Malam ini, sekitar pukul 18.50, saya mendapat kiriman buku berjudul Semplah Jejeg Nguleg Bawana, Antalogi Parikan dari Bapak Anjrah Lelono Broto, seorang sastrawan Jawa terkenal. Beliaulah yang memiliki ide untuk menulis bersama dalam bentuk parikan dan sekaligus mengoordinirnya.Â
Melalui media sosial, beliau mengajak kepada siapa saja yang berkenan untuk menulis parikan dengan tema bebas. Bagi yang berkenan menulis bersama, karyanya dapat dikirimkan melalui e-mail Komunitas Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LISSTRA) atau melalui WhatsApp beliau.Â
Setelah diseleksi, ada 29 penulis yang karyanya terpilih untuk dibukukan. Alhamdulillah, tulisan saya termasuk yang terpilih untuk dibukukan, walaupun saya merasa kaku ketika merangkai kata, karena hampir 20 tahun saya tak pernah menulis dalam bahasa Jawa lagi.
Di sini saya tidak akan meresensi buku tersebut, tapi ingin membahas tentang parikan dari sudut yang lain. Kebetulan, dulu saya pernah menulis artikel berjudul "Icip-Icip Kasusastran Jawa" yang salah satu babnya membahas tentang parikan.Â
Artikel yang terdiri atas 30 bab tersebut dimuat secara bersambung per dua minggu sekali sebanyak 58 seri di majalah Panjebar Semangat (baca: Panyebar Semangat), sebuah majalah mingguan berbahasa Jawa, mulai 23 Desember 2000 sampai 7 Juni 2003.
Jika pembaca tahu apa itu pantun, maka seperti itulah parikan. Parikan adalah pantun dalam sastra Jawa. Parikan merupakan kumpulan kata-kata yang berirama (bahasa Jawa: purwakanthi guru swara) yang terdiri atas sampiran (bahasa Jawa: pambuka) dan isi (bahasa Jawa: wos atau isi).
Tentang istilah "pantun" dalam sastra Indonesia yang kemudian menjadi "parikan" dalam sastra Jawa, terkadang saya berpikir demikian. Dalam bahasa Jawa, kata "pari" dan "pantun" memiliki arti yang sama, yakni 'padi'. Bedanya, "pari" adalah bahasa Jawa ngoko, sedang "pantun" adalah bahasa Jawa krama.Â
Bahasa Jawa ngoko biasa digunakan oleh teman yang sepantaran umurnya atau teman akrab, sedang bahasa Jawa krama biasa digunakan oleh orang yang lebih muda kepada yang lebih tua usianya, atau dari yang rendah kedudukannya kepada yang lebih tinggi kedudukannya, seperti rakyat biasa kepada lurah, camat, atau bupati.Â
Apakah karena hal tersebut, sehingga istilah "pantun" dalam sastra Indonesia kemudian menjadi "parikan" dalam sastra Jawa? Prosesnya "pantun" = "pari". Kata "pari" ini kemudian berubah menjadi "parikan". Ups! Maaf, ini hanya pikiran nakal saya saja, yang tidak didasarkan pada hasil penelitian.
Dalam sastra Jawa, parikan ada yang disusun menjadi dua baris, ada juga yang disusun menjadi empat baris.
Untuk parikan yang disusun menjadi dua baris, baris pertama merupakan SAMPIRAN, sedang baris kedua merupakan ISI. Baik SAMPIRAN maupun ISI, pada akhir baris harus memiliki irama yang sama. Sebagai misal:
Â
Abang-abang, ora legi           --> sampiran
Tiwas nantang, ora wani        --> isi
(Merah-merah, tidak manis
Terlanjur menantang, ternyata tidak berani)
Sementara parikan yang disusun menjadi empat baris, baris pertama dan kedua merupakan SAMPIRAN, sedang baris ketiga dan keempat merupakan ISI. Untuk parikan yang disusun menjadi empat baris, irama yang harus sama adalah: baris pertama iramanya harus sama dengan baris ketiga, sedang baris kedua iramanya harus sama dengan baris keempat. Contohnya: Â
Sega punar lawuh empal       --> sampiran
segane panganten anyar        --> sampiran
Dadi murid aja nakal           --> isi
kudu sopan ati jembar          --> isi
(Nasi kuning lauk empal
nasi [bagi] pengantin baru
Menjadi siswa janganlah nakal
harus sopan [dan] berlapang dada).
Apa manfaat SAMPIRAN? Manfaatnya adalah untuk menarik perhatian orang yang diajak bicara. Tujuannya agar orang yang diajak bicara tadi memperhatikan apa yang menjadi pokok pembicaraan.
Dilihat dari jumlah suku kata, parikan terdiri atas beberapa bentuk.
1. Parikan yang terdiri atas empat suku kata dan empat suku kata dua kali, misalnya:
Â
Sambel yuyu, kanggo lawuh
Dhasar ayu, sugih kawruh
(Sambal kepiting, untuk lauk
Sudah cantik, pintar pula).
2. Parikan yang terdiri atas empat suku kata dan enam suku kata dua kali, misalnya:
Â
Bisa nggambang, ora bisa nyuling
Bisa nyawang, ora bisa nyandhing
(Bisa memainkan gambang, tidak bisa bermain seruling
Bisa memandang, tidak bisa bersanding).
Â
3. Parikan yang terdiri atas empat suku kata dan delapan suku kata dua kali, misalnya:
Â
Kembang mlathi, warna peni ngganda wangi
Watak putri, kudu gemi lan nastiti
(Bunga melati, berwarna indah harum semerbak
Tabiat perempuan, harus hemat dan berhati-hati).
Â
4. Parikan yang terdiri atas tiga suku kata dan lima suku kata dua kali, misalnya:
Â
Bayeme, wis kuning-kuning
Ayeme, yen wis kesandhing
(Bayamnya, sudah berwarna kuning
Hati tenang, bila sudah bersanding).
Â
5. Parikan yang terdiri atas delapan suku kata dan delapan suku kata dua kali, misalnya:
Â
Esuk-esuk numpak prau
nabrak ombak mingar-minger
Sing padha sregep sinau
supaya dadi wong pinter
(Pagi-pagi naik perahu
menabrak ombak goyang ke kanan goyang ke kiri
Rajin-rajinlah belajar
supaya menjadi orang cerdas).
Setelah mengetahui tentang parikan, mungkin ada yang bertanya, "Bagaimana cara membuat parikan?". Caranya adalah menyusun ISI-nya terlebih dahulu, setelah itu baru menyusun SAMPIRAN-nya. Mengapa demikian, karena ISI-nya itulah yang penting, bukan SAMPIRAN-nya. SAMPIRAN hanya sebagai penarik perhatian.Â
Sebagai contoh, kita ingin menyampaikan pesan, "Aja dahwen, yen kowe kepengin kajen" (jangan suka mencampuri urusan orang lain, jika ingin dihormati). Oleh karena empat suku kata yang depan (aja dahwen)Â berirama "en", dan delapan suku kata yang belakang (yen kowe kepengin kajen)Â juga berirama "en", maka SAMPIRAN-nya juga harus dicarikan kata yang berirama "en".Â
Sebagai misal, empat suku kata yang depan berbunyi "kembang duren", adapun delapan suku kata yang belakang berbunyi "tibane kecemplung kalen". Dengan demikian, parikan tadi selengkapnya menjadi:
Â
Kembang duren, tibane kecemplung kalen
Aja dahwen, yen kowe kepengin kajen.
(Bunga durian, jatuh masuk ke saluran air
Jangan suka mencampuri urusan orang lain, jika ingin dihormati).
Â
Yang disebutkan di atas adalah contoh parikan yang baik, karena jumlah suku katanya sama antara yang tersebut di SAMPIRAN dan ISI. Akan tetapi tidak sedikit parikan yang jumlah suku katanya tidak sama. Parikan yang biasa dipakai untuk mengiringi gending Jawa di bawah ini adalah contohnya.Â
Suwe ora jamu, jamu godhong tela
Suwe ora ketemu, ketemu pisan gawe gela.
(Lama tidak minum jamu, minum jamu daun singkong
Lama tidak berjumpa, berjumpa sekali bikin kecewa).
Tidak sedikit pula parikan yang meskipun jumlah suku katanya sama tiap barisnya, tapi setiap barisnya tidak terbagi menjadi dua seperti contoh di atas, melainkan mementingkan irama pada setiap akhir baris. Sebagai contoh:
Kembang mawar dienggo sawangan
jebul dicoklek bocah kemlinthi
Guyub-rukun nulis bebarengan
dadi buku muga mumpangati
Â
Mancing neng kali entuk gurameh
gurameh ucul kecemplung banyu
Lamun ana nulis bareng maneh
in syaa Allah aku pengin melu.
(Bunga mawar dijadikan hiasan
ternyata dipatahkan [oleh] anak yang banyak tingkah
Bersatu-padu menulis bersama
menjadi buku semoga bermanfaat
Memancing di sungai mendapatkan gurameh
gurameh lepas tercebur ke air
Bila ada menulis bersama lagi
In syaa Allah saya ingin ikut).
Apakah parikan masih digunakan orang sampai saat ini? Jawabnya, masih. Hanya saja, parikan lebih banyak digunakan di dunia seni dan sastra daripada digunakan dalam percakapan sehari-hari. Lihatlah di youtube, parikan kadang dibawakan oleh penari remo dari Jawa Timur. Dalam kesenian Banyumas terkadang juga ada parikan-nya.
Mangan srabi ing dina riaya
paling enak yen disiram santen
Cekap semanten atur kawula
menawi lepat nyuwun ngapunten
(Makan serabi pada hari raya
paling enak bila disiram santan
Demikianlah apa yang saya sampaikan
jika ada yang salah, mohon dimaafkan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H