Mohon tunggu...
Rilin M
Rilin M Mohon Tunggu... Freelancer -

Hanya seorang gadis yang menyukai seni dalam bentuk apapun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aku Benar dan Kau Benar, lalu Siapa yang Paling Benar?

8 Februari 2019   13:29 Diperbarui: 8 Februari 2019   13:55 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasti kita sangat sering beradu argumen dengan orang-orang mengenai siapa yang paling benar. Dan pasti sering tidak ingin ada yang mau mengalah. Banyak bukti-bukti kebenaran yang ditunjukkan dari masing-masing pihak untuk mendukung teori kebenaran yang diyakininya. 

Lalu apa sebenarnya yang dimaksud benar? Jika sudah memberikan bukti-bukti kebenaran, mengapa manusia seringkali bersikukuh menolak kebenaran yang disampaikan oleh lawan bicaranya. 

Berbicara mengenai kebanaran, ada berbagai macam tipe kebenaran. Kebenaran itu yang mutlak berasal dari Tuhan, ada juga yang berasal dari buah pikiran manusia sendiri. 

Tuhan menciptakan manusia dengan miliyaran bahkan triliyunan otak yang berbeda-beda. Pada dasarnya, semua otak manusia diciptakan sama, yang membedakan adalah lingkungan sekitar manusia yang membentuk pola pikirnya, dan juga sejauh mana manusia memperluas dunianya sehingga banyak mendapatkan ilmu-ilmu baru. 

Banyak orang yang sama-sama pintar, berilmu, sering mendebat mengenai pengetahuan-pengetahuan yang mereka pelajari. Dan seringkali perdebatan itu ditumbuhi rasa ego masing-masing manusia secara tidak sadar. 

Yang pada akhirnya manusia tidak fokus pada topik bahasan yang didebatkan, melainkan fokus pada masing-masing ego untuk membuat lawan biacaranya tertunduk pada kebenaran yang diyakini olehnya. 

Sebenarnya, perdebatan diperlukan hanya sebatas sebagai diskusi mengenai permasalahan yang terjadi, lalu diambil kesimpulan atau jalan tengah sebagai hasil dari menentukan solusi dari permasalahan tersebut. Namun terkadang, manusia banyak memperdebatkan hal-hal yang tidak penting, yang sebenarnya semua itu hanya tergantung pada persepsi dan cara pandang hidup sendiri.

Contoh, ketika mendiskusikan permasalahan mengenai tata bahasa penulisan EYD sesuai standar Bahasa Indonesia, para ahli sastra Indonesia akan berkumpul mendiskusikan mengenai tata cara baku standar penulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar. 

Masing-masing ahli sastra memiliki pendapat yang berbeda-beda, semua pendapat itu berdasarkan ilmu yang dipelajari. Perdebatan pun juga terjadi dalam diskusi ketika berusaha mempertahankan pendapat masing-masing. 

Tidak ada yang salah dalam memberikan pendapat meskipun berbeda-beda. Berbeda bukan berarti salah, apabila pendapat tersebut berdasarkan temuan data-data yang ditemukan oleh masing-masing ahli berdasarkan hasil riset. 

Yang salah adalah ketika memaksa semua orang harus mengacu pada pendapat pribadi dan menolak pendapat yang disampaikan oleh orang lain. Setelah semuanya berdiskusi saling menyampaikan pendapat, barulah para ahli sastra membuat kesepakatan mengenai aturan baku standar penulisan sesuai EYD yang benar, yang dapat diterapkan oleh semua orang ketika membuat suatu karya tulis. 

Siapakah yang memutuskan? Kesepakatan terjadi apabila semua ahli sudah setuju mengenai aturan-aturan yang akan ditetapkan. Kebenaran inilah yang dapat diterima semua orang. Sehingga ketika aturan penulisan EYD disebarluaskan, orang-orang yang ingin membuat sebuah karya tulis tidak perlu lagi mencari-cari tahu atau berpikir mengenai tata cara penulisan yang baik, hanya tinggal mengikuti standar penulisan yang sudah ditentukan saja.

Begitu juga dengan cabang ilmu lainnya. Banyak para ahli yang berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan agar bisa dicari jalan keluarnya yang bisa diterima oleh masyarakat luas yang mempelajari cabang ilmu tersebut. Lalu, apabila seseorang juga memiliki pendapat pribadi yang juga masih berdasarkan pada sumber ilmu yang dipercaya tidak ada salahnya. Yang salah adalah memaksakan kehendak.

Contoh lain dalam melakukan perdebatan yang tidak penting, masalah keyakinan, kenyamanan, dan cara pandang hidup masing-masing orang. Ada orang yang menyukai kopi, ada orang yang menyukai minum teh. 

Orang yang menyukai kopi meyakini bahwa kopi memiliki banyak manfaat, berdasarkan data-data pendukung dan juga pemikiran yang ia peroleh. Orang yang menyukai kopi ini tidak terlalu menyukai minuman lain seperti teh. 

Sedangkan orang penyuka teh meyakini dan percaya bahwa teh mengandung banyak manfaat dibandingkan minuman lain sehingga orang penyuka teh ini tidak terlalu menyukai minuman-minuman lain yang dianggap tidak memiliki banyak manfaat untuk tubuhnya. 

Ketika orang penyuka kopi dan orang penyuka teh ini dipertemukan, mereka saling berdiskusi dan berdebat mengenai minuman siapa yang memiliki banyak manfaat, dan minuman mana yang banyak memiliki keburukan untuk tubuh. 

Keduanya saling menyajikan data-data dan fakta dari masing-masing minuman. Sebenarnya, tidak ada yang salah dari pendapat mereka. Karena masing-masing minuman baik kopi dan teh memiliki manfaat dan juga keburukan untuk tubuh apabila dikonsumsi dengan cara yang tidak benar. 

Dan masalah selera, orang penyuka kopi lebih nyaman dan merasa nikmat ketika meminum kopi dibanding teh, sebaliknya juga pada orang penyuka teh. Yang salah adalah ketika saling memaksakan kehendak, orang penyuka kopi memaksa orang penyuka teh untuk meminum kopi setiap hari, sedangkan orang penyuka teh memaksa orang penyuka kopi untuk meminum teh setiap hari. 

Karena masing-masing merasa benar, jadi manusia seringkali menginginkan manusia yang lain untuk menerima kebiasaan yang menurut manusia tersebut baik dilakukan. 

Jadi dalam kasus ini, agar memperoleh kebenaran yang dapat diterima kedua belah pihak, baik penyuka kopi maupun penyuka teh harus mengakui dan menerima bahwa berdasarkan fakta yang ada, masing-masing minuman favorit mereka memiliki kandungan yang kurang baik, disamping ada juga banyak manfaat yang terkandung. 

Semua itu tergantung dengan cara konsumsinya. Hal seperti ini sebenarnya tidak penting untuk diperdebatkan. Karena semuanya tergantung pada selera masing-masing. Begitu juga dengan selera makanan, pakaian, tempat, dan lain-lain. 

Semua memiliki selera masing-masing. Tidak ada yang salah, karena cara pandang tiap orang berbeda-beda. Kebenaran yang dapat diterima oleh semua orang adalah yang dimana ketika berdiskusi, semuanya menyepakati sebuah kesepakatan tanpa merugikan kedua belah pihak atau lebih.

Lalu bagaimana dengan cara pandang hidup mengenai politik, masyarakat, hukum, aturan, pemerintah, dan lain-lain yang sekarang ini banyak sekali diperdebatkan? Masing-masing memiliki cara pandang dan pemikiran tersendiri yang berbeda-beda tentunya. 

Benar atau tidaknya semuanya tergantung pada perspektif masing-masing. Asalkan semuanya dapat disesuaikan dengan fakta yang ada. Tidak ada salahnya berpendapat dan bertukar pikiran. Namun semuanya tidak dapat dipandang dari satu sisi saja, harus dilihat dari sisi lainnya. 

Apabila mendengar pendapat orang lain, lihatlah dari sisi mana ia berpendapat, jangan terlalu ego dengan mempertahankan pendapat sendiri. Pendapat pribadi yang kita keluarkan bisa jadi memang benar, namun belum tentu pendapat orang lain adalah salah. Seperti contoh kopi dan teh tadi. 

Dalam forum diskusi yang menimbulkan perdebatan, banyak orang pintar yang ahli berkumpul saling mengutarakan pendapat masing-masing. Namun kadang yang terjadi dalam perdebatan, orang yang pintar tidak harus mendiskusikan banyak pendapat untuk mengambil keputusan dari permasalahan yang didiskusikan, melainkan ia hanya bertugas membuat lawan bicaranya tidak berkutik di depannya dengan mematahkan statement-statement yang disampaikan oleh lawan bicara. 

Orang pintar tak harus menggunakan kepintarannya untuk berdiskusi menyelesaikan masalah, melainkan menggunakan kepintarannya untuk membuat semua lawan bicaranya bisa tertunduk setuju atas pendapatnya. 

Otak manusia di bumi ini ada miliaran, dan juga miliaran pemikiran yang berbeda-beda. Apabila manusia sudah merasa yakin dengan jalan pikiran yang dianggapnya benar, maka ia merasa tak perlu bertukar pikiran atau mendebati orang yang jalan pikirannya berbeda dengannya. Sekalipun jalan pikirannya juga tidak salah. 

Benar atau tidaknya, semua harus disesuaikan dengan diri masing-masing. Selama manusia tetap bisa berjalan pada koridor kebaikan dan tidak merugikan dirinya, itulah kebenaran. Tidak boleh memaksakan atau berharap orang lain akan memiliki atau menjalani hidup sesuai dengan pikiran yang sama dengan kita, ini adalah salah.

Kadang, sering juga kita melihat forum diskusi perdebatan agama, mengenai agama siapa yang paling benar. Jika mengacu pada pancasila sila satu Ketuhanan Yang Maha Esa, ada banyak penafsiran dari berbagai pandangan, dan dapat diperdebatkan mengenai agama siapa yang paling benar. 

Berbicara soal kebenaran, kebenaran yang paling mutlak berasal dai Tuhan. Tuhan yang mana? Karena masing-masing agama memiliki kepercayaan  Tuhan yang berbeda-beda. Dalam hal ini, kebenaran berpengaruh pada keyakinan diri masing-masing. 

Jika kita lihat contoh perdebatan Islam vs Kristen, masing-masing memiliki pendapat yang dirasakan benar. Semua ayat-ayat dalam kitab dibahas satu persatu dan dipikirkan menggunakan akal, untuk membuktikan mana yang benar dan mana yang salah. 

Namun kebenaran tidak akan ada artinya jika tidak dibarengi dengan keyakinan. Jika kebenaran agama sudah dibuktikan, tinggal keyakinan saja, apakah mau meyakini kebenaran agama tersebut atau tidak. Jika tidak mau meyakini, maka seseorang akan tetap menganggap agama yang tidak diyakininya itu salah. Kebenaran agama bisa dibuktikan dengan akal.

Namun seberapa pintar pun akal berpikir, apabila tidak dibarengi dengan keyakinan, maka tidak ada kebenaran yang tercipta dalam diri manusia. Dalam hal keyakinan agama, kebenaran yang bisa diterima oleh semua orang adalah dengan tidak mengganggu keyakinan masing-masing. 

Orang yang memutuskan berpindah agama pasti sudah memiliki keyakinan berdasarkan apa yang ia cari selama ini setelah ia mencari tahu tentang kebenaran agama tersebut. 

Apabila ingin berdiskusi untuk mencari jalan tengah dari sebuah masalah, hindarilah perdebatan yang menggunakan emosi maupun ego untuk saling diterima. 

Akan lebih baik jika diskusi dilakukan oleh beberapa orang agar ada yang menengahi sehingga tidak terjadi perdebatan menggunakan emosi maupun mempertahankan ego. Karena saling mempertahankan kebenaran yang dirasakan masing-masing tidak akan menemui jalan keluar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun