Mohon tunggu...
munalia Azzahra Halimanwar
munalia Azzahra Halimanwar Mohon Tunggu... Lainnya - Political science student at Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta

Just try it and stay Focus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dilema PSBB, Rakyat Berada Diambang Rasa Patuh atau Mati karena Darurat Pangan

1 Mei 2020   09:06 Diperbarui: 1 Mei 2020   09:19 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasalnya bagi mereka yang bekerja sebagai pejuang jalanan seperti pengemudi ojol, penjual kelontongan, buruh pasar, pekerja lepas dan lain sebagainya berada pada keadaan yang sangat dilematis.

Satu sisi mereka ingin mematuhi aturan yang dibuat pemerintah untuk sama-sama berjuang mengurangi penyebaran virus dan berharap dapat kembali bekerja secara normal, namun di lain sisi mereka yang juga memiliki keluarga dengan pendapatan yang dihasilkan secara harian, merasa bimbang. Karena dari pendapatan harian itulah mereka bisa makan dan mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. 

Belum lagi bagi keluarga yang memiliki anak bayi atau balita yang membutuhkan kebutuhan pokok bayinya setiap hari, seperti susu, popok, pampres dll. Mereka menganggap sehari tidak mendapat penghasilan maka dapat dipastikan hari itu juga atau bisa jadi hari berikutnya mereka tidak akan bisa makan dan akhirnya hanya kelaparan yang di dapat.

Baru-baru ini misalnya,ada kasus kematian karena kelaparan di tengah wabah covid-19 yang viral di media sosial. Seorang wanita paruh baya yang bernama Yulie Nuramelia, 43 tahun, meninggal pada Senin (20/4) pukul tiga sore. Yulie sempat jadi perbincangan hangat di media sosial karena ia dan keluarganya (suami dan ke-empat anaknya) hanya dapat mengganjal perutnya dengan meminum air putih selama dua hari. Setelah viral di media sosial, Sabtu (18/4) pemerintah setempat mulai menyalurkan bantuan kepada korban yang tinggal di Kelurahan Lontar Baru, Kecamatan Serang, Kabupaten Serang, Banten. Namun naasnya, setelah dua hari diberi bantuan, pada senin (20/4) Yulie pun meregang nyawa, dengan masih dalam kondisi akibat kelaparan.

Namun berita tersebut ditepis dan dianggap hoax. Setelah berita kematian Yulie diumumkan, Dedi Sudrajat selaku Lurah Lontar Baru mengatakan yakin Yulie meninggal bukan karena kelaparan ataupun virus corona yang terjadi saat ada pemberlakuan PSBB. Beliau mengatakan "Dua hari enggak makan saya sendiri enggak percaya juga yah. Karena saya dapat informasi beliau masih makan," kata Dedi kepada Liputan6, pada (21/4). “Kalau penyebabnya (kematian) saya belum tahu pasti, tapi dokter bilang bukan Covid-19. Pihak puskesmas bilang meninggal di jalan. Bukan juga (meninggal) karena kelaparan."

Dalam video liputan KompasTV yang ditayangkan pada Minggu (19/4), Yulie mengatakan sendiri bahwa keluarganya tidak makan selama dua hari. Kepala Dinas Sosial Kota Serang mengaku, mereka baru mengirimkan bantuan setelah kisah Yulie viral. Berita tersebut pun di tepis pula oleh Rochman Setiawan, salah seorang relawan terakhir yang memberi bantuan sembako kepada keluarga Yulie pada Senin (20/4) pagi, bersaksi bahwa keluarga Yulie memang kelaparan seperti yang diberitakan.

Kesimpulan dari cerita tersebut yakni, adanya wabah covid-19 yang kian berkembang diikuti sejumlah aturan yang dibuat pemerintah soal bekerja di rumah, belajar di rumah dan Ibadah di rumah serta adanya pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar telah membuat keluarga miskin ini makin tercekik. 

Pasalnya, suami Yulie kehilangan penghasilannya sebagai pencari barang rongsokan. Padahal sebelum wabah saja mereka sudah hidup susah, sang suami sehari-hari hanya berpenghasilan sekitar Rp20-25 ribu saja. 

Bisa kita bayangkan betapa tidak terpenuhinya kebutuhan ketika wabah datang. Kondisi kemiskinan juga membuat dua anak tertua Yulie putus sekolah di bangku SMP. Begitu wabah meluas, suami Yulie menjadi petugas sampah di perumahan, yang  baru mendapat uang dua hari sekali. Ditambah anak tertuanya yang menjadi buruh yang turut terkena-PHK.

Pada akhirnya dilema yang terjadi bukan hanya soal kepatuhan terhadap aturan pembatasan sosial berskala besar, namun juga menyangkut tingkat kemiskinan masyarakat yang kian meningkat dari hari ke hari. 

Menurut (Airus J, 2012), Kemiskinan definisikan  sebagai ketidakmampuan masayarakat dalam memenuhi standar hidup minimal. Kemiskinan dianggap sebagai kondisi kekurangan pendapatan dan kesulitan ekonomi. Badan Pusat Statistik kemudian mendefinisikan kemiskinan sebagai tolak ukur kemiskinan secara nasional di Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun