Pesatnya kemajuan teknologi yang sedang marak terjadi, pada akhirnya memaksa masyarakat untuk mulai mengotak-ngotakkan segala sesuatu dengan mempertimbangkan tingkat modernisasi yang terkandung di dalamnya. Hal seperti Kebudayaan daerah tentunya tak lagi menjadi pilihan bagi mayoritas masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang berada di daerah perkotaan.Â
Hal ini tentunya disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya ialah karena adanya anggapan bahwa kebudayaan daerah memiliki kaitan yang terlalu erat dengan kata tradisional, sehingga menyebabkan masyarakat berasumsi bahwa nilai yang dimiliki oleh kebudayaan daerah tidak cukup untuk ikut andil dalam persaingan yang terjadi pada era yang penuh akan tantangan revolusi ini. Namun meskipun begitu, ternyata pada akhirnya akan selalu ada ikan salmon yang berenang dengan gerakan melawan arus.
Sebagai seorang manusia, tentunya kita sangat mengerti bahwa ritme dunia merupakan hal yang penting untuk diikuti. Namun, sebagai seorang manusia dan warga negara yang baik, sudah seharusnya kita mengerti kapan ritme itu harus dipercepat, kapan ritme itu harus diperlambat, dan kapan pula kita harus memainkannya secara statis.Â
Sebagai seorang penulis, topik ini tentunya sangat menarik bagi saya untuk diusut. Bukan hanya bisa memperlihatkan kegigihan yang dimiliki oleh suku baduy untuk terus mempertahankan kebudayaannya, tapi pada akhirnya tulisan ini juga bisa memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia akan  selalu menawan dengan segala perbedaan dan toleransi yang kita tunjukkan meski sedang dikungkung oleh sebuah sistem oportunis yang sering kita sebut sebagai Era Revolusi.
Jauh di dalam sebuah provinsi yang berlokasi di bagian barat Pulau Jawa, tepatnya di Kabupaten Lebak, terdapat sebuah suku asli yang terkenal dengan keteguhannya dalam menjaga dan melaksanakan seluruh tradisi nenek moyang. Suku tersebut dikenal dengan nama Suku Baduy, kata "Baduy" sendiri berasal dari Bahasa Arab yaitu Badawi, yang artinya berpindah-pindah.Â
Asal-usul keberadaan Suku Baduy sebenarnya memiliki banyak sekali versi, tapi pada kisah sering kali terdengar, dikatakan bahwa asal-usul Suku Baduy pada akhirnya tidak akan pernah bisa lepas dari keberadaan Kerajaan Pajajaran yang mulanya merupakan kerajaan dengan corak Hindu terbesar di Pakuan, Jawa Barat.Â
Sebagaimana yang telah tertera dalam bukunya, Djoewisno mengatakan bahwa eksistensi Suku Baduy berawal dari sebuah pengasingan yang terjadi saat wilayah Banten mulai dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, yang merupakan salah satu tokoh besar pembawa ajaran agama Islam.Â
Dalam pelariannya, Prabu Pucuk Umun memimpin sejumlah orang untuk melarikan diri ke arah barat Pulau Jawa hingga akhirnya tiba di hulu Sungai Ciujung, di jantung Pegunungan Kendeng atau yang saat ini sering kita sebut sebagai Panembahan Arca Domas atau Petak 13.
Kegigihan Suku Baduy dalam mempertahankan tradisi sudah tak perlu dipertanyakan. Mulai dari membatasi masyarakatnya dari modernisasi, memberi batasan waktu untuk para pelancong yang datang ke daerah dalam, hingga melaksanakan tradisi nenek moyang pun tak pernah mereka tinggalkan.Â
Seperti yang terjadi pada tanggal 27 April tahun 2023, masyarakat Baduy kembali melaksanakan sebuah tradisi adat yang sering disebut sebagai tradisi Seba Baduy. Seba Baduy sendiri merupakan sebuah acara kebudayaan yang dilaksanakan oleh masyarakat suku Baduy dalam rangka menunjukkan rasa syukur mereka kepada alam atas hasil panen yang melimpah. Selain itu, Seba Baduy juga bertujuan untuk menunjukkan wujud nyata dari kesetiaan dan ketaatan mereka kepada pemerintah setempat.
Seba Baduy merupakan tradisi yang dianggap wajib untuk dilaksanakan setelah para penghuni Desa Kanekes, yakni masyarakat Suku Baduy melaksanakan tradisi Kawalu selama tiga bulan, yang kemudian ditutup dengan tradisi Ngalaksa. Dalam pelaksanaannya, masyarakat Suku Baduy akan menempuh perjalanan lebih dari 80 Kilometer dengan berjalan kaki, yakni dari Desa Kanekes, ke Pendopo Kabupaten Lebak, dan di akhiri dengan persinggahan di Rumah Dinas Gubernur Banten.Â