Mestinya kembali ke Narvik naik bus. Ternyata kami harus kembali ke Narvik dengan kereta ini juga. Terinfo, disatu titik salju turun terlalu lebat. Jalanan tertutup. Bus Michael tak bisa melanjutkan, harus berbalik kembali ke Narvik.
Naik Arctic turun ke Narvik, saya tetap duduk di sisi kiri.
Di sisi ini, panorama memang tidak sedramatik sisi satunya. Namun hamparan putih semata yang melumuri bukit, bebatuan, padang dan perairan menyajikan lanskap begitu fantastik. Apalagi saat kereta melewati rumah kayu berwarna merah yang bertengger di atas karang. Indah...
Menikmati view putih, sambil membayangkan tahun - tahun 1939 - 1940, saat kereta api menyusuri jalur ini juga, mengangkut jutaan ton bijih besi. Dari stasiun Kiruna, Abisko turun ke Narvik. Lalu butiran curah coklat kehitaman itu dibawa ke pelabuhan Narvik.
Dari Narvik, dengan kapal curah atau tongkang besar, iron ore itu dilayarkan ke port of Hamburg atau Bremenhaven. Selanjutnya didistribusikan ke pabrik - pabrik seantero Jerman. Sebagai komponen utama pabrik Panzer, kapal selam, pesawat udara, meriam, pisau komando dan senjata - senjata pembunuh lainnya yang masif diproduksi saat itu. Untuk berperang total.
Kengerian perang. Homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lain.
Akhirnya sekitar pukul 14.00 kami kembali tiba di stasiun Narvik. Perut kelaparan, lanjut makan siang menu lokal.Â
Usai makan siang, rombongan meneruskan perjalanan ke kota Abisko, Swedia. Yang berjarak kurang lebih 40 km dari Narvik.
Ke luar kota bus menanjaki pegunungan. Melaju di jalanan yang seolah membelah lautan salju. Dataran luas, yang sejauh mata memandang putih semata.