Mohon tunggu...
Gigih Mulyono
Gigih Mulyono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Musik

Wiraswasta. Intgr, mulygigih5635

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Reunian dan Pelancongan Yogya Solo #12

8 Oktober 2022   15:05 Diperbarui: 8 Oktober 2022   16:19 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


 

Gunung Merapi memiliki berbagai wajah dan perangai. Gunung berapi aktif ini acap meletus dengan berbagai magnitute. Letusan penyebar bencana. Namun diiringi dengan anugerah, berkah bagi masyarakat sekitarnya.

Menebar abu kesuburan, mengirim basirkil (batu, pasir, kerikil) dalam jumlah sangat besar. Yang akan ditambang dan diangkut ratusan truk disaat Merapi sudah tenang dan lerem. Basirkil yang menjadi material utama untuk segala macam pembangunan.

Gunung Merapi seperti manusia. Memiliki sisi terang dan sudut gelap bagi liyan.

Perut gunung, selain menyimpan magma sangat panas juga sebagai rongga telaga penampung air bersih melimpah. Air hujan dari langit masuk perut gunung. Tersaring bebatuan dan berbagai kristal menjadikannya jernih, segar dan sehat.

Lalu muncrat kembali ke permukaan melalui mata air. Mengalir berbentuk sungai. Sumber Alam untuk irigasi pertanian dan kebutuhan penghidupan masyarakat lainnya. Wilayah sekitar Merapi menjadi subur dan penduduknya berkecukupan dengan berladang dan bertani.

Merapi memang memiliki berbagai wajah dan perangai. Setiap pagi ke sekolah mengontel sepeda pelan, saya mengagumi gunung sangar spektakuler karya Tuhan yang menjulang di depanku, jauh disana.

Tiga tahun di SMP TanPabrik adalah masa mulai mengenal berbagai hal baru. Melalui sekolahan dan juga pergaulan. Pembelajaran masa remaja di kota kecil ini menumbuhkan berbagai khayal dan harapan masa depan.

Mendapatkan pembelajaran dari banyak guru yang membuka dan memperluas wawasan. Dan bergaul dengan banyak teman baru dari berbagai latar belakang lingkungan, membuka cakrawala realitas hidup. Yang ternyata tidak sederhana.

Di masa SMP ini, dengan teman baru mulai mengenal dan menikmati genre musik baru. Yaitu Rock. Yang sebelumnya tak pernah terdengar.

Musik rock yang kala itu oleh majalah musik mainstream Aktuil terbitan Bandung, disebut musik Underground, bawah tanah. Disebut juga Rock keras atau Hard Rock.

Kala itu yang merajai, jawara musik bawah tanah adalah grup band antara lain Deep Purple, Led Zeppelin, Uriah Heep, Grand Funk Railroad, dsb. Gun n Roses, Metalica, Dream Theatre, White Snake, Bon Jovi belum lahir.

Masih teringat, kalau sekolah bubaran lebih awal karena kosong - kosong artinya guru yang seharusnya tugas mengajar sedang berhalangan -, kami beberapa teman sekelas ngumpul di rumah almarhum Agus Narjo, anaknya pak lurah. 

Bersama Agus, Mulyatno, Ary Budi, Siswanto saya menikmati lagu - lagu keras itu. Yang mengalun melalui pita cassette jadul masa lalu.

Sejak itu hard rock menjadi klangenan. Sering pula membayangkan, diri ini membawakan lagu rock kencang di panggung.

Smoke On The Water, Highway Star, Black Dog, Some One, July Morning, Venus, Black Night, dsb menjadi lagu yang tak terlewatkan saat kami berkumpul.

Meskipun hard rock dari negeri Manca  begitu merasuk, namun kami juga mengikuti perkembangan grup musik dalam negeri.

Di awal 1970 an, blantika musik Indonesia memiliki beberapa jawara hard rock kampiun. Antara lain grup Rollies dari Bandung, AKA Surabaya. Dan Terncem, band rock kota Solo.

Masa SMP itu grup Terncem ( Teruna Cemerlang) beberapa kali manggung di kota kecil kami. Saya selalu tak ketinggalan dan tak berhenti terpesona akan aksi panggung mereka.

Pertunjukan yang komplit. Tata panggung dibuat redup, muram. Dilengkapi dua batang pohon pisang asli yang diangkut dan tegak di panggung. Menaungi terbelo atau peti mati kayu coklat kehitaman yang menggelegak dibawahnya.

Kala para pemain Terncem muncul di panggung, tepuk tangan dan teriakan meriah berhamburan di gedung Mardi Rahayu Kidul pasar.

Para musisi ceking, berambut gondrong, bercelana cutbray ditopang sepatu berhak super tinggi, berloncatan. Dan garang menggebrak tanpa basa basi langsung memainkan komposisi rock yang mengaum, meraung - raung. Penonton berlonjakan, heboh.

Satu nomor terakhir dari salah satu show yang sangat berkesan dan sampai sekarang masih terkenang. Saat lead vokalis Terncem membawakan Child In Time lagu hit Deep Purple. 

Pembuka lagu adalah ketukan keyboard satu - satu. Ketukan pelan magical, seolah bunyi dari dunia lain. Hening, penonton larut, melayang. 

Sweet child in time, 

You'll see the line, 

The line that drawn between good and bad, 

See the blind man, 

Shooting at the world, 

.............. 

Lagu panjang berdurasi 10 menit lebih itu seolah menuntun penonton menyusuri lorong misterius. Lalu mendaki menuju puncak. 

Pada akhir adegan klimak, nada Child In Time meninggi dan berulang. Irama menusuk, jeritan sang vokalis melengking, menyayat pedih. Lampu berkejab - kejab ritmis menyilaukan. Asap tipis buatan melayang - layang di panggung.

Vokalis berteriak semakin meninggi. Seolah trance melangkah sempoyongan, terhuyung - huyung. Dan membuka peti mati. Diiringi lengkingan tinggi gitar yang tercabik - cabik, vokalis itu meloncat masuk peti mati.

Empat crew naik, menutup peti mati dan mengangkat mengusung. Berkeliling panggung dengan langkah pelan, kaki terangkat tinggi seolah menghindari ranjau yang tersebar disekitar.

Iringan musik semakin menggila. Penonton di gedung berpendingin kipas angin itu tercekat, menganga.

Tiba - tiba gedobrakan bertalu. Vokalis Terncem menggedor - gedor dinding kayu peti mati dari dalam.

Saat asap semakin tebal ruangan pengap, musik semakin menggila. Sebercak sinar menyorot fokus ke para pengusung terbelo. Tiba - tiba para pembopong jatuh tersungkur. Peti mati terlontar jatuh, pecah.

Vokalis meloncat keluar dari peti mati yang tergeletak miring. Lalu berlari dan berdiri, menjadi siluet hitam menakutkan dibawah dua batang pisang.

Lampu bergerak menyorot. Wajah vokalis itu telah berubah pucat keputihan. Menangkupkan kedua telapak tangan di dada. Mengecup kedua telapak tangan, dan melemparkan benda maya ke arah penonton. Seolah salam perpisahan. 

Musik meraung.. lampu panggung mati.. fade... pertunjukan berakhir.

Inilah salah satu momen aksi panggung musik rock yang sampai saat ini masih saya kenang. Melebihi memori saya saat nonton aksi klimak Santana, Four Play atau yang lain saat show di Java Jazz Jakarta.

berlanjut

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun