dia pasti mau mengajarimu untuk menggunakannya," ujarnya meyakinkan. Andi hanya menatap semua barang-barang yang dipilihkan temannya. Belakangan ia tahu bahwa semua peralatan itu adalah alat-alat lukis kualitas nomor satu.

Setelah beberapa kali belajar, Andi mulai mahir menggambar. Tidak hanya menggambar, ternyata ia juga punya bakat melukis. Karena fokus belajar melukis melukis, ia jarang mengulang pelajaran di rumah. 

Perubahan ini diperhatikan oleh ibunya. Hingga suatu malam ibunya berkata, "Andi, menggambar boleh-boleh saja, tapi jangan lupa belajar. Kalau kamu tidak belajar, bagaimana bisa dapat juara satu lagi. Sia-sia ibu banting tulang menjahit siang malam,"

"Gak kok, Bu. Andi tetap belajar tapi tidak di rumah. semua sudah andi selesaikan di sekolah," ujarnya menjelaska agar sang ibu tidak risau.

Malam semakin larut. Ia masih juga mendengar deru mesin jahit ibu. Ia mengintip keluar. Sesekali ia melihat ibunya menggeliat ke kanan dan ke kiri memegang pinggangnya. Hatinya terasa teriris. Ingin sekali rasanya ia melarang ibu tidak menjahit lagi. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya anak kecil yang masih menggantungkan nasib pada orang tuanya.

"Andi janji, Bu. Andi akan giat belajar dan jadi orang yang sukses suatu saat nanti," janjinya dalam hati.

 Tugas kesenian sudah dikumpul Andi tepat waktu. Ibu guru sangat menyukai lukisannya. Bahkan ia hampir tak percaya itu adalah hasil karya Andi. Andi pun kembali giat belajar. Ibunya sangat senang melihat perubahan itu. Waktu bagi raport pun tiba. Pagi itu, betapa besar harapannya, ia akan mendengar lagi Andi menyandang juara satu seperti tahun lalu.

"Juara umum kita adalah Andika Putra, siswa kelas lima. Kepada anak kami dipersilahkan maju ke depan untuk menerima hadiah dan penghargaan," ujar  ibu kepala sekolah penuh semangat diiringi tepuk tangan yang meriah dari seluruh guru dan murid.

Ibu Andi terharu. Piagam yang dikalungkan di leher anaknya, membuat ia tak hentinya bersyukur di dalam hati. Ingin sekali rasanya ia langsung memeluk Andi seketika itu juga.

"Ibu juga ingin mengumumkan bahwa lukisan Andika Putra menjadi juara satu lomba melukis tingkat SD se-kotamadya. Lukisan Andi dilelang dan terjual dengan harga 100 juta. Beri tepuk tangan sekali lagi, " lanjutnya penuh semangat diiringi bertepuk tangan yang sangat meriah.

"Lukisan Andi bisa kalian lihat di depan kantor guru. Pembelinya mengizinkan lukisan Andi di pajang di sekolah selama dua hari," ucap kepala sekolah menutup pengumuman. Semua siswa berhamburan menuju kantor guru. Mereka berebutan untuk melihat lukisan Andi.

Ibu Andi mengintip di sela kerumunan. Ia tertegun. Matanya mendadak berkaca-kaca melihat lukisan itu. Ia kenal betul lukisan itu. Seorang ibu separoh baya yang sedang menjahit tengah malam dengan lampu yang tidak begitu terang sedang diintip oleh seorang anak kecil dari dalam bilik kamarnya.

"Ini untuk Ibu. Sekarang ibu tidak perlu menjahit sampai malam-malam lagi. " Andi menyodorkan cek senilai 100 juta. Air  matanya pun jatuh. Selama ini ia sama sekali tidak pernah sadar kalau Andi selalu mengintipnya setiap kali sedang menjahit tengah malam. Dan semua yang dilihat Andi, ia abadikan dalam lukisannya. Di lukisan itu tampak jelas kecemasan dan kegundahan hati seorang anak terhadap perjuangan ibunya.

"Andi sayang ibu."

Mereka berpelukan. Tenggelam dalam air mata bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun