Mohon tunggu...
Elvi Murdanis
Elvi Murdanis Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Pemerhati Pendidikan, Parenting, Remaja dan Sejarah. Sharing @elvimurdanis

Menulis membuat hidup lebih berkualitas dan bermakna

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan 10 Jari: Idealis atau Realis?

19 Juni 2020   18:13 Diperbarui: 19 Juni 2020   18:06 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siswa tidak lepas dalam mengembangkan kerangka berpikir intelektualnya sebab terbatasi oleh keempat konsep tersebut. Siswa juga tidak diajarkan memandang dari semua sudut. Yang dipandang hanya satu sudut yang paling benar dan menjadi kebenaran umum.

Sebagai contoh; dalam ilmu eksakta, 1 + 1 = 2. Ini adalah konsep yang sudah benar dan memang tidak terbantahkan karena sudah menjadi kebenaran umum. Namun bisa saja konsep ini menjadi salah tergantung dari sudut apa dipandang dan apa pembahasannya, seperti contoh: 1 ayah + 1 ibu= 3 orang (ayah, ibu dan anak).

Sedangkan dari konsep penilaian, siswa selalu diharuskan menjawab dengan benar, sehingga dalam menjawab pun lebih banyak diam tak menjawab akibat takut salah. Ironisnya hal ini terbawa-bawa dalam kehidupan sehari-hari, setiap kali diberi pertanyaan dan diminta pendapat akan suatu hal atau kejadian, maka akan lebih banyak diam tak menjawab sebab sudah terjebak dalam pemikiran harus menjawab benar dan takut salah hingga akhirnya siswa tersebut akan menjadi anak yang pasif dalam berfikir dan akan berdampak buruk terhadap pengambilan sikap baik dalm lingkungan sekolah maupun kehidupan sehari-hari. Jika sudah begini matilah potensi generasi penerus kita kedepan. Padahal seseoarng itu tidak akan bisa benar kalau ia tidak mengetahui yang salah terlebih dahulu. Karena kita tahu yang salah sehingga kita tahu mana yang benar.

Siswa yang sering menjawab salah akan dikategorikan siswayang bodoh dan siswa yang sering menjawab benar akan dikategorikan siswa yang pintar. Bagi siswa yang pintar, salah merupakan suatu aib atau kejelekan yang harus dihindarkan sebegitu mungkin. Siswa yang pintar disekolah, cenderung bodoh dalam melakoni kehidupan sehari-hari.

Segala sesuatu diukur dengan konsep salah benar, rasional dan irrasional (mungkin atau tidak mungkin). Ketika akan melakukan sesuatu dan dinilai sesuatu itu sudah dalam pandangan konsep salah apalagi tidak rasional, ia pasti akan meninggalkannya tanpa mau mencobanya padahal tidak menutup kemungkinan bisa jadi kesalahan yang ia lakukan atau sesuatu yang tidak amungkin tadi merupakan langkah awal dari suatu proses menuju nilai-nilai kreatif.

Jika sudah begini, lama kelamaan potensi yang ada pada dirinya akan mati dan terbenam sia-sia.

Beda lagi dengan siswa atau anak yang cerdas. Anak yang sering menjawab salah pertanyaan guru sekolah bisa saja menjadi anak yang cerdas dalam kehidupan sehari-hari. Ia tidak takut dalam mencoba hal-hal yang baru dan sudah biasa dengan sebuah kesalahan. Sudah terbiasa dengan ejekan kawannya ketika salah dalam menjawab pertanyaan guru. Sehingga lama kelamaan ia pasti berfikir bagaimana caranya agar benar dan dapat melakukannya dengan baik dan benar.

Di sinilah proses kreatif itu akan mulai berkembang. Ia akan mulai memikirkan hal-hal yang baru dalam kehidupannya atau  sesuatu yang baru yang jarang difikirkan oleh orang lain. Ia mulai bermain dengan dunia ekspresinya, menjangkau apa yang selama ini tidak terjangkau olehnya, melakukan berbagai eksperimen-eksperimen kecil atau tingkah yang aneh-aneh menurut pandangan kita. Tapi kalau kita pahami lebih seksama dan mau membuka diri kita terhadap mereka, itulah satu dari proses menuju kreatif anak-anak kita. Jangan kita larang, namun harus selalu kita pantau dan arahkan. Agar dapat memunculkan nilai-nilai positif dan tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu.

Banyak orang tua berpikir, untuk menjadikan anaknya anak yang pintar, anaknya harus sekolah setinggi-tingginya atau sekolah disekolah 'Internasional School'. Berbondong-bondonglah para orang tua menyekolahkan anak-anaknya setinggi-tingginya. Padahal disekolah, pendidikan yang didapatnya juga tidak maksimal seperti apa yang dibayangkan dan diharapkan oleh para orang tua. Kebanyakan hanya sebatas pendidikan 10 jari dan penerimaan materi-materi yang ada di buku tanpa ada 'peleburan konsep' ke dalam diri dan jiwa mereka.

Selebihnya, jika ingin ada peningkatan dalam mengaktuialisasikan ilmu-ilmu yang sudah mereka peroleh di sekolah harus dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan disinilah peranan orang tua sangat dibutuhkan. Karena kalau tidak mereka aktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, jadilah pelajaran di sekolah itu hanya menjadi pelajaran yang abstrak dan 'cerita dongeng' belaka.

Namun ada yang dilupakan para orang tua. Semua itu tidaklah menjamin. Selain pendidkan di sekolah yang merupakan pendidikan pengantar dasar berfikir, pendidikan tertinggi yang sebenarnya adalah pendidikan dari apa yang kita  lihat, dengar,  rasakan, fikirkan dan apa yang ada di alam semesta ini. Pendidikan yang melahirkan pemikiran-pemikiran cerdas, terobosan-terobosan baru yang inovatif dan kreatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun