Mohon tunggu...
Elvi Murdanis
Elvi Murdanis Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Pemerhati Pendidikan, Parenting, Remaja dan Sejarah. Sharing @elvimurdanis

Menulis membuat hidup lebih berkualitas dan bermakna

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan 10 Jari: Idealis atau Realis?

19 Juni 2020   18:13 Diperbarui: 19 Juni 2020   18:06 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk pertama kalinya saya merasakan suasana yang begitu berbeda di  tempat  saya berpijak dengan tempat asal kelahiran saya (Medan), sewaktu saya dan teman-teman berkunjung mengelilingi pulau Jawa awal 2012 lalu. Bukan hanya karena perbedaan dari bentuk-bentuk bangunan dan kehidupan masyarakat saja namun perbedaan itu begitu tampak dalam hal kreatifitas dan mental-mental para mahasiswa maupun para pelajar disana dalam mengekspresikan dan mempublikasikan bakat dan kreatifitas yang mereka miliki..

Mahasiswa dan pelajar-pelajar dipulau Jawa (ksususnya Jogja dan Surabaya) memiliki nilai kreatifitas yang tinggi dan mental anti gengsi untuk menunjukan kreatifitas yang mereka miliki. Mereka tidak malu-malu untuk menjajakan langsung barang-barang buatan tangan mereka yang unik-unik, kreatif dan inovatif  walaupun hanya bertempat di emperan-emperan taman atau diatas 'lapak' selebar 2 x 2 m, meski mereka telah menyandang status S-1 atau bahkan masih sedang menyandang satus mahasiswa.

Pemerintah daerah setempat juga memberikan dukungan positif  terhadap mereka dengan menyediakan tempat-tempat khusus seperti taman atau pasar kreatifitas bagi mereka untuk menampung ekspresi dan kreatifitas mereka agar tersalurkan dengan baik dan positif.

Di Jogja contohnya, ada  Taman Pintar  yang bersebelahan dengan Pasar Sentir, Bringharjo, yang isinya adalah produk-produk hasil kreativitas para mahasiswa dan pelajar mulai dari style dan  fashion seperti gelang-gelang rajut, baju sablon unik, mangkuk-mangkuk cantik sampai pada benda-benda aneh hasil inovasi teknologi mesin tepat guna.

Juga ada  Taman Kreatif (Surabaya) pada malam hari yang isinya tidak jauh beda dengan di Taman Pintar dan Pasar Sentir. Namun disana selain barang-barang buatan tangan juga ada pertunjukan kreatif pemuda-pemudi setempat mulai dari usia anak-anak hingga dewasa seperti pertunjukan mini band-band musik lokal, orang-orang bergitar diiringi vokalis bersuara merdu, melukis, skearboard, menulis nama di atas kaca dan banyak lagi kreativitas-kreatifitas mereka yang jarang kita temui di tempat lain. Nampaknya memang tak salah jika Jogja dijuluki kota 'pelajar' dan Surabaya dijuluki kota 'santri'.

Yang unik dari kedua tempat diatas adalah mayoritas penjualnya dan pelakon pertunjukan kreatif-kreatif tersebut merupakan kelompok-kelompok mahasiswa dari berbagai jurusan baik yang sudah tamat maupun yang masih berstatus mahasiswa aktif dan para pelajar anak sekolahan. Kalau pagi sampai siang mereka aktif  kuliah dan sekolah, maka sore ke malam mereka sibuk dengan membuat, menjajakan produk-produk hasil kreatifitas dan mempertunjukan kreatifitas yang mereka miliki.

Semua itu mereka lakukan bukan karena kesulitan ekonomi tapi juga sebagai bukti ingin menunjukan tingginya nilai kreatifitas yang mereka miliki. bahkan banyak juga mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Kalau  ditanya, dari mana ide-ide brilliant itu mereka dapat?

Pastinya  ide-ide brilliant itu mereka dapat dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan mereka fikirkan lalu mereka olah dan tuangkan dalam bentuk produk-produk dan karya-karya seni yang memiliki nilai kreatifitas  tinggi dan dapat dinikmati oleh semua orang. Bahkan dari segi mental mereka tidak gengsi untuk melakukan hal-hal positif yang 'berbau' kreatifitas.

Semua itu bisa mereka lakukan tentunya karena pendidikan yang mereka terima bukan hanya sebatas  pendidikan 10 jari. Pendidikan yang diberikan oleh guru dengan cara menyuruh siswa  meringkas materi pelajaran sebanyak-banyaknya namun sedikit sekali menjelaskan materi itu kepada siswa lalu ditampung oleh siswa dengan 10 jarinya dan cepat-cepat dituliskan oleh tangan kanannnya atau tangan kirinya  di buku catatan agar tidak lupa kemudian diulang-ulang dirumah dan disimpan rapi-rapi di dalam otak, atau bahkan hanya di buka ketika ujian semester telah tiba.

Pendidikan 10 jari cenderung mengandalkan catatan yang rapi dan berwarna-warni untuk menarik minat baca empunya buku, sedangkan empunya buku sendiri lebih banyak tidak mengerti apa yang dicatatnya dari pada yang dimengertinya. Alhasil, yang pintar adalah bukunya, bukan orangnya.

Pendidikan 10 jari tersebar di seluruh Indonesia denga tipe guru yang menerapkan model pembelajaran CBSA (Catat Buku Sampai Abis). Guru hanya mengajarkan materi yang ada di buku tanpa memperluas kajian pembahasan materi. Bahkan cenderung malas menjelaskan karena siswa sudah disuruh meringkas materi sampai tuntas. siswa memang dianjurkan untuk berfikir seluas-luasnya dan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya, tapi tidak dituntun dan tetap saja terkunci dalam konsep rasional dan irrasional juga pada konsep benar salah.

Siswa tidak lepas dalam mengembangkan kerangka berpikir intelektualnya sebab terbatasi oleh keempat konsep tersebut. Siswa juga tidak diajarkan memandang dari semua sudut. Yang dipandang hanya satu sudut yang paling benar dan menjadi kebenaran umum.

Sebagai contoh; dalam ilmu eksakta, 1 + 1 = 2. Ini adalah konsep yang sudah benar dan memang tidak terbantahkan karena sudah menjadi kebenaran umum. Namun bisa saja konsep ini menjadi salah tergantung dari sudut apa dipandang dan apa pembahasannya, seperti contoh: 1 ayah + 1 ibu= 3 orang (ayah, ibu dan anak).

Sedangkan dari konsep penilaian, siswa selalu diharuskan menjawab dengan benar, sehingga dalam menjawab pun lebih banyak diam tak menjawab akibat takut salah. Ironisnya hal ini terbawa-bawa dalam kehidupan sehari-hari, setiap kali diberi pertanyaan dan diminta pendapat akan suatu hal atau kejadian, maka akan lebih banyak diam tak menjawab sebab sudah terjebak dalam pemikiran harus menjawab benar dan takut salah hingga akhirnya siswa tersebut akan menjadi anak yang pasif dalam berfikir dan akan berdampak buruk terhadap pengambilan sikap baik dalm lingkungan sekolah maupun kehidupan sehari-hari. Jika sudah begini matilah potensi generasi penerus kita kedepan. Padahal seseoarng itu tidak akan bisa benar kalau ia tidak mengetahui yang salah terlebih dahulu. Karena kita tahu yang salah sehingga kita tahu mana yang benar.

Siswa yang sering menjawab salah akan dikategorikan siswayang bodoh dan siswa yang sering menjawab benar akan dikategorikan siswa yang pintar. Bagi siswa yang pintar, salah merupakan suatu aib atau kejelekan yang harus dihindarkan sebegitu mungkin. Siswa yang pintar disekolah, cenderung bodoh dalam melakoni kehidupan sehari-hari.

Segala sesuatu diukur dengan konsep salah benar, rasional dan irrasional (mungkin atau tidak mungkin). Ketika akan melakukan sesuatu dan dinilai sesuatu itu sudah dalam pandangan konsep salah apalagi tidak rasional, ia pasti akan meninggalkannya tanpa mau mencobanya padahal tidak menutup kemungkinan bisa jadi kesalahan yang ia lakukan atau sesuatu yang tidak amungkin tadi merupakan langkah awal dari suatu proses menuju nilai-nilai kreatif.

Jika sudah begini, lama kelamaan potensi yang ada pada dirinya akan mati dan terbenam sia-sia.

Beda lagi dengan siswa atau anak yang cerdas. Anak yang sering menjawab salah pertanyaan guru sekolah bisa saja menjadi anak yang cerdas dalam kehidupan sehari-hari. Ia tidak takut dalam mencoba hal-hal yang baru dan sudah biasa dengan sebuah kesalahan. Sudah terbiasa dengan ejekan kawannya ketika salah dalam menjawab pertanyaan guru. Sehingga lama kelamaan ia pasti berfikir bagaimana caranya agar benar dan dapat melakukannya dengan baik dan benar.

Di sinilah proses kreatif itu akan mulai berkembang. Ia akan mulai memikirkan hal-hal yang baru dalam kehidupannya atau  sesuatu yang baru yang jarang difikirkan oleh orang lain. Ia mulai bermain dengan dunia ekspresinya, menjangkau apa yang selama ini tidak terjangkau olehnya, melakukan berbagai eksperimen-eksperimen kecil atau tingkah yang aneh-aneh menurut pandangan kita. Tapi kalau kita pahami lebih seksama dan mau membuka diri kita terhadap mereka, itulah satu dari proses menuju kreatif anak-anak kita. Jangan kita larang, namun harus selalu kita pantau dan arahkan. Agar dapat memunculkan nilai-nilai positif dan tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu.

Banyak orang tua berpikir, untuk menjadikan anaknya anak yang pintar, anaknya harus sekolah setinggi-tingginya atau sekolah disekolah 'Internasional School'. Berbondong-bondonglah para orang tua menyekolahkan anak-anaknya setinggi-tingginya. Padahal disekolah, pendidikan yang didapatnya juga tidak maksimal seperti apa yang dibayangkan dan diharapkan oleh para orang tua. Kebanyakan hanya sebatas pendidikan 10 jari dan penerimaan materi-materi yang ada di buku tanpa ada 'peleburan konsep' ke dalam diri dan jiwa mereka.

Selebihnya, jika ingin ada peningkatan dalam mengaktuialisasikan ilmu-ilmu yang sudah mereka peroleh di sekolah harus dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan disinilah peranan orang tua sangat dibutuhkan. Karena kalau tidak mereka aktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, jadilah pelajaran di sekolah itu hanya menjadi pelajaran yang abstrak dan 'cerita dongeng' belaka.

Namun ada yang dilupakan para orang tua. Semua itu tidaklah menjamin. Selain pendidkan di sekolah yang merupakan pendidikan pengantar dasar berfikir, pendidikan tertinggi yang sebenarnya adalah pendidikan dari apa yang kita  lihat, dengar,  rasakan, fikirkan dan apa yang ada di alam semesta ini. Pendidikan yang melahirkan pemikiran-pemikiran cerdas, terobosan-terobosan baru yang inovatif dan kreatif.

Pendidikan yang melebihi pendidikan yang kita dapatkan di sekolah. Pendidikan yang mengajarkan kita agar lebih bijak dalam menghadapi hidup, berfikir dan memandang dari segala sudut pandang, berfikir maju dengan menjangkau apa yang tak terjangkau oleh kita untuk menciptakan nilai-nilai kreatifitas yang tinggi.

Oleh karena itu, mari kita mulai membuka mata fikiran kita selebar-lebarnya untuk melihat seluruh hal-hal dan potensi-potensi yang ada di sekeliling kita dan mengajarkannya kepada generasi penerus kita untuk berfikir cerdas dan kreatif. Agar kita tak terlalu sempit dalam memandang hidup ini. Supaya kita  tidak hanya memandang dengan kaca mata kita sendiri. Dan jangan pernah takut untuk memikirkan hal-hal yang tidak terjangkau oleh kita atau hal-hal yang seolah-olah tidak mungkin tergapai oleh kita. Karena semuanya akan mungkin, jika kita ingin dan berusaha meraihnya.

Mau dan berusaha itu kuncinya. Jangan pakai mengeluh, jangan pernah putus asa. Jangan takut di bilang 'gila'. Karena  para ilmuan sukses terdahulu seperti Alkhawarijmi, Ibnu Sina, Markoni, Albert Einstein, Alexander Graham Bell juga  adalah orang-orang yang di cap gila oleh orang-orang di zamannya. Namun mereka tidak pernah putus asa. Mereka terus mencoba dan melakukan eksperimen-eksperimen mereka. Hingga akhirnya hasil karya-karya mereka dapat kita nikmati seperti sekarang ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun