“Kenapa Mas berkata seperti itu? Aku hanya heran, kenapa Mas bisa berkelakuan seperti ini. Bukankah dulu semuanya baik-baik saja.”
Raka terdiam dengan sedikit perasaan menyesal karena meninggikan suara. Selama ini ia selalu berkata lembut kepada istrinya. Hanya perkara nasi di bibir, ia menjadi marah. Raka menarik napas panjang.
“Aku minta maaf. Ini memang salahku. Kalau itu keputusanmu, aku terima. Tapi please, malam ini kita harus datang ke undangan teman lamaku ya. Tidak enak kalau sampai kita tidak datang,” Raka memelas.
Istrinya segera beranjak pergi. Namun Raka tak menyerah. Bagaimanapun ia harus datang.
Setelah dibujuk, istrinya memberi kesempatan terakhir kepada Raka. Kalau sampai Raka masih membuat malu dengan menyisakan nasi di bibirnya, maka ia tak mau lagi menemani menghadiri undangan yang ada makan-makannya.
“Kamu tau kenapa aku tadi sangat memohon ke kamu untuk kita datang ke undangan malam ini?” Raka melirik ke arah istrinya.
Tak ada tanggapan dari istri Raka. Masih terlihat raut wajah kesal. Sedari tadi ia hanya memandang ke luar mobil melalui jendela di sebelah kiri.
Raka melanjutkan kalimatnya. “Karena tempat yang kita datangi ini adalah restoran yang dulu menjadi tempat aku menyatakan cinta ke kamu. Masih ingat, kan?" ucap Raka dengan senyum manisnya. Berusaha meredakan kekesalan istrinya. Namun istri Raka masih tak bergeming. Hingga akhirnya mereka sampai di tempat tujuan.
Mereka mengamati sekitar. Walaupun sudah lama tidak ke tempat itu tetapi mereka masih familiar dengan meja-meja kayu, lampu gantung, dan beberapa hiasan dindingnya. Selama bertahun-tahun restoran itu masih tetap dipertahankan susunan dan suasananya. Hanya ada sedikit perubahan. Memanggil kembali memori romantis sepasang suami istri itu.
Kekesalan istri Raka mulai mereda. Ia sudah mau berbicara. Bahkan bercerita tentang masa lalu mereka di tempat itu.
Setelah berbicang hangat dengan teman lama Raka yang mengundang, mereka duduk di sebuah meja kayu yang memang diperuntukkan untuk dua orang.