Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem perekonomian terbuka yang tidak lepas dalam keterlibatan perdagangan internasional (ekspor dan impor) dengan negara lain (Muqowwi et al 2024). Perdagangan Internasional merupakan aktivitas dalam pemanfaatan sumber daya masing-masing negara dengan melakukan pertukaran barang maupun jasa antar dua negara atau lebih di pasar internasional (Rochmat et al 2017). Hal itu membuat perdagangan internasional menjadi penentu pertumbuhan ekonomi suatu negara (Wulandari dan Saifudin 2019). Setiap negara, termasuk Indonesia, terus berupaya meningkatkan daya saing produknya dengan meningkatkan volume serta mutu ekspor mereka agar lebih efisien dan dapat bersaing di pasar internasional.
Berdasarkan data nilai ekspor Indonesia ke beberapa negara tujuan utama pada tahun 2022 dan 2023, terlihat adanya penurunan di semua negara tujuan. Ekspor ke ASEAN mengalami penurunan dari US$61,111 juta pada 2022 menjadi US$52,732.5 juta pada 2023. Ekspor ke Jepang juga menurun signifikan dari US$24,853.1 juta pada 2022 menjadi US$20,786.2 juta pada 2023. Meskipun Tiongkok tetap menjadi negara tujuan ekspor terbesar, nilai ekspor ke Tiongkok sedikit menurun dari US$65,839.3 juta pada 2022 menjadi US$64,934.6 juta pada 2023. Ekspor ke Amerika Serikat juga mengalami penurunan yang cukup signifikan dari US$28,182.7 juta pada 2022 menjadi US$23,246.8 juta pada 2023. Demikian pula, ekspor ke Uni Eropa turun dari US$23,172.3 juta pada 2022 menjadi US$18,564.4 juta pada 2023.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2024), pada masing-masing sektor, terdapat komoditas utama yang menjadi andalan ekspor di Indonesia pada tahun 2023, yaitu kopi pada sektor pertanian, minyak kelapa sawit pada sektor industri pengolahan, dan batu bara pada sektor pertambangan. Ekspor komoditas dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk luas area lahan dan tingkat produksi (Ronauli dan Arka 2024). Seiring dengan peningkatan luas lahan dan produksi komoditas perkebunan, kebutuhan lahan turut meningkat, yang berkorelasi langsung dengan alih fungsi lahan hutan (Hasibuan 2015). Alih fungsi lahan ini telah terjadi secara luas pada kawasan hutan di Indonesia (Said dan Ifrani 2019).
Alih fungsi lahan berdampak pada deforestasi kawasan hutan, yang didefinisikan oleh KLHK sebagai perubahan tutupan lahan dari kategori berhutan menjadi tidak berhutan. Menurut Wahyuni dan Suranto (2021) perkebunan kelapa sawit di Indonesia menyumbang sekitar 57 persen deforestasi, sementara sisanya disebabkan oleh industri pulp dan kertas. Menurut Global Forest Review, meningkatnya permintaan untuk komoditas pertanian seperti daging sapi, cokelat, kopi, minyak sawit, karet, kedelai, dan kayu telah memicu pembukaan lahan hutan, menyebabkan penurunan besar hutan di berbagai negara, khususnya di kawasan tropis. Untuk menghadapi ancaman ini, Uni Eropa menerapkan European Union Deforestation Regulation (EUDR) guna memastikan bahwa produk yang masuk ke pasar UE bebas dari deforestasi ilegal dan memenuhi standar keberlanjutan.
Regulasi ini menekankan pentingnya hak asasi manusia dan perlindungan masyarakat adat dengan menetapkan standar khusus untuk komoditas yang akan diperdagangkan di Uni Eropa (Kapoor & Klindt, 2023; Regulation (EU) 2023/1115 (48), 2023). EUDR berfokus pada komoditas seperti daging sapi, kopi, minyak sawit, kakao, karet, dan kayu, yang hanya dapat masuk ke pasar Uni Eropa jika diproduksi di area bebas deforestasi sejak 31 Desember 2020, sesuai standar FAO (Food and Agriculture Organization). Selain itu, EUDR mewajibkan perusahaan yang ingin memasok komoditas ke UE untuk memenuhi persyaratan ketat dalam hal penelusuran dan uji tuntas. Perusahaan harus memastikan produk mereka mematuhi hukum negara asal, serta menyediakan informasi yang cukup konkret dan dapat diverifikasi bahwa produk tersebut bebas dari deforestasi (Regulation (EU) 2023/1115 (Artikel 3), 2023). Informasi ini mencakup deskripsi produk, jumlah, negara produksi, geo-lokasi lahan, dan konfirmasi bahwa proses produksi sesuai dengan peraturan di negara asal (Regulation (EU) 2023/1115 (Artikel 9), 2023).
Namun, kebijakan EUDR menghadapi penolakan di berbagai negara karena dianggap sebagai hambatan perdagangan serta beban ekonomi dan administratif. Negara-negara Uni Eropa seperti Austria, Italia, Finlandia, dan Swedia menganggap bahwa peraturan ini akan merugikan sektor pertanian dan kehutanan mereka karena persyaratan ketat yang membebani ekonomi lokal. Di sisi lain, EUDR juga dianggap memberatkan bisnis kecil dan menengah, terutama karena prosedur sertifikasi bebas deforestasi yang rumit dan mahal. Selain itu, persyaratan verifikasi yang melibatkan penggunaan citra satelit dan inspeksi lapangan dinilai terlalu kompleks, menyulitkan negara produsen dengan petani kecil untuk memenuhi ketentuan tersebut (Suradireja, 2024).
Tantangan teknis dalam implementasi EUDR semakin memperburuk situasi, terutama terkait dengan keterlambatan dalam "benchmarking" risiko deforestasi dan pengembangan Sistem Informasi Digital UE, yang seharusnya mendukung pelaporan dan pengawasan. Di samping itu, kebijakan ini memicu ketegangan diplomatik, dengan beberapa negara melihat EUDR sebagai bentuk pemaksaan pasca-imperialisme yang memperburuk hubungan perdagangan dengan Uni Eropa. Persyaratan ketat yang diterapkan oleh EUDR telah meningkatkan biaya dan mempersulit ekspor komoditas, terutama dalam hal ketertelusuran dan legalitas produk, yang berpotensi mengancam keberlanjutan rantai pasokan global (Suradireja, 2024).
EUDR menimbulkan kekhawatiran di negara-negara produsen utama seperti Indonesia dan Malaysia, dengan kritik utama terkait minimnya keterlibatan negara produsen dalam proses penyusunan regulasi dan kurangnya perhatian terhadap kondisi lokal, khususnya bagi petani kecil. Negara-negara ini menganggap EUDR bertentangan dengan prinsip "common but differentiated responsibilities" dalam kesepakatan multilateral dan menciptakan diskriminasi yang bertentangan dengan ketentuan WTO. Sebagai response, Indonesia dan Malaysia, dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Deputi PM Malaysia Fadillah Yusof, berhasil mendorong pembentukan Joint Task Force (JTF) untuk membahas keberatan mereka terhadap regulasi tersebut.
Pertemuan JTF antara Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa membahas lima fokus utama terkait implementasi EUDR, yaitu keterlibatan petani kecil, keselarasan skema sertifikasi, alat ketertelusuran, analisis kesenjangan regulasi, dan perlindungan data pribadi. Untuk mendukung transparansi rantai pasok dan memperkuat posisi ekspor, Pemerintah Indonesia juga sedang mengembangkan National Dashboard, sebuah platform untuk memfasilitasi pelacakan komoditas yang lebih efektif, khususnya dalam memenuhi persyaratan EUDR. Platform ini akan mempermudah akses pasar internasional bagi komoditas utama Indonesia, seperti karet, sawit, kakao, dan kopi.
National Dashboard berfungsi sebagai pusat data yang memastikan transparansi, keberlanjutan, dan kepatuhan hukum dalam perdagangan komoditas internasional. Menggunakan teknologi blockchain, sistem ini menjamin keabsahan data dan ketertelusuran produk, sehingga memastikan asal-usul, volume, dan legalitas produk. Fitur verifikasi lahan bebas deforestasi dan audit tahunan akan memastikan setiap tahap dalam rantai pasok mematuhi persyaratan keberlanjutan dan legalitas yang ditetapkan oleh pemerintah dan pasar internasional, termasuk ketentuan EUDR. Dengan kemampuan pelacakan dari hulu hingga hilir, platform ini diharapkan dapat memfasilitasi ekspor komoditas Indonesia ke pasar global secara lebih efisien dan efektif. Selain itu, National Dashboard akan menjadi sarana untuk menyusun data pertanian Indonesia dengan baik, serta menjadi solusi bagi regulasi negara tujuan ekspor yang mungkin muncul di masa depan.
Sistem Informasi National Dashboard mengintegrasikan prinsip dan kriteria (P&C) serta chain of custody (COC) untuk memastikan keberlanjutan dan kepatuhan terhadap standar lingkungan dan sosial yang ketat. Sertifikasi ISPO diterapkan untuk produk minyak sawit, memastikan bahwa produk tersebut memenuhi standar keberlanjutan nasional. Proses validasi melibatkan QR Code dan database seperti E-STDB dan SIPERIBUN, yang memverifikasi keabsahan petani, perusahaan, dan produk. Interface dashboard tersedia dalam versi desktop untuk perusahaan dan buyer, serta aplikasi mobile untuk petani, memungkinkan pelacakan komoditas dari hulu ke hilir secara real-time, dengan informasi seperti geolokasi lahan dan dokumen legal yang dapat diverifikasi dengan cepat.