Tentunya ini menjadi bahan pembelajaran, bagaimana Jepang dan Thailand itu bisa mengelola proses manajemen perberasan dengan baik. Sejak dari penyiapan dan pengolahan tanah, penyediaan bibit. Penanaman, pemeliharaan termasuk mengatasi serangan hama terhadap varietas varietas unggul. Pengairan, pemupukan. Sampai panen, penggilingan, penyimpanan.Â
Dan juga tak kalah pentingnya, yaitu pemasaran, distribusi dan penjualan. Bagaimana pengelolaan terpadu itu bisa membuat petani sejahtera. Bisa membiayai hidupnya dan menyekolahkan anaknya dari hasil bertani. Mendengarkan cerita petani jaman sekarang, yang sering terdengar adalah keharuan.
Tidak berlebihan, seandainya Pemerintah kita memiliki Badan Riset khusus tentang perberasan. Berupaya menyempurnakan kualitas dan tata kelola perberasan. Bisa mewujudkan, profesi petani beras tidak hanya sangat dibutuhkan. Namun juga bisa membuat petani sejahtera.
Matahari kembali muncul, permukaan air sawah luas memantulkan bercak bercak jingga. Membentuk lukisan dan penampakan senja nan elok. Paduan Langit, air, sawah, dan rumah Jepang cantik di tengahnyaKeindahan dan keasrian Jepang ternyata tak lepas juga dari paradok. Cerita Paradok itu diperoleh dari banyak kenalan Ekspatriat Jepang di tanah air. Khususnya di Jakarta. Cerita saat setiap kali mereka purna tugas dan akan kembali ke Jepang. Sering terjadi momen keharuan dan kesedihan. Tak jarang pula disertai tangisan.
Agak paradok, mestinya mereka para Ekspatriat itu senang kembali ke negaranya yang makmur, tertib, aman, indah. Masyarakatnya yang saling menghargai, menghormati. Namun ternyata mereka merasa enggan dan  berat untuk meninggalkan Indonesia.
Selidik punya selidik, bagi orang Jepang rupanya ada beberapa kemewahan yang bisa mudah mereka nikmati di Indonesia. Tetapi sulit ditemukan di Jepang.
Di Indonesia, mereka gampang menghuni rumah besar dengan sewa terjangkau. Memiliki sopir mengantar kemanapun mereka pergi. Di rumah bisa menggaji satu dua pembantu dengan anggaran miring. Fasilitas olah raga, hiburan, belanja komplit dengan harga jauh dibawah harga dari negaranya. Â Kemudian dan barangkali yang terutama, adalah persaingan dan tuntutan kerja di Indonesia yang tidak seberat di negaranya. Baik dari sisi waktu, performa maupun tata kelola yang harus diikuti.
Cerita ini menjadikan Wisdom lama Jawa terkonfirmasi. Wisdom yang mengatan, urip iku sawang sinawang. Hidup itu saling memandang dan membandingkan. Memandang orang lain dari sisi enaknya saja, tidak melihat sisi susahnya. Memandang hidup sendiri dari sisi susahnya saja. Membuat orang sering kurang bersyukur.Hidup di Jepang atau Indonesia sebenarnya esensinya tentu sama saja. Ada sisi enaknya dan juga tidak enaknya. Semua itu tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Ken pemandu kami kemarin bilang, kalau pensiun nanti dia ingin kembali dan hidup di Penang, Malaysia. Tidak begitu merinci apa alasannya. Rupanya Ken merasa, hidup di kampung halaman di masa tua akan lebih enak daripada di rantauan.
Dibuai suasana senja yang syahdu, pikiran mengabur. Mata memberat ngantuk. Namun sebelum benar benar terlelap, tiba tiba Ken bicara. Sebentar lagi kita akan sampai di Hotel. Di kota Gifu. Kembali terjaga.
   Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H