Mohon tunggu...
Muqaddim Karim
Muqaddim Karim Mohon Tunggu... Freelancer - Direktur Kaukus Politik dan Demokrasi

Menuju manusia yang manusia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Membangun Desa dengan Pancasila

11 Mei 2020   14:02 Diperbarui: 11 Mei 2020   14:21 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Muqaddim Karim -Direktur Kaukus Politik dan Demokrasi

JAKARTA -Pembangunan adalah hal yang sangat prinsip dalam urusan kenegaraan. Dasar negara disusun untuk pembangunan manusia, ekonomi, politik, sosial budaya serta agama yang ada di dalamnya. 

Dasar negara juga menjadi pondasi dengan ideologi dan nilai-nilai yang dikandungnya untuk menyokong bangunan yang berdiri di atasnya. Program-program kerja yang disusun oleh para pembuat kebijakan juga tidak lain untuk pembangunan. Hal ini menyiratkan bahwa pembangunan merupakan tujuan sentral bekerjanya sebuah negara.

Capaian kemajuan tertinggi suatu negara terjadi apabila stabilitas ekonomi, politik, sosial budaya dan agama mengalami kemajuan pesat dengan terlihatnya gambaran masyarakat yang sejahtera, makmur, berpendidikan dan lain sebagainya. Inilah gambaran teori negara kesejahteraan (welfare state) yang telah digagas oleh Prof. Mr. R. Kranenburg. 

Sebagaimana teori pada umumnya, welfare state juga memberikan petunjuk terhadap kondisi ideal masyarakat yang harus diupayakan untuk dicapai. Impian ini sering kali dijumpai di banyak buku-buku sosial, bahkan di baliho-baliho para calon kepala daerah dan bahkan calon presiden. 

Tetapi begitulah adanya sebuah teori, berperan sebagai desain yang lengkap dengan skema dan hitung-hitungannya yang kemudian menjadi acuan para pemangku kepentingan bersama rakyatnya dalam upaya mencapai tujuan bersama. 

Ngomong-ngomong masalah pembangunan, kali ini saya akan mencoba me-review konsep pembangunan oleh pemerintah yang pernah dikampanyekan dengan slogan "membangun Indonesia dari pinggiran".

Pembahasan maupun diskusi mengenai pembangunan pedesaan akhir-akhir ini memang jarang terdengar lagi. Berbagai peristiwa sosial-politik lainnya menggeser topik ini dari permukaan. Padahal pembangunan pedesaan merupakan satu dari sembilan nawacita presiden Jokowi di periode pertamanya. Dalam nawacitanya pada poin ke tiga, tertulis "Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan."

Selain itu, pembangunan pedesaan juga sesuai dengan amanat UU No.6 Tahun 2014 yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa. Pemerintah kemudian mengambil cara "mendorong pembangunan desa-desa mandiri dan berkelanjutan yang memiliki ketahanan sosial, ekonomi, dan lingkungan. 

Upaya mengurangi kesenjangan antara desa dan kota dilakukan dengan mempercepat pembangunan desa-desa mandiri serta membangun ekonomi lokal antara desa dan kota melalui pembangunan kawasan pedesaan."

Langkah yang ditentukan oleh pemerintah di atas sebetulnya sangat sejalan dengan Pancasila. Ini dapat kita temukan dalam sila ke-5 "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" serta pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia yang sesuai dengan prinsip NKRI dan termaktub dalan sila ke-3 "Persatuan Indonesia". 

Di sinilah noktah terpenting untuk menjaga dan membela Pancasila dalan konteks pembangunan desa. Afirmasi terhadap pembangunan mesti diletakkan sebagai usaha menegakkan Pancasila sampai ke akarnya, yang kemudian tumbuh menjadi batang dan ranting kokoh pada setiap lini pembangunan nasional.

Berbicara desa berbicara adat, berbicara spritualitas, berbicara gotong royong bahkan berbicara desa berbicara mistik. Noktah-noktah ini menjadi pangkal tolak dari pembahasaan mengenai pembangunan pedesaan.

Dalam banyak segi, desa dihidupi oleh kekuatan spiritualitas. Ritual keagamaan menjadi tradisi bahkan kemudian menjadi budaya dan menghidupi gerak masyarakat. Jika harus disandingkan dengan Pancasila maka kita akan menemuinya pada sila pertama Pancasila "Ketuhanan yang Maha Esa", dimana kehidupan sosial berjalan dalam prinsip ketuhanan yang kuat. 

Secara psikologi, modal itulah yang membuat desa tidak mudah tercerabut dalam kemalangan penyakit materialitas karena dijaga oleh moralitas agama. Walaupun pada kenyataannya, semakin ke sini, budaya tersebut mulai diotak atik secara perlahan.

Kaitannya dengan pembangunan, bahwa "Ketuhanan yang Maha Esa" adalah akar tunjang pembangunan yang tak meletakkan materialitas sebagai usaha pencapaian puncak tujuan. Prinsip ini meyakini sumber pembangunan adalah spiritualitas. Agama sebagai sumber spiritualitas dan moralitas menjadi daya dorong manusia berpikir, berucap dan bertindak. 

Tuhan bersemayam dalam kalbu dan menjadi pandu atas setiap niat dan perbuatan yang akan dikerjakan. Dengan begitu negara tidak perlu menjadikan agama sebagai asas kenegaraan formal karena selain kondisi sosial-politik nasional yang beragam, juga spiritualitas sudah menjadi bintik permanen yang mendorong gerak masyarakat sejak zaman dahulu.

Ciri kehidupan pedesaan lainnya adalah gotong royong. Eratnya ikatan persaudaraan yang hidup dalam masyarakat desa yang sudah berlangsung lama termanisfestasi dalam budaya gotong royong. Gotong royong merupakan salah satu kata yang selalu diucapkan bung Karno. Bahkan suatu ketika saat bung Karno diminta memeras Pancasila menjadi Ekasila, hasilnya ialah ia menyampaikan kata "gotong royong". Inilah yang menjadi titik tolak sila "Persatuan Indonesia".

Gotong royong sampai saat ini masih menggaung di desa-desa meskipun sudah mulai terkikis secara perlahan oleh sistem persaingan individu yang kian bengis. Nah, inilah yang harus diselamatkan karena modal sosial ini adalah sumber keabadian bangsa.

Kembali ke Pancasila, berbagai problematika kolektif bangsa yang menghambat pembangunan berkisar pada pusaran minimnya pemahaman terhadap nilai-nilai Pancasila yang notabene sejalan dengan nilai-nilai agama manapun di Indonesia. Kemerosotan moral yang terjadi di hampir semua segmen sosial menyebabkan pembanguanan di semua lini melempem. 

Parahnya lagi kemerosotan moral tersebut mulai menjalar ke pedesaan. Hasil pembangunan yang kerap dicemaskan berupa pertumbuhan menghasilkan peminggiran, pelaku ekonomi yang satu tumbuh yang lainnya mati, serta praktik pembangunan bukan merangkul malainkan memisahkan justru sedang terjadi.

Akhir kalimat, pembangunan nasional mestinya dibangun atas dasar Pancasila serta memprioritaskan pembangunan daerah dan menurunkan Pancasila membangun desa. Sosialisasi 4 pilar yang di dalamnya ada Pancasila harus tepat sasaran. Pancasila harus diturunkan ke pedesaan secara lebih agresif karena berbagai karakteristik masyarakat Indonesia ada di dalam tubuh Pancasila.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun