Mohon tunggu...
Mohammad Munir
Mohammad Munir Mohon Tunggu... Administrasi - Goverment Employer

Berusaha berbuat baik setiap saat dan selagi sempat....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menimbang Plus Minus Rasionalisasi ASN

4 Juni 2016   10:35 Diperbarui: 4 Juni 2016   11:19 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selanjutnya pegawai yang masuk kuadran satu tetap dipertahankan. Yang masuk kuadran dua diberikan diklat atau mutasi. Kuadran ketiga diberikan diklat kompetensi dan kuadran empat inilah yang harus menyiapkan mental untuk menerima  kebijakan rasionalisasi.

Adapun maksud dan tujuan kebijakan rasionalisasi disebut sebagai upaya untuk untuk menekan jumlah pegawai,meningkatkan kompetensi dan kinerja ASN, mendorong efisiensi belanja, menguatkan kapasitas fiskal, memberikan ruang merekrut SDM yang lebih berkualitas dan kompetitif serta meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Lepas dari tujuan akhir sebagai upaya pemerintah melakukan efisiensi anggaran, perbaikan di segala lini dan upaya mendorong reformasi birokrasi, rencana rasionalisasi ASN bukan lepas dari masalah. Beberapa masalah krusial tengah menghadang  disamping penolakan dari ASN yang akan menjadi target, beberapa pendapat dari kalangan legislatif bahkan dari KASN (komite aparatur sipil Negara) agaknya  perlu dipertimbangkan.

Bagaimanapun rasionalisasi bagi ASN  sangat terkait dengan urusan perut yang rentan konflik dan memicu solidaritas ASN senasib. Sementara pendapat salah satu anggota KASN nampaknya juga perlu menjadi kajian dan pertimbangan. Salah satu komisioner KASN menyatakan bahwa kebijakan rasionalisasi adalah kebijakan yang tidak tepat. Pasalnya  rasio ASN kita masih lebih baik dari beberapa negara tetangga, persoalan ASN kita bukan terletak pada jumlah tapi soal distribusi dan aturan mengenai pemberhentian ASN sudah ada ketentuannya di PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang displin ASN.

Kebijakan rasionalisasi juga harus berkeadilan, rencana pemangkasan ASN hanya atas dasar tingkat pendidikan dari  jenis jabatan fungsional umum dinilai kurang memenuhi rasa keadilan. Karena kalau alasan rasionalisasi untuk efisiensi maka yang lebih urgen sebenarnya adalah bagaimana pemerintah berusaha menekan kebocoran  anggaran yang  lebih disebabkan oleh  persoalan moralitas dan integritas. Sedangkan bila berbicara dua soal tesebut maka ini menyangkut ASN disemua golongan. Bukankah soal moral dan integritas lebih menjadi penyebab inefisiensi birokrasi? Bukankah  aparatur yang berkualifikasi tinggi tapi miskin integritas lebih merugikan Negara?

Nampaknya kebijakan rasionalisasi masih memerlukan penjelasan lebih komprehensif dan hati- hati. Karena menurut informasi yang lalu lalang di media massa, target rasionalisasi akan menyasar pegawai dengan kualifikasi pendidikan SD sampai SMA yang secara keseluruhan berada pada JFU. Bagaimana dengan pegawai yang menduduki jabatan fungsional tertentu? Apakah sudah dianggap steril dari kelemahan? Apakah semua tenaga fungsional sudah dianggap kompeten? Sementara juga jamak kita jumpai pejabat fungsional yang gagap teknologi, pegawai dengan sebutan tiga jaman (di kantor hanya 3 jam), pegawai yang lebih berat ke bisnis pribadi dari pada tugas kantor.

Belum lagi bicara masa depan pegawai yang terdampak rasionalisasi. Banyak pertanyaan yang masih menggantung dalam benak. Jika tahapan rasionalisasi berjalan mulus maka satu juta orang secara bertahap akan alih status. Dari seorang aparatur pemerintah menjadi individu dengan berbagai kegiatan baru di luar birokrasi. Dari pelayan masyarakat menjadi orang yang melayani diri sendiri dan keluarganya. Pertanyaan kritisnya, apakah mereka dengan serta merta mempunyai kesiapan yang cukup? Mengingat mereka secara kualifikasi adalah kuadran terendah? Apakah modal/uang pesangon yang konon akan mereka terima dipastikan menjadi jaminan hidup? Bagaimana jika gagal?

Maka lebih beruntung bagi mereka yang selama ini sudah merintis bisnis sembari menjadi aparat pemerintah. Atau beruntung bagi mereka yang terbiasa menjadi setengah aparat setengah pengusaha. Bagaimana dengan ASN yang selama ini murni menggantungkan kehidupannya kepada gaji bulanan? Bagaimana pula dengan nasib ASN yang masih punya tanggungan hutang yang  jumlahnya konon mayoritas? Bisa jadi pesangon yang diterima hanya cukup untuk menutup hutang di bank dengan penerapan penalti yang tinggi. Belum lagi beban cicilan rumah, tagihan listrik dan air yang terus merangkak naik, cicilan kendaraan bermotor, biaya pendidikan anak dan banyak beban lainnya.

Dilihat dari berbagai perspektif kajian, kebijakan rasionalisasi memang mendesak dilakukan. Namun tetap harus memperhitungkan efek jangka panjang. Bukan hanya soal efisiensi anggaran, tetapi rasa kemanusiaan dan  dampak sosial yang lebih luas juga perlu dikaji lebih jauh. (Moh. Munir.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun