Â
Pagi yang memukau. Matahari belum sepenuhnya muncul, namun bercak sinarnya seleret jingga melukis langit.
Lembayung itu bagai selendang panjang, kemerahan menoreh angkasa musim gugur Norwegia utara. Alam raya seolah puisi, liris menyambut terbitnya mentari.
Â
Menyusuri jalanan lengang, bus putih tunggangan melaju menuju bandara. Menjelang siang ini, rombongan Lofoten tur dengan pesawat domestik akan terbang kembali menuju Oslo, ibukota.
Bus melenggang santai. Di sebelah kiri adalah lautan luas, dinaungi trontong - trontong jingga di angkasa. Awan putih kelabu dampyak - dampyak mengambang, menutup sebagian warna jingga. Panorama lukisan abstrak raksasa.
Di depan, nampak gugusan pegunungan liar, Â nampak sepi. Sebagian puncak - puncaknya diselimuti putih salju, menawan. Bagai ice cream raksasa bertopping susu kental.
Larut dalam panorama pagi yang segar, cantik nan mempesona. Pikiran melayang, mengenang kembali penjelajahan dua hari di Lofoten yang terasa terlalu cepat berlalu. Asyik menikmati ikon baru wisata Norway.
Dua hari di Lofoten adalah momen menikmati pelancongan dengan nuansa berbeda. Wisata alam dan pemukiman nelayan cantik. Dengan rumah - rumah dan bangunan colourful. Bagai bunga - bunga musim semi yang mekar menempel, dan teronggok di bukit dan pulau karang.
Adakalanya kita merasakan saat mengalami suasana batin paceklik seni. Hidup berjalan tak ada indah - indahnya.
Dua hari kemarin di Lofoten, terasa sebagai masa panen seni dan keindahan. Menikmati pertunjukan teater alam liar tak biasa.
Sejatinya penampilan tujuan - tujuan wisata di Lofoten itu nyaris mirip, walau sebenarnya berbeda juga. Yaitu panorama gunung karang putih kecoklatan yang nampak sangar. Menjulang bagai gugusan menara mencongklak muncul dari kedalaman laut Norway. Gunung liar dipadu dengan laut bergelombang yang dingin, dalam dan misterius. Dilingkungi pula desa - desa nelayan, dengan deretan rumah kayu berarsitektur tradisional berwarna mencolok.
Itulah kira - kira panorama yang kita nikmati dua hari itu.
Hari pertama, matahari belum menampakan batang hidungnya kami telah meninggalkan hotel. Naik bus menuju destinasi yang pertama. Yaitu desa A, yang konon adalah pemukiman yang berada di titik paling barat negara Norwegia.
Empat puluh lima menit meninggalkan hotel, bus menepi untuk toilet stop. Sebagaimana wifi, keberadaan toilet adalah salah satu kebutuhan utama para wisatawan. Insan turis dimanapun pasti memikirkan serius keberadaan toilet umum untuk para pelancongan.
Kebanyakan toilet umum di Norway dibangun saksama. Artistik, modern dan tak berbayar sebagaimana di negara - negara lain di Eropa.
Walaupun nanti saat berada di salah satu taman di Oslo, kami akan ketemu dengan toilet berbayar yang termahal di dunia. Dua dolar USD atau dua Euro sekali masuk. Tiga puluh ribu rupiah lebih untuk satu pengunjung menggunakan toilet. Luar biasa, mahal sekali.
Toilet gratis ini berada di pantai yang cantik. Usai toilet time, rombongan Lofoten tak melewatkan kesempatan untuk berfoto spit cantik berlatar belakang laut dan gunung karang yang berdiri megah.
Saat bus beranjak meneruskan perjalanan, rintik hujan turun. Rintik syahdu semoga tak lama berlangsung.
Meluncur tak berapa lama, setelah melewati jembatan melengkung di atas perairan, bus menepi.
Kami turun di desa nelayan Hamnoy. Inilah salah satu foto spot paling fotographic di Norway. Yang sering menjadi cover utama dari pamflet wisata. Atau video vlog perjalanan Lofoten.
Walau masih rintik hujan, berpayung kami turun bus dan antusias berfoto. Berjalan ke bawah mencari titik ter oke berlatar belakang gugusan gunung karang tinggi, deretan rumah - rumah kayu bercat merah di tepian laut yang mepet di kaki gunung. Dan padang savana berwarna kuning kecoklatan.
Dengan latar belakang yang elok dan gadget - gadget berkamera canggih, maka hasil foto yang cantik dan mampu bercerita, akan ditentukan oleh sudut angle, komposisi dan strukturnya.
Kami beruntung. Saat berfoto - foto rintik hujan mereda. Setelah puas bergaya, kami meninggalkan Hamnoy melanjutkan perjalanan. Lega gambar kenangan telah tersimpan.
Tak berapa lama meluncur kami telah tiba di desa nelayan A. Desa yang konon adalah titik paling barat negara Norway. Selain sebagai desa nelayan, wilayah ini juga dikenal sebagai kawasan home industry untuk kapal - kapal nelayan kecil.
Penampakan A dan Reine, desa tujuan kami yang berikutnya hampir mirip. Yakni rumah - rumah kayu khas warna merah yang berderet cantik di tepian laut.
Di A, foto spot yang paling sering difoto adalah plang desa ini. Yaitu huruf A yang dilukis artistik di gardu kecil. Pengunjung pasti akan berfoto di titik itu.
 Â
Sedangkan di desa Reine, selain tempat untuk mencoba kulineran asli Norway, kita bisa pula berbelanja outfit made in Norway. Antara lain yang bermerk Scandinavian Explorer, berupa Jaket, jas hujan, sweater dll. Yang tampilan dan materialnya nampak lebih Chic kalau dibanding dengan barang - barang sejenis made in China yang bertebaran di Norway.Usai makan siang dan belanja di Reine, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Nusfjord. Yaitu pemukiman nelayan di teluk fjord. Yang lagi - lagi kita bertemu panorama dan rumah - rumah cantik. Bedanya kalau di Nusfyort warna kuning yang mendominasi. Walaupun banyak juga resort - resort berwarna merah bertebaran artistik di atas karang tepi laut.
Lepas azar menjelang gelap, kami kembali ke hotel, bertambah pengalaman baru. Hasil meresapi dan menikmati nuansa serta penampakan visual wajah tradisional Norway. Yang eksis terbangun dan terpelihara sejak ratusan tahun yang lalu.
Sebelum baring di hotel tepi laut, tak lupa saya minum kapsul pengencer darah dan obat kolesterol. Tadi makan siangnya daging rusa cukup besar. Biasa berjaga - jaga.
   Â
             *******
Hari kedua di Lofoten. Ada dua agenda utama hari ini. Pertama mengunjungi kota kecil Henningsvaer di ujung pulau. Yang memiliki spot telah viral, mendunia. Yakni stadion sepak bola di atas karang yang seolah mengapung di laut ganas.
Dan agenda kedua adalah ke kota Svolvaer yang terkenal dengan keindahan alamnya, walaupun sejatinya semua alam raya di Lofoten itu nampak indah.
Di Svolvaer ada agenda tambahan yang akan diikuti oleh beberapa peserta termasuk saya dan istri, yaitu Eagle Watching. Dimana kita akan berperahu. Melaut diantara pulau - pulau liar cantik. Dengan puncak acara adalah melihat dari dekat Elang - elang laut berburu ikan di laut lepas. Agenda yang terdengar begitu mendebarkan.
Menuju Henningsvaer, saya teringat pameo dari seorang wisatawan kawakan. Yang mengatakan bahwa, sometimes in the journey destination is the journey itself. Memang perjalanan menuju Henningsvaer adalah serangkaian tujuan wisata yang sambung menyambung.
Sepanjang perjalanan, bus menyusur di tepian pantai yang nampak ganas bergelombang di sisi kanan. Sedangkan di sisi kiri adalah masif dinding karang menjulang tinggi dengan tekstur permukaannya yang kasar dan kuat. Liar namun indah, jangan sampai tertidur melewatkan sineri ini, rugi.
Akhirnya kami sampai di kota Henningsvaer. Langit kelabu saat kami berleha - leha santai berjalan kaki di kota yang rapi, sepi ini.
Tersuruk - suruk di bawah rintikan hujan tipis, akhirnya stadion bola yang konon berada di titik paling utara benua Eropa itu kami temukan.
Apakah benar bahwa stadion ini berada di titk paling utara Eropa? Saya kira tidak benar. Karena kalau kita melihat peta, masih ada wilayah berpenduduk yang lebih utara dari Norway. Yakni negara Islandia dan juga pulau - pulau berpenduduk di wilayah kerajaan Denmark.
Stadion ini unik dari sisi lokasinya. Di atas karang yang menjorok ke laut liar. Tetapi keunikan ini akan terlihat sempurna kalau kita bisa menerbangkan drone di sini. Dengan potret hasil drone stadion Henningvaer akan terlihat unik, istimewa dan berbeda. Sayang rombongan kamu tidak ada yang membawa drone.
Berjalan berkeliling, diterpa sedikit angin dan gerimis kecil, tak mengurangi antusiasme kami untuk menikmati kecantikan suasana kota. Gedung - gedung kantor, perumahan, jembatan, lorong - lorong, plasa dan alun - alun. Serta tentu saja dermaga - dermaga rapi dan desa nelayan. Serba cantik dan fotograpic.
Di jantung kota, kami menemukan resto Jepang bernama Sakura. Yang  sangat recommended, terutama bagi yang kangen nasi. Menu Jepang enak yang disajikan oleh para pramuniaga bule.
Â
Namun sayang ada telpon ke Anthony. Yang mengabarkan agenda Eagle watching yang mendebarkan itu batal. Karena kondisi cuaca sedikit ekstrim. Tidak memungkinkan perahu untuk melaut. Ombak terlalu besar untuk ukuran kapal yang akan kita gunakan.
Ini adalah kondisi force majeur yang terkadang terjadi dalam perjalanan wisata. Apa boleh buat. Menghadapi kondisi seperti ini pasti harus memilih safety first. Keselamatan dan keamanan yang utama, walau sedikit kecewa.
Membolak balik brosur yang saya temukan tentang program ini, saya berimajinasi. Membayangkan terapung - apung di laut lepas, berperahu diantara pulau - pulau kecil terjal. Â
Dan di tengah laut menyaksikan Elang - elang beringas itu terbang, menukik dan menyelam ke pedalaman samudera. Dan sejenak kemudian muncul dari laut, terbang kembali ke udara. Di cakarnya tercengkeram ikan besar hasil buruan.
Tiba - tiba imajinasi terhenti. Michael membunyikan klakson beruntun - untun. Tidak seperti biasanya.
Rupanya bus telah sampai di bandara kecil Evenes. Kami akan segera terbang dari bandara ini menuju Oslo, ibukota Norwegia.
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H