3. Gifu
Meninggalkan kota tua Kyoto, kota Budaya dan ibukota Jepang ke dua. Ibukota setelah Kobe dan sebelum Edo atau Tokyo. Matahari telah lengser ke Barat.
3.1 OTW ke Gifu
Bus menuju kota Gifu. Kami akan menginap semalam di kota itu. Besok pagi melanjutkan perjalanan ke destinasi unik lainnya. Desa tradisional Jepang, Shirakawago. Desa yang telah mendapat stempel  UNESCO, sebagai warisan Dunia. Sebagaimana kuil kuil di Kyoto yang telah kami kunjungi hari ini.
Senja kala, Bus meluncur di high way Jepang yang lega, mulus dan nyaman. Matahari tersaput kabut kelabu. Terkadang muncul terang, lalu redup teraling awan. Mirip kehidupan kita, gembira dan galau silih berganti.
Bahkan terang dan redup pun menyimpan keindahannya masing masing. Tergantung seaktif apa kita bisa membukakan hati yang lapang dan menghidupkan pikiran positif.
Bus meluncur nyaman, udara sejuk menyertai. Teman teman rombongan sebagian besar beristirahat, terlelap. Saya mencoba bertahan, memicingkan mata. Menikmati senjakala mempesona, dari jendela Bus.
Melewati pegunungan dan lembah lembah. Hutan Sungai. Mereka berpadu menjadi sajian Alam yang sungguh Harmonis serasi. Semua adalah ciptaanNya
Persawahan menghampar siap digarap, untuk menghasilkan kualitas beras terbaik di dunia. Pesaing terdekat kualitas beras Jepang yang hebat adalah beras Thailand.
Melihat persawahan yang luas senja ini, pikiran melayang ke dunia perberasan di Tanah Air. Perjuangan untuk Swa Sembada yang terus diupayakan. Kalau dari sisi kualitas, sebenarnya ada produk beras unggulan di Indonesia yang bisa disandingkan dengan Jepang dan Thailand. Paling tidak ada tiga sentra penghasil beras berkualitas.Beras Rojolele dari Klaten, atau tepatnya kecamatan Delanggu.Â
Beras Cianjur di kawasan Puncak Jawa Barat dan Beras dari kota Solok, Sumatera Barat. Tiga kawasan itu adalah pemasok beras enak berkualitas. Sayangnya, tanaman tanaman padi varietas unggul itu rata rata tidak tahan hama. Hama ini yang menyebabkan pasokan di pasar sangat terbatas, bahkan langka. Kalaupun banyak ditemui, terkadang hanya sebatas merk saja. Sehingga kebutuhan beras enak banyak dipasok dari Jepang dan Thailand.
Tentunya ini menjadi bahan pembelajaran, bagaimana Jepang dan Thailand itu bisa mengelola proses manajemen perberasan dengan baik. Sejak dari penyiapan dan pengolahan tanah, penyediaan bibit. Penanaman, pemeliharaan termasuk mengatasi serangan hama terhadap varietas varietas unggul. Pengairan, pemupukan. Sampai panen, penggilingan, penyimpanan.Â
Dan juga tak kalah pentingnya, yaitu pemasaran, distribusi dan penjualan. Bagaimana pengelolaan terpadu itu bisa membuat petani sejahtera. Bisa membiayai hidupnya dan menyekolahkan anaknya dari hasil bertani. Mendengarkan cerita petani jaman sekarang, yang sering terdengar adalah keharuan.
Tidak berlebihan, seandainya Pemerintah kita memiliki Badan Riset khusus tentang perberasan. Berupaya menyempurnakan kualitas dan tata kelola perberasan. Bisa mewujudkan, profesi petani beras tidak hanya sangat dibutuhkan. Namun juga bisa membuat petani sejahtera.
Matahari kembali muncul, permukaan air sawah luas memantulkan bercak bercak jingga. Membentuk lukisan dan penampakan senja nan elok. Paduan Langit, air, sawah, dan rumah Jepang cantik di tengahnyaKeindahan dan keasrian Jepang ternyata tak lepas juga dari paradok. Cerita Paradok itu diperoleh dari banyak kenalan Ekspatriat Jepang di tanah air. Khususnya di Jakarta. Cerita saat setiap kali mereka purna tugas dan akan kembali ke Jepang. Sering terjadi momen keharuan dan kesedihan. Tak jarang pula disertai tangisan.
Agak paradok, mestinya mereka para Ekspatriat itu senang kembali ke negaranya yang makmur, tertib, aman, indah. Masyarakatnya yang saling menghargai, menghormati. Namun ternyata mereka merasa enggan dan  berat untuk meninggalkan Indonesia.
Selidik punya selidik, bagi orang Jepang rupanya ada beberapa kemewahan yang bisa mudah mereka nikmati di Indonesia. Tetapi sulit ditemukan di Jepang.
Di Indonesia, mereka gampang menghuni rumah besar dengan sewa terjangkau. Memiliki sopir mengantar kemanapun mereka pergi. Di rumah bisa menggaji satu dua pembantu dengan anggaran miring. Fasilitas olah raga, hiburan, belanja komplit dengan harga jauh dibawah harga dari negaranya. Â Kemudian dan barangkali yang terutama, adalah persaingan dan tuntutan kerja di Indonesia yang tidak seberat di negaranya. Baik dari sisi waktu, performa maupun tata kelola yang harus diikuti.
Cerita ini menjadikan Wisdom lama Jawa terkonfirmasi. Wisdom yang mengatan, urip iku sawang sinawang. Hidup itu saling memandang dan membandingkan. Memandang orang lain dari sisi enaknya saja, tidak melihat sisi susahnya. Memandang hidup sendiri dari sisi susahnya saja. Membuat orang sering kurang bersyukur.Hidup di Jepang atau Indonesia sebenarnya esensinya tentu sama saja. Ada sisi enaknya dan juga tidak enaknya. Semua itu tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Ken pemandu kami kemarin bilang, kalau pensiun nanti dia ingin kembali dan hidup di Penang, Malaysia. Tidak begitu merinci apa alasannya. Rupanya Ken merasa, hidup di kampung halaman di masa tua akan lebih enak daripada di rantauan.
Dibuai suasana senja yang syahdu, pikiran mengabur. Mata memberat ngantuk. Namun sebelum benar benar terlelap, tiba tiba Ken bicara. Sebentar lagi kita akan sampai di Hotel. Di kota Gifu. Kembali terjaga.
   Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H