Mohon tunggu...
Munawar Ali
Munawar Ali Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya hanya seorang dokter jaga puskesmas di sebuah kecamatan yang bernama Kembang Tanjong. Kecamatan ini berjarak sekitar 130 km dari ibukota Provinsi Aceh, Banda Aceh.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kios Saudara

23 September 2010   02:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:02 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pada saat kios itu didirikan, ayah juga mulai mengkhawatirkan pergaulan kami dan kelakuan anak-anak tetangga di sekitar pemukiman. Banyak dari anak-anak penduduk sekitar yang sudah putus sekolah dan menjadi preman setempat. Ayah sangat khawatir dengan lingkungan sekitar tempat kami tinggal yang mungkin akan ikut mempengaruhi karakter kami anak-anaknya dikemudian hari. Saya sangat membenci kios itu awalnya. Kios itu membuat ruang gerak saya menjadi sangat-sangat terbatas. Keadaan dimana saya harus menghabiskan waktu berjam-jam menjaga kios itu membuat waktu bermain saya menjadi hilang. Pernah juga dalam hati kecil saya terlintas, “kenapa mesti saya yang membantu mencari uang untuk keluarga ini, bukankah itu adalah urusan orang tua saya, bukankah anak-anak seumuran saya harusnya bermain bersama-sama teman sepermainannya yang lain?”.

Tapi kehebatan terbesar orang tua kita adalah, mereka sangat tahu apa yang sebenarnya akan kita butuhkan dikemudian hari. Sekarang baru saya sadari, apa yang ada disebalik semua pemikiran cemerlang ayah waktu itu. Hikmah yang diajarkan oleh kios itu telah membuat saya sedikit lebih beradab dari teman-teman seperjuangan saya yang lain. Banyak diantara teman-teman se-gang dengan saya yang pada akhirnya harus menghabiskan waktu dengan keluar masuk bui. Banyak juga yang telah kecanduan dengan narkoba dan tak bisa lepas lagi. Jika saja waktu itu saya tak menjaga kios di rumah, andai saja waktu itu saya juga sibuk habiskan pagi dan malam saya dengan tertawa, berteriak, bernyanyi dan memetik gitar di ujung gang itu, mungkin sekarang saya sedang menyemir sepatu salah seorang sipir di penjara hanya untuk mendapatkan sebatang rokok kegemaran saya.

Masih sangat lekat dalam ingatan saya, saat kami – empat bersaudara – berkumpul dirumah setelah ayah meninggal. Kami yang sangat-sangat menyayangi ibu merasa miris melihat ibu yang sudah rapuh itu masih berjualan di kios depan rumah  pada saat kami semua –anak-anaknya- sudah sangat jarang berada di rumah. Akhirnya kamipun dengan ceroboh dan gegabah mengungkapkan keinginan kami untuk menutup kios yang telah membesarkan kami itu.

“Kami sangat menyanyangi ibu, tak layak rasanya kami membiarkan ibu mencari rupiah demi rupiah lagi untuk diri ibu sendiri disaat kami telah punya sedikit uang untuk mencukupi semua kebutuhan ibu”, ujar abang tertua kami.

“Ibu.. ada baiknya ibu habiskan waktu dengan beribadah dan melakukan semua kegiatan ibu yang sempat tertunda dulunya karena harus membesarkan kami”, ucap saya lagi.

Adik kecil sayapun menyambung, “Ibu sekarang tak perlu berbelanja barang dagangan lagi, ibu bisa menonton televisi saja dirumah atau bersilaturrahmi ke rumah saudara-saudara kita yang lain.”

Ibu terdiam, sangat berat ibu meninggalkan kios yang telah bertahun-tahun ia bangun dan ia jaga dengan keringat dan air matanya itu. Ada begitu banyak kenangan yang ditinggalkan oleh kios itu bersama dengan orang sangat ia cintai – suaminya. Masih sangat lekat diingatannya tatkala ia menghabiskan setiap paruh malam dengan duduk berdua bersama suaminya tercinta di depan kios sembari bercanda dan tertawa sambil menunggu pelanggan datang. Dan hari ini, semua anak-anak memaksa untuk menutup kios itu dan mengubur semua kenangan-kenangannya. Karena kecintaannya pada kami, karena tak ingin melihat kami kecewa dan dikarenakan juga kami - semua anak-anaknya – telah bersepakat, akhirnya ibu-pun menjawab pendek “iya.. boleh”. Dan masa kejayaan Kios Saudara-pun berakhir sudah, ia di-bredel untuk untuk selama-lamanya.

Tak berhitung bulan, saya mulai melihat ibu yang linglung dengan rutinitas barunya. Ia hanya tidur, memasak, beribadah, mengaji dan sesekali menonton televisi. Ibu yang sudah setua itu kami jejali lagi dengan kebiasaan baru yang mungkin tak cukup“melelahkan” baginya, dengan sembrono – berbekal alasan kami menyayanginya - kami paksa beliau untuk beradaptasi dengan rutinitas baru yang mungkin juga tak nyaman bagi beliau.

Dulunya, beliau dengan ceria menimbang gula, cabai, bawang, garam ataupun minyak makan kepada pelanggan yang berbelanja. Dulunya, dengan senyum sembari tertawa beliau menuang liter-perliter minyak tanah kedalam jerigen yang dibawa oleh tetangga. Dulunya juga, dengan senyum simpul dia mengambil atau mengembalikan uang belajaan pelanggan, benar-benar sebuah rutinitas yang telah mendarah daging baginya. Dan sekarang, ia hanya berjalan dari kamar tidur, ruang keluarga, dan kembali ke kamar tidur.

Sedih benar rasanya mengingat kekejaman kami pada ibu waktu itu. Kami tak peka dengan apa keinginan ibu untuk mengisi hari tuanya, kami juga tiba-tiba berubah menjadi monster yang merasa paling tahu segalanya akan apa yang sebenarnya ibu butuhkan dikemudian hari.

Tak pernah aku tahu seberapa lama aku masih bisa menghabiskan waktu di dunia ini. Sekiranya-pun aku diamanahkan umur panjang oleh yang Maha Kuasa, aku hanya ingin anak-anakku kelak bisa cukup peka untuk merasakan keinginan-keinginan yang aku impikan sebelum aku menutup mata. Mungkin aku tak pantas meminta lebih setelah apa yang telah aku perbuat pada ibu-ku, tapi kalaupun Tuhan cukup pemurah, aku ingin kelak menghabiskan waktuku dengan pasien-pasienku – walaupun mungkin, anak-anakku akan mengkhawatirkan kondisi kesehatanku yang cukup lemah saat itu. Atau.. aku hanya ingin tetap mencabuti rumput di depan rumahku setiap paginya – meskipun mungkin, anakku telah menyewa pembantu untuk melakukannya. Atau.. aku hanya ingin tetap berbelanja ke pasar - hanya berdua dengan istri tercintaku - dengan mengendarai mobil butut kami itu – jikapun mungkin waktu itu, anakku telah menyediakan mobil baru dan supir pribadinya untuk kami. Aku hanya ingin menghabiskan waktuku dengan melakukan rutinitasku yang telah mendarah daging, dan aku akan sangat ketakutan jika anak-anakku kelak memaksaku untuk tetap diam dirumah sembari hanya mengaji dan menonton televisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun