Mohon tunggu...
Muqsid Mahfudz
Muqsid Mahfudz Mohon Tunggu... Lainnya - MAN OF MADURESE

Laki-laki baik, ngeselinya cuma sedikit.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Min-Amin Panda': Madura dan Perlawanan Hedonisme

9 September 2023   05:57 Diperbarui: 10 September 2023   12:18 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari sekian citra yang melekat pada orang Madura, mulai dari religius, premanisme, sate, rongsokan dan lain-lain. Karakter revolusioner jarang dikenal masyarakat umum, dan saya tulis ini untuk bilang "bahwa madura tak seperti yang kalian lihat di Media!"

Kenapa begitu? Risih saya mendengar respon teman-teman saat melihat postingan tiktok yang menampilkan beberapa kebiasan orang Madura yang menghambur-hamburkan uang (nyawer) pada pengantin dalam acara pernikahan. Mereka pasti bertanya, Apa semua pernikahan di Madura harus begitu? Kalau dihamburkan begitu, bubuh / buwuh-nya bagaimana mau dikembalikan? Kan jumlahnya tidak diketahui?

Sebagai orang Madura yang tidak turut melakukan hal demikian, jelas saya kebingungan menjawabnya. Pasalnya jika itu buwuh, tentu telah terjadi koneksi yang tidak saya mengerti antara penyumbang dan yang disumbangi. Dan terkait pertanyaan pertama, itu bukan lah hal baru di dunia netizen yang nyinyir ini. Streotiping pasti terjadi di mana-mana, apalagi untuk Madura?

Begitu juga dengan hedonisme dalam ritual Agama. Totok Agus Suryanto dalam tulisan berjudul "Membongkar Hedonisme dalam Ritual Agama" juga telah mengulas bagaimana hedonisme itu menjamur dalam sekian ritual dan simbol Agama Islam di Indonesia. Termasuk fenomena pembangunan masjid yang dibangun megah tapi ritual masyarakat sekitar malah semakin lemah.

 Sebagai etnis yang katanya religius tapi premanis, pertanyaan pertama itu harus saya anggap logis, meski aslinya miris. Sebab sebenarnya baik religiusitas dan premanisme, harusnya dicerna ulang sebelum meng-klaim itu benar. Apa lagi hedonisme dalam perkawinan ini. Makanya, izinkan saya perkenalkan satu adagium atau pepatah di Madura yang akan menjawab pertanyaan stereotyping itu.

Adagium  di Madura Min-Amin Panda'

Min-Amin Panda' merupakan gabungan dari reduplikasi kata 'Amin' dan 'Panda''. Kata 'Amin' berasosiasi pada doa-doa, sedang kata 'Panda'' memiliki arti pendek atau ringkas kata Muhri Mohtar dalam Kamus Madura Indonesia Kontemporer.

Dapat disimpulkan, makna reduplikasi itu merupakan prefiks akhir kata yang dapat memberi makna keadaan, bahan, atau media sebagaimana terjadi pada kata yang berarti pengharum,om-ro'om, nas-panas, dan kor-okor yang bermakna pengharum, suasana panas, dan alat ukur. Maksudnya, terminologi Min-Amin Panda' adalah media berdoa yang ringkas atau cepat dan sederhana.

Di Madura, Min-Amin Panda' adalah nama yang di sematkan pada kegiatan sederhana dan biasa diadakan guna mensyukuri nikmat yang baru didapat, termasuk perkawinan. Dalam tradisi jawa, padanannya adalah syukuran atau selamatan yang dilakukan dengan mengundang beberapa kerabat atau tetangga serta dipimpin pemuka Agama.

Perbedaan dengan ritual insidental lain di Madura. terletak pada elastisitasnya. Yakni bisa dilaksanakan dengan hanya 4 sampai 5 orang saja bersama suguhan yang sangat sederhana. Dalam Min-Amin Panda', pemimpinya juga tidak harus pemuka agama, melainkan bisa santri atau ustaz yang secara hirarkis masih di berada dibawah kiai atau bindhara dalam kultur Madura.

Secara pragmatis, adagium yang telah ada sejak lama ini lebih terlihat sebagai bentuk inisiasi masyarakat Madura dalam mencari alternatif melakukan upacara keagamaan di tengah hedonisme. Sebab syukuran atau selamatan sejatinya merupakan hal yang tidak wajib dalam syariat, atau hukumnya boleh-boleh saja.

Heran saja, kenapa mereka gak kepikiran ke situ? Sudah tahu tidak wajib, dan sebagai etnis yang dianggap religius mestinya harus glamor dan tidaknya gak perlu ditanyakan lagi. Sebab tentu itu pasti dipahami oleh orang yang benar-benar religius.

Bahkan saya merasa, adanya adagium ini merupakan manifestasi dari wawasan keagamaan mereka. Atau boleh dikata sebagai perlawanan dari kesepakatan tidak langsung (tradisi) yang ada, serta mengkultuskan model pendek dan panjang. Sebab ritual yang panjang bukan hanya dari panjangnya jampi-jampi, melainkan tamu undangan, rentetan acara dan jajanannya juga yang panjang.

Sebagai Perlawanan terhadap Hedonisme

Bukan tidak mungkin sebuah ritual akan memberi jarak antara agama dan pemeluknya jika ritual di dalamnya dirasa terlalu dogmatis, konservatif, statis, atau bahkan hedonis. Dimana itu tidak relevan dengan kehidupan dinamis sekarang, yang serba kekinian, kontekstual, rasional, bahkan kadang liberal atau radikal.

Begitu juga arus serba glamor ini, yang disambut baik oleh segenap lapisan masyarakat dan menjadi rasionalitas berpikir serta merekonstruksi konsep norma dan harga diri . Apalagi kebanyakan orang Madura adalah perantau dan pekerja keras di tanah yang jauh dari kampung halaman, maka tidak heran jika hedonisme bisa dengan mudah menjamur dalam berbagai ritual agamisnya, demi kepuasan individu tentunya.

Tentu sebuah kebiasan, lama kelamaan bisa menjadi benar dan absolute atau seakan-akan wajib. Dan tentu, tidak semua individu akan mampu mengimbangi. Makanya dalam buku Jangan Tangisi Tradisi, Mardimin Johanes memandang tradisi sebagai penghambat perkembangan masyarakat, jika sudah absolut. Posisi tersebut secara tidak langsung juga akan menyalahi fitrah hidup yang dinamis. Jelas, adanya adagium Min-Amin Panda' dalam ritual Madura adalah kultus bahwa selamatan sebagai kebutuhan yang self harus variatif.

Demikian ini sebab perubahan dalam tradisi juga niscaya terjadi ilmu sosiologi dan budaya, namun memang perlu jenjang yang cukup lama serta bertahap sebagaimana dijelaskan Silvia Tabah Hati dalam Perubahan Sosial Budaya. Dalam hal ini ketidakmampuan kalangan non-perantau atau kaum sederhana yang tidak mampu mengimbangi gaya ritual yang ada menjadi faktor dan agen perubahan sosial ini.

Kemudian didukung dengan argumentasi fundamental Agama, bahwa setiap hal yang berlebihan itu dilarang dalam Agama berdasar kadar kemampuan individu. Sehingga ada kultus variasi ritual kecil dan besar, panjang dan pendek sebagai bentuk dinamisasi. Dan Min-Amin Panda' di Madura adalah adagium bagi variasi itu.

Secara teoritis rasanya perubahan ini termasuk Cyclical theory, sebab pada akhirnya masyarakat Madura menemukan kembali sebuah track dimana Islam tidak mengekang dan tidak juga memberatkan dalam hal selamatan. Dan hedonisme sendiri merupakan hal yang sirkular dan niscaya dalam hidup, terlebih bagi kalangan perantau seperti Madura. Artinya hedonisme dapat muncul dimana-mana, dan di Madura itu juga dilawan dengan menciptakan adagium pendek dalam melaksanakan perayaan atau selamatan. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun