Â
Rio de Janeiro adalah bahasa lokal Brazil yang berarti sungai Januari. Ketika bulan Januari tahun 1502 armada Portugis pertama kali tiba di teluk Guanabara, para awak kapal mengira perairan ini adalah sungai yang sangat besar. Orang orang Portugis memberi nama wilayah ini sungai Januari atau Rio de Janeiro. Untuk memudahkan mereka mengingatnya.
Rio de Janeiro menjadi ibukota pertama Brazil sejak merdeka dari Portugis tahun 1888. Sebelum akhirnya tahun 1960 ibukota dipindahkan ke kota baru dengan nama yang sama dengan nama negara Samba, kota Brasilia.
Dewasa ini Rio dianggap sebagai kota pusat seni, budaya dan pariwisata. Namun sebenarnya Rio juga dikenal sebagai kota sepak bola.
Pagi ini rombongan Latam bersiap meninggalkan hotel di tepi Copacabana beach. Menuju stadion bola  Maracana. Stadion bola terbesar di negeri ini.
Maracana adalah stadion sepak bola kebanggaan kota Rio dan juga Brazil. Terletak di pinggiran kota sisi lain dari pantai Copacabana.
Pada saat diresmikan dan dipergunakan pertama kali tahun 1950, stadion berkapasitas 199 ribu tempat duduk lebih ini menjadi stadion bola terbesar di dunia. Entah dengan alasan apa kini kapasitasnya telah berkurang, menyusut hanya menjadi 78 ribu lebih. Sedikit lebih besar dibanding gelora Bung Karno Jakarta, yang berkapasitas 77 ribu lebih sekian.
Meluncur dekitar 40 menit sampailah bus tumpangan di stadion megah, sakral dan legendaris ini.
Stadion berwarna kelabu ini telah menjadi saksi bisu dari berbagai momen emosional nan mencekam. Momen momen histeria kegemparan saat menjadi juara. Juga momen hujan air mata, tangisan sedih tak percaya sebagai yang tersingkirkan.
Tujuh puluh tahun sudah stadion ini berdiri tegak.Tak goyah, tetap membisu menyaksikan sekian banyak kampiun berpesta. Juga menatap sekian banyak pecundang meratap. Maracana hanya arena, saksi bisu tak punya rasa.
Saat pertama kali dipergunakan tahun 1950 untuk laga final piala dunia. Maracana telah menjadi saksi ambruknya langit negeri Samba. Tangisan bangsa Brazil dan penggemarnya di seluruh dunia yang tumpah, jalaran laga yang berlangsung di stadion ini. Momen yang disebut Maracanazo, tamparan Maracana.
Pertandingan terakhir final piala dunia 1950, antara Brazil dan Uruguay. Dipenuhi 204 ribu penonton melebihi kapasitas normalnya. Menjadi rekor jumlah penonton sepak bola terbesar sepanjang masa.
Tidak seperti sekarang, tahun 1950 finalis piala dunia terdiri dari 4 negara. Brazil, Uruguay, Spanyol dan Swedia. Mereka saling bertanding. Pengumpul nilai tertinggi dan tak terkalahkan bakal menjadi juara.
Spanyol dan Swedia bertanding memperebutkan posisi ke tiga. Sedangkan laga terakhir Brazil dan Uruguay memperebutkan juara pertama.
Kala itu Brazil berada di posisi pemuncak. Dalam laga grup finalis, Brazil telah mengalahkan Spanyol dan Swedia dengan skor telak. Sedangkan Uruguay di posisi kedua. Sebelumnya mengalahkan Swedia skor tipis dan bermain imbang dengan Spanyol.
Untuk menjadi juara piala dunia 1950 yang pertama kali, Brazil hanya perlu bertanding imbang dengan Uruguay. Hampir semua analis bola memperkirakan, pada malam final itu Brazil bakal unggul dan menjadi juara. Brazil begitu dominan dan sangat optimis kala itu.
Siang itu warga Rio telah menggelar karnaval pembuka kemenangan di jalanan kota. Dengan spanduk spanduk bertulis Brazil pasti juara, Brazil harus juara. Meneriakan yel yel optimisme kemenamgan. Warga Brazil tak sabar menyongsong takdir cemerlangnya, mengangkat piala dunia malam nanti.
Terminologi bola itu bundar yang menunjukan ketidak pastian dalam pertandingan sepak bola terjadi. Malam itu, Dewi Fortuna dewi keberuntungan melayang bertandang di stadion Maracana. Ikut campur tangan  memporak porandakan tetek bengek analisa. Menumbangkan segala skill, strategy dan dukungan ratusan ribu supporter Brazil. Brazil takluk.
Uruguay tim tak diunggulkan menang 2 - 1. Brazil tim yang diunggulkan dengan kostum keberuntungannya Kuning Biru tumbang menelan kekalahan.
Langit Rio runtuh, langit Brazil rubuh. Hujan air mata, banjir kekecewaan. Warga Brazil terdiam, batal mencium piala dunia yang pertama. Dukacita panjang.
Pesta, karnaval, tarian, nyanyian, musik yang telah dipersiapkan batal digelar. Akumulasi kekecewaan berujung pada mencari kambing hitam.
Adalah Moacir Barbosa yang berwajah mirip Eddie Murphy kiper timnas Brazil. Pemuda berkulit hitam ini adalah kiper terbaik Brazil di dekade 1940 - 1950. Kiper pujaan.
Namun kekalahan di final piala dunia malam itu pada bulan juli 1950 di usianya yang ke 29 tahun merubah nasibnya hingga akhir hayatnya di tahun 2000 usia 79 tahun.
Barbosa menjadi sasaran kekecewaan dan kemarahan. Biang kerok kegagalan dan kambing hitam kekalahan.
Warga biasa, pengurus bola, aparat pemerintah, pers menyalahkan dan menjauhinya. Nasibnya berubah, dari pemuda yang dipuja menjadi parasit yang disalahkan.
Selama lima puluh tahun Barbosa mendapat persekusi, di bully karena kekalahan itu. Barbosa menjadi simbol sial, unlucky. Dunianya terbalik, demikian pula nasibnya.
Di usia menjelang ajal Barbosa menulis memoar. Antara lain dengan pedih menuliskan, Lebih dari 40 tahun aku dipersalahkan atas perbuatan yang tidak pernah kulakukan. Itu semua kekalahan tim bukan hanya kekalahan Barbosa. Itu adalah kesialan tim dan kesialan Brazil.
Terlepas dari terjadinya Maracanazo, tamparan Maracana 1950 momen kelam yang tak terlupakan. Sampai saat ini Brazil adalah negeri yang paling banyak memenangkan Piala Dunia. Lima kali menjadi juara dunia. Dibawahnya mengekor Jerman dan Italia. Masing-masing empat kali juara dunia.
Adalah Pele, pemuda miskin berusia 17 tahun dari wilayah Sao Paolo yang merubah wajah sepak bola Brazil di kancah dunia. Pele tiga kali memperkuat tim Brazil meraih piala dunia, tahun 1958, 1962 dan 1970. Sedangkan 2 yang lain diraih tahun 1994 dan 2002. Semua piala dunia Brazil diperoleh di negeri orang. Belum pernah dimenangkan di negeri sendiri.
Siang itu rombongan Latam Tur berdiri di depan stadion Maracana yang sepi. Hanya puluhan pengunjung bertandang.
Pak tua latino penjual souvenir satu satunya menggelar lapak di depan patung kebanggaan. Patung penanda Brazil sebagai kampiun piala dunia yang digagas Jules Rimet tahun 1929 itu.
Pak tua menaruh replika piala dunia tembaga keemasan di depan patung. Setiap pengunjung bisa mengangkat atau mencium piala replika untuk berfoto. Dan meninggalkan lembaran Real Brazil sekedarnya.
Usai berfoto foto di  depan stadion, rombongan Latam tur meninggalkan Maracana stadium. Menuju Kathedral Metropolitan kota Rio yang unik.
Tidak seperti kebanyakan kathedral di Eropa yang bergaya Renaisance, Baroq, Art deco, Orthodok atau gaya aneh seperti gereja Sagrada Familia di Barcelona karya Antoni Gaudi, kathedral Metropolitan ini memiliki arsitektur yang lain daripada yang lain.
Masif berbentuk Piramida kuil suku Maya, gereja bergaya post modern ini tegak menjulang ikonik di langit kota Rio.
  bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H