Mohon tunggu...
Muna
Muna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa IPB University

Lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

National Dashboard Indonesia: Solusi Tantangan Kebijakan Perdagangan Internasional dan Penguatan Tata Kelola Ekspor di Indonesia

16 November 2024   20:30 Diperbarui: 16 November 2024   21:35 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem perekonomian terbuka yang tidak lepas dalam keterlibatan perdagangan internasional (ekspor dan impor) dengan negara lain (Muqowwi et al 2024). Perdagangan Internasional merupakan aktivitas dalam pemanfaatan sumber daya masing-masing negara dengan melakukan pertukaran barang maupun jasa antar dua negara atau lebih di pasar internasional (Rochmat et al 2017). Hal itu membuat perdagangan internasional menjadi penentu pertumbuhan ekonomi suatu negara (Wulandari dan Saifudin 2019). Setiap negara, termasuk Indonesia, terus berupaya meningkatkan daya saing produknya dengan meningkatkan volume serta mutu ekspor mereka agar lebih efisien dan dapat bersaing di pasar internasional.

Berdasarkan data nilai ekspor Indonesia ke beberapa negara tujuan utama pada tahun 2022 dan 2023, terlihat adanya penurunan di semua negara tujuan. Ekspor ke ASEAN mengalami penurunan dari US$61,111 juta pada 2022 menjadi US$52,732.5 juta pada 2023. Ekspor ke Jepang juga menurun signifikan dari US$24,853.1 juta pada 2022 menjadi US$20,786.2 juta pada 2023. Meskipun Tiongkok tetap menjadi negara tujuan ekspor terbesar, nilai ekspor ke Tiongkok sedikit menurun dari US$65,839.3 juta pada 2022 menjadi US$64,934.6 juta pada 2023. Ekspor ke Amerika Serikat juga mengalami penurunan yang cukup signifikan dari US$28,182.7 juta pada 2022 menjadi US$23,246.8 juta pada 2023. Demikian pula, ekspor ke Uni Eropa turun dari US$23,172.3 juta pada 2022 menjadi US$18,564.4 juta pada 2023.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2024), pada masing-masing sektor, terdapat komoditas utama yang menjadi andalan ekspor di Indonesia pada tahun 2023, yaitu kopi pada sektor pertanian, minyak kelapa sawit pada sektor industri pengolahan, dan batu bara pada sektor pertambangan. Ekspor komoditas dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk luas area lahan dan tingkat produksi (Ronauli dan Arka 2024). Seiring dengan peningkatan luas lahan dan produksi komoditas perkebunan, kebutuhan lahan turut meningkat, yang berkorelasi langsung dengan alih fungsi lahan hutan (Hasibuan 2015). Alih fungsi lahan ini telah terjadi secara luas pada kawasan hutan di Indonesia (Said dan Ifrani 2019).

Alih fungsi lahan berdampak pada deforestasi kawasan hutan, yang didefinisikan oleh KLHK sebagai perubahan tutupan lahan dari kategori berhutan menjadi tidak berhutan. Menurut Wahyuni dan Suranto (2021) perkebunan kelapa sawit di Indonesia menyumbang sekitar 57 persen deforestasi, sementara sisanya disebabkan oleh industri pulp dan kertas. Menurut Global Forest Review, meningkatnya permintaan untuk komoditas pertanian seperti daging sapi, cokelat, kopi, minyak sawit, karet, kedelai, dan kayu telah memicu pembukaan lahan hutan, menyebabkan penurunan besar hutan di berbagai negara, khususnya di kawasan tropis. Untuk menghadapi ancaman ini, Uni Eropa menerapkan European Union Deforestation Regulation (EUDR) guna memastikan bahwa produk yang masuk ke pasar UE bebas dari deforestasi ilegal dan memenuhi standar keberlanjutan.

Regulasi ini menekankan pentingnya hak asasi manusia dan perlindungan masyarakat adat dengan menetapkan standar khusus untuk komoditas yang akan diperdagangkan di Uni Eropa (Kapoor & Klindt, 2023; Regulation (EU) 2023/1115 (48), 2023). EUDR berfokus pada komoditas seperti daging sapi, kopi, minyak sawit, kakao, karet, dan kayu, yang hanya dapat masuk ke pasar Uni Eropa jika diproduksi di area bebas deforestasi sejak 31 Desember 2020, sesuai standar FAO (Food and Agriculture Organization). Selain itu, EUDR mewajibkan perusahaan yang ingin memasok komoditas ke UE untuk memenuhi persyaratan ketat dalam hal penelusuran dan uji tuntas. Perusahaan harus memastikan produk mereka mematuhi hukum negara asal, serta menyediakan informasi yang cukup konkret dan dapat diverifikasi bahwa produk tersebut bebas dari deforestasi (Regulation (EU) 2023/1115 (Artikel 3), 2023). Informasi ini mencakup deskripsi produk, jumlah, negara produksi, geo-lokasi lahan, dan konfirmasi bahwa proses produksi sesuai dengan peraturan di negara asal (Regulation (EU) 2023/1115 (Artikel 9), 2023).

Namun, kebijakan EUDR menghadapi penolakan di berbagai negara karena dianggap sebagai hambatan perdagangan serta beban ekonomi dan administratif. Negara-negara Uni Eropa seperti Austria, Italia, Finlandia, dan Swedia menganggap bahwa peraturan ini akan merugikan sektor pertanian dan kehutanan mereka karena persyaratan ketat yang membebani ekonomi lokal. Di sisi lain, EUDR juga dianggap memberatkan bisnis kecil dan menengah, terutama karena prosedur sertifikasi bebas deforestasi yang rumit dan mahal. Selain itu, persyaratan verifikasi yang melibatkan penggunaan citra satelit dan inspeksi lapangan dinilai terlalu kompleks, menyulitkan negara produsen dengan petani kecil untuk memenuhi ketentuan tersebut (Suradireja, 2024).

Tantangan teknis dalam implementasi EUDR semakin memperburuk situasi, terutama terkait dengan keterlambatan dalam "benchmarking" risiko deforestasi dan pengembangan Sistem Informasi Digital UE, yang seharusnya mendukung pelaporan dan pengawasan. Di samping itu, kebijakan ini memicu ketegangan diplomatik, dengan beberapa negara melihat EUDR sebagai bentuk pemaksaan pasca-imperialisme yang memperburuk hubungan perdagangan dengan Uni Eropa. Persyaratan ketat yang diterapkan oleh EUDR telah meningkatkan biaya dan mempersulit ekspor komoditas, terutama dalam hal ketertelusuran dan legalitas produk, yang berpotensi mengancam keberlanjutan rantai pasokan global (Suradireja, 2024).

EUDR menimbulkan kekhawatiran di negara-negara produsen utama seperti Indonesia dan Malaysia, dengan kritik utama terkait minimnya keterlibatan negara produsen dalam proses penyusunan regulasi dan kurangnya perhatian terhadap kondisi lokal, khususnya bagi petani kecil. Negara-negara ini menganggap EUDR bertentangan dengan prinsip "common but differentiated responsibilities" dalam kesepakatan multilateral dan menciptakan diskriminasi yang bertentangan dengan ketentuan WTO. Sebagai response, Indonesia dan Malaysia, dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Deputi PM Malaysia Fadillah Yusof, berhasil mendorong pembentukan Joint Task Force (JTF) untuk membahas keberatan mereka terhadap regulasi tersebut.

Pertemuan JTF antara Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa membahas lima fokus utama terkait implementasi EUDR, yaitu keterlibatan petani kecil, keselarasan skema sertifikasi, alat ketertelusuran, analisis kesenjangan regulasi, dan perlindungan data pribadi. Untuk mendukung transparansi rantai pasok dan memperkuat posisi ekspor, Pemerintah Indonesia juga sedang mengembangkan National Dashboard, sebuah platform untuk memfasilitasi pelacakan komoditas yang lebih efektif, khususnya dalam memenuhi persyaratan EUDR. Platform ini akan mempermudah akses pasar internasional bagi komoditas utama Indonesia, seperti karet, sawit, kakao, dan kopi.

National Dashboard berfungsi sebagai pusat data yang memastikan transparansi, keberlanjutan, dan kepatuhan hukum dalam perdagangan komoditas internasional. Menggunakan teknologi blockchain, sistem ini menjamin keabsahan data dan ketertelusuran produk, sehingga memastikan asal-usul, volume, dan legalitas produk. Fitur verifikasi lahan bebas deforestasi dan audit tahunan akan memastikan setiap tahap dalam rantai pasok mematuhi persyaratan keberlanjutan dan legalitas yang ditetapkan oleh pemerintah dan pasar internasional, termasuk ketentuan EUDR. Dengan kemampuan pelacakan dari hulu hingga hilir, platform ini diharapkan dapat memfasilitasi ekspor komoditas Indonesia ke pasar global secara lebih efisien dan efektif. Selain itu, National Dashboard akan menjadi sarana untuk menyusun data pertanian Indonesia dengan baik, serta menjadi solusi bagi regulasi negara tujuan ekspor yang mungkin muncul di masa depan.

Sistem Informasi National Dashboard mengintegrasikan prinsip dan kriteria (P&C) serta chain of custody (COC) untuk memastikan keberlanjutan dan kepatuhan terhadap standar lingkungan dan sosial yang ketat. Sertifikasi ISPO diterapkan untuk produk minyak sawit, memastikan bahwa produk tersebut memenuhi standar keberlanjutan nasional. Proses validasi melibatkan QR Code dan database seperti E-STDB dan SIPERIBUN, yang memverifikasi keabsahan petani, perusahaan, dan produk. Interface dashboard tersedia dalam versi desktop untuk perusahaan dan buyer, serta aplikasi mobile untuk petani, memungkinkan pelacakan komoditas dari hulu ke hilir secara real-time, dengan informasi seperti geolokasi lahan dan dokumen legal yang dapat diverifikasi dengan cepat.

Data dari rantai pasok dikumpulkan dan dianalisis menggunakan teknologi API, memungkinkan integrasi dengan sistem terkait seperti Pusat Data Indonesia dan cloud computing Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dengan infrastruktur ISO 27001 dan perlindungan keamanan yang ketat, National Dashboard memastikan integritas dan kerahasiaan data. Sistem ini mendukung ketertelusuran yang menyeluruh, memungkinkan pelacakan produk kembali ke sumber asalnya dengan transparansi tinggi. Tata kelola sistem melibatkan registrasi pengguna, validasi transaksi, dan verifikasi data oleh lembaga pemerintah, dengan integrasi pusat data dan perjanjian kerahasiaan untuk memastikan data yang masuk valid dan terpercaya.

Selanjutnya dilakukan tahap piloting National Dashboard yang akan difokuskan pada beberapa objek dan batasan terkait data legalitas serta partisipasi aktor dalam rantai pasok. Data yang dibutuhkan meliputi legalitas perkebunan yang sesuai dengan STDB (Surat Tanda Daftar Budidaya) dan data legalitas perusahaan serta perkebunan yang sesuai dengan SIPERIBUN (Sistem Informasi Perizinan Perkebunan). Keberadaan data ini akan memastikan bahwa piloting dapat berjalan dengan transparansi dan kesesuaian legalitas, yang merupakan aspek penting dalam sistem pengawasan perkebunan. Dengan demikian, piloting ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam menciptakan sistem yang lebih transparan dan terukur.

Keberhasilan piloting juga bergantung pada partisipasi aktif dari seluruh titik rantai pasok perusahaan, termasuk petani, pengolah, penyimpan, dan pihak terkait lainnya. Agar proses piloting dapat berjalan efektif dan memberikan masukan yang konstruktif untuk pengembangan National Dashboard, semua aktor rantai pasok diharapkan terlibat penuh. Perusahaan yang terlibat juga akan berperan sebagai Enumerator Lokal yang diawasi oleh PT Surveyor Indonesia dalam melakukan registrasi dan pencatatan data transaksi selama piloting. Partisipasi dari semua pihak ini akan memastikan bahwa informasi yang tercatat dalam sistem mencerminkan kondisi riil di lapangan.

Setelah pelaksanaan piloting, akan dilakukan monitoring berkala melalui platform oleh PTSI untuk memvalidasi dan memastikan bahwa data yang tercatat sesuai dengan kondisi di lapangan. Validasi ini bisa dilakukan baik secara dokumen maupun on-site jika diperlukan, untuk memastikan konsistensi data yang ada pada National Dashboard dengan data perusahaan. Lokasi piloting dipilih berdasarkan kesediaan perusahaan untuk berpartisipasi, kesiapan data legalitas, serta adanya target ekspor ke Eropa. Terkait dengan biaya, pelaksanaan piloting ini akan didanai melalui co-financing bagi perusahaan atau korporasi yang terlibat. Namun, petani swadaya dan koperasi tidak akan dibebankan biaya apapun untuk penggunaan aplikasi mobile atau pencatatan transaksi, yang disediakan secara gratis. Dengan skema pembiayaan ini, diharapkan proses piloting dapat berjalan tanpa kendala biaya bagi semua pihak yang terlibat, termasuk petani swadaya dan koperasi yang turut berpartisipasi dalam pengujian sistem.

Sebagai langkah selanjutnya, keberhasilan piloting National Dashboard sangat bergantung pada kolaborasi yang solid antara semua pihak yang terlibat. Partisipasi aktif dari seluruh aktor dalam rantai pasok dan dukungan dari perusahaan serta petani swadaya akan menjadi kunci untuk mencapai tujuan transparansi dan akurasi data dalam sistem ini. Dengan pengumpulan dan validasi data yang cermat, diharapkan piloting ini dapat memberikan wawasan yang berharga untuk pengembangan lebih lanjut dan integrasi sistem yang lebih luas. Ke depannya, evaluasi yang dilakukan pasca-piloting akan menjadi landasan penting untuk mengoptimalkan pelaksanaan National Dashboard dalam meningkatkan efektivitas pengawasan dan transparansi sektor perkebunan di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun