Entah kenapa, kata-kata tak bisa lagi kusambung menjadi satu cerita. Rasa-rasa sel yang ada di kepala berubah wujud menjadi kumpulan benang kusut yang begitu rumit untuk kuurai.
Ini menyakitkan. Barangkali sama rasanya seperti ketika seorang pelukis kehilangan tangan dalam sebuah kecelakaan. Atau seorang pemain sepak bola kehilangan fungsi kakinya karena cedera yang tak disengaja.
Desperately.
Aku terus memaksakan diri untuk bisa, tetapi tak juga berhasil dan berakhir sakit kepala. Berjam-jam waktu kuhabiskan untuk berusaha, tetap saja hasilnya sama. Berujung layar kosong tanpa satu pun kalimat bisa kuhasilkan.
Apa kemampuan merangkai kataku telah hilang? Mengapa? Lantas apa yang harus aku lakukan? Jika begini terus, lama-lama aku bisa strok.
Kalau saja ada bengkel organ manusia, sudah kudatangi ia untuk permak apa saja yang ada dalam jaringan kepala. Melepasnya sebentar lalu menata-nata ulang segala sesuatu yang ada di dalamnya. Menyusun satu per satu, merapikan yang masih bisa disimpan dan membuang hal-hal tak penting penghambat aliran darah.
"Hei, kamu lupa. Bengkel manusia itu ada." Lagi-lagi ia muncul di saat yang tiba-tiba.
"Diam kau! Mana ada bengkel manusia!" gerutuku.
"Itulah kau, tak tahu apa-apa tentang kehidupan. Sibuk bersenang-senang dengan hal tak berguna." Ia dan kebiasaannya. Suka menasihatiku semena-mena.
"Sok tahu kau! Kalau mau ceramah, di masjid saja sana!" Aku berbalik arah, menjauhi suara yang menempel padaku setiap saat. Ia tak pernah mau berpindah, suka muncul di waktu-waktu yang tak kuharapkan---mungkin.
"Kau itu bodoh. Lihat lembar kain seukuran tinggi manusia yang kau geletakkan  di jemuran baju itu! Kau mengkhianatinya. Maka dari itu otakmu kusut, rumit, dan tidak lagi bisa memikirkan apa-apa!"