Mohon tunggu...
Mohammad Munir
Mohammad Munir Mohon Tunggu... Administrasi - Goverment Employer

Berusaha berbuat baik setiap saat dan selagi sempat....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menimbang Plus Minus Rasionalisasi ASN

4 Juni 2016   10:35 Diperbarui: 4 Juni 2016   11:19 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Wacana rasionalisasi pegawai negeri sipil menjadi trend topik  sepanjang beberapa bulan terakhir. Bagaimana tidak, informasi soal rasionalisasi terus bergulir dan menjadi perbincangan publik terutama di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Parahnya banyak media yang memuat informasi tentang rasionalisasi dengan sepotong- potong plus bumbu dramatisasinya.

Berita tentang rasionalisasi pegawai kian seksi dan begitu  cepat menyebar baik melalui media online maupun media sosial dengan berbagai versi dan pemahaman. Tokoh masyarakat,  pimpinan daerah dari seluruh pelosok tanah air dan para petinggi partai menanggapinya secara beragam. Ada yang setuju, tidak sedikit juga yang menentang.

Kepastian rasionalisasi jumlah ASN itu disampaikan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Re‎formasi Birokrasi (MenPAN-RB) Yuddy Chrisnandi di hadapan para sekretaris daerah provinsi se-Indonesia di kantor kemenpan-RB  awal maret lalu.

Wacana tentang rasionalisasi dipertegas  dalam Rapat Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) di Kantor Wakil Presiden, Jakarta Pusat, Selasa (31/5). Pada saat itu. Wakil Presiden bahwa  mengatakan, kebijakan rasionalisasi akan dimulai awal 2017 dengan target selesai dalam delapan tahun. Waktu delapan tahun sudah cukup agar para PNS tak kaget saat kebijakan tersebut diterapkan.

Hampir pasti, kebijakan rasionalisasi segera diberlakukan. Menurut MenPan-RB, pengurangan ini dalam upaya menurunkan belanja pegawai yang saat ini masih 33,8 persen. Dalam penjelasannya, sebenarnya porsi belanja pegawai di APBN sudah turun, hanya saja, menurutnya, angka itu masih tinggi dan harus diturunkan lagi.

Cara menurunkannya, salah satunya dengan cara mengurangi pegawai yang dinilai tidak punya kualifikasi, kinerja buruk serta tidak kompeten. Terlebih lagi, di banyak daerah, belanja pegawai masih cukup besar. Data kemenpan menyebutkan bahwa setidaknya 134 daerah belanja pegawainya masih di atas 50%.

Deputi SDM Aparatur KemenPAN-RB Setiawan Wangsaatmaja menjelaskan bahwa, rasionalisasi ASN menargetkan  satu juta pegawai yang akan dipensiunkan lebih dini, ditambah kurang lebih 500 ribu ASN yang masuk batas usia  pensiun pada  2017-2019. Sehingga total, ditargetkan ada pengurangan 1,5 juta ASN. (JPNN 8/3)

Yang cukup mencengangkan adalah data yang menyebut bahwa 42 persen dari 4,517 juta ASN di Indonesia tidak tahu apa yang harus dia kerjakan di kantor. 42 persen itu berarti sama dengan 1,369 juta ASN. Semuanya itu berada ada di jabatan fungsional umum (JFU). Oleh karenanya kabarnya akan segera  ada edaran yang meminta  seluruh sekretaris daerah (Sekda)  untuk melakukan audit organisasi dan memetakan ASN yang bertugas di JFU (Jabatan Fungsional Umum). Dari pemetaan akan diketahui berapa sebenarnya jumlah ASN yang masih bisa didongkrak kemampuannya dan berapa harus dirasionalisasi.

Pemberlakukan rasionalisasi ASN akan dilakukan tidak pandang bulu. Baik ASN tua maupun muda. Ini akan diberlakukan bila kompetensi ASN nya diketahui pasti sangat rendah.
Performa pegawai  yang tidak mempunyai kompetensi memadai disebut tidak sebanding dengan anggaran negara yang jumlahnya mencapai ratusan triliun.

Adapun roadmap kebijakan rasionalisai ASN 2016-2019 akan melalui tahapan antara lain: Pertama  penataan SDM aparatur sipil negara (ASN) berupa audit organisasi, baik dari sisi kompetensi, kualifikasi, dan kinerja,  kedua setelah diketahui  kebutuhan SDM baik dari sisi jabatan maupun jumlah maka akan dimasukkan dalam peta kuadran. Peta kuadran ini harus diisi oleh masing-masing pejabat pembina kepegawaian (PPK) karena merekalah yang  paling tahu kondisi pegawainya. Untuk mencegah praktek like and dislike atau penilaian tidak objektif, akan digunakan sistem penilaian yang dibuat pusat. Ketiga, PPK akan mengklasifikasi pegawai apakah  masuk kuadran satu, dua, tiga, dan empat.

Kuadran satu terdiri dari ASN dengan  kompetensi dan kualifikasi yang sesuai. Kuadran dua, terdiri dari ASN yang kompeten namun kualifikasinya  tidak sesuai. Kuadran tiga, ASN  dengan katagori tidak kompeten namun kualifikasi sesuai. Kuadran empat, adalah ASN yang mendapat penilaian tidak kompeten dan kualifikasi tidak sesuai.

Selanjutnya pegawai yang masuk kuadran satu tetap dipertahankan. Yang masuk kuadran dua diberikan diklat atau mutasi. Kuadran ketiga diberikan diklat kompetensi dan kuadran empat inilah yang harus menyiapkan mental untuk menerima  kebijakan rasionalisasi.

Adapun maksud dan tujuan kebijakan rasionalisasi disebut sebagai upaya untuk untuk menekan jumlah pegawai,meningkatkan kompetensi dan kinerja ASN, mendorong efisiensi belanja, menguatkan kapasitas fiskal, memberikan ruang merekrut SDM yang lebih berkualitas dan kompetitif serta meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Lepas dari tujuan akhir sebagai upaya pemerintah melakukan efisiensi anggaran, perbaikan di segala lini dan upaya mendorong reformasi birokrasi, rencana rasionalisasi ASN bukan lepas dari masalah. Beberapa masalah krusial tengah menghadang  disamping penolakan dari ASN yang akan menjadi target, beberapa pendapat dari kalangan legislatif bahkan dari KASN (komite aparatur sipil Negara) agaknya  perlu dipertimbangkan.

Bagaimanapun rasionalisasi bagi ASN  sangat terkait dengan urusan perut yang rentan konflik dan memicu solidaritas ASN senasib. Sementara pendapat salah satu anggota KASN nampaknya juga perlu menjadi kajian dan pertimbangan. Salah satu komisioner KASN menyatakan bahwa kebijakan rasionalisasi adalah kebijakan yang tidak tepat. Pasalnya  rasio ASN kita masih lebih baik dari beberapa negara tetangga, persoalan ASN kita bukan terletak pada jumlah tapi soal distribusi dan aturan mengenai pemberhentian ASN sudah ada ketentuannya di PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang displin ASN.

Kebijakan rasionalisasi juga harus berkeadilan, rencana pemangkasan ASN hanya atas dasar tingkat pendidikan dari  jenis jabatan fungsional umum dinilai kurang memenuhi rasa keadilan. Karena kalau alasan rasionalisasi untuk efisiensi maka yang lebih urgen sebenarnya adalah bagaimana pemerintah berusaha menekan kebocoran  anggaran yang  lebih disebabkan oleh  persoalan moralitas dan integritas. Sedangkan bila berbicara dua soal tesebut maka ini menyangkut ASN disemua golongan. Bukankah soal moral dan integritas lebih menjadi penyebab inefisiensi birokrasi? Bukankah  aparatur yang berkualifikasi tinggi tapi miskin integritas lebih merugikan Negara?

Nampaknya kebijakan rasionalisasi masih memerlukan penjelasan lebih komprehensif dan hati- hati. Karena menurut informasi yang lalu lalang di media massa, target rasionalisasi akan menyasar pegawai dengan kualifikasi pendidikan SD sampai SMA yang secara keseluruhan berada pada JFU. Bagaimana dengan pegawai yang menduduki jabatan fungsional tertentu? Apakah sudah dianggap steril dari kelemahan? Apakah semua tenaga fungsional sudah dianggap kompeten? Sementara juga jamak kita jumpai pejabat fungsional yang gagap teknologi, pegawai dengan sebutan tiga jaman (di kantor hanya 3 jam), pegawai yang lebih berat ke bisnis pribadi dari pada tugas kantor.

Belum lagi bicara masa depan pegawai yang terdampak rasionalisasi. Banyak pertanyaan yang masih menggantung dalam benak. Jika tahapan rasionalisasi berjalan mulus maka satu juta orang secara bertahap akan alih status. Dari seorang aparatur pemerintah menjadi individu dengan berbagai kegiatan baru di luar birokrasi. Dari pelayan masyarakat menjadi orang yang melayani diri sendiri dan keluarganya. Pertanyaan kritisnya, apakah mereka dengan serta merta mempunyai kesiapan yang cukup? Mengingat mereka secara kualifikasi adalah kuadran terendah? Apakah modal/uang pesangon yang konon akan mereka terima dipastikan menjadi jaminan hidup? Bagaimana jika gagal?

Maka lebih beruntung bagi mereka yang selama ini sudah merintis bisnis sembari menjadi aparat pemerintah. Atau beruntung bagi mereka yang terbiasa menjadi setengah aparat setengah pengusaha. Bagaimana dengan ASN yang selama ini murni menggantungkan kehidupannya kepada gaji bulanan? Bagaimana pula dengan nasib ASN yang masih punya tanggungan hutang yang  jumlahnya konon mayoritas? Bisa jadi pesangon yang diterima hanya cukup untuk menutup hutang di bank dengan penerapan penalti yang tinggi. Belum lagi beban cicilan rumah, tagihan listrik dan air yang terus merangkak naik, cicilan kendaraan bermotor, biaya pendidikan anak dan banyak beban lainnya.

Dilihat dari berbagai perspektif kajian, kebijakan rasionalisasi memang mendesak dilakukan. Namun tetap harus memperhitungkan efek jangka panjang. Bukan hanya soal efisiensi anggaran, tetapi rasa kemanusiaan dan  dampak sosial yang lebih luas juga perlu dikaji lebih jauh. (Moh. Munir.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun