Mohon tunggu...
Gigih Mulyono
Gigih Mulyono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Musik

Wiraswasta. Intgr, mulygigih5635

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Hembusan Angin Cemara Tujuh 58

31 Oktober 2018   13:09 Diperbarui: 31 Oktober 2018   13:10 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Hembusan Angin Cemara Tujuh 58

Tiba tiba Deni bangun dari duduknya. Memeluk Topo. Pertahanan emosinya jebol. Deni menangis sesenggukan di pelukan Sutopo. Pengunjung resto yang lain melirik lirik.

Topo membiarkan Deni menangis. Tangisan seringkali dapat menjadi katarsis, pembasuh kerisauan dan perasaan yang pepat. Membuat dada menjadi lega.

Tangisan Deni melirih. Pelukannya dilepaskan, lalu berbisik,

" Sori Po, Saya emosional"

Topo memaklumi. Mereka duduk kembali. Kebisuan Deni jebol. Deni bercerita panjang. Menceritakan rasa malunya harus pulang ke tanah air. Tidak bisa menyelesaikan program S2  biaya kantor ini.

Juga ke khawatirkan, konsekuensinya terhadap karirnya nanti di kantor.

Topo sabar dan takzim mendengarkan curahan kerisauan sahabatnya itu. Kemudian Sutopo menghibur dan menguatkan Deni. Memberikan argumentasi yang logis, bahwa ketidak lulusan ini , mestinya tidak akan berpengaruh dan menghambat perjalanan karir Deni di kantor. Tidak selalu signifikan, hubungan sukses sekolah dengan sukses di kantor.

Bahkan Sutopo berjanji, akan menjadi pembelanya yang pertama, kalau terjadi persoalan terhadap Deni menyangkut ketidak lulusan sekolah ini. Dan Sutopo membuktikannya, membela Deni ketika Direksi mempersoalkan kegagalan Deni meraih gelar master.

Deni mengangguk angguk, dan kelihatan lebih tenang. Usai makan malam di Meram, mereka langsung kembali ke Dormitori. Wajah Deni lebih cerah. Tidak begitu nelangsa dan tertekan lagi. Udara Rotterdam semakin dingin, ketika malam itu mereka kembali naik Tram Kuning di seberang resto Turki, Meram

Lamunan Sutopo terhenti, pelayan datang menawari tambahan Kopi. Sutopo mengangguk mengiyakan.

Sutopo teringat lagi , pertanyaan terakhir pemegang saham saat wawancara FNP Test. Tentang keinginan menjadi pemimpin. Dicintai, Dihormati atau Ditakuti?

Setelah berpikir sejenak waktu itu, Sutopo menjawab ingin menjadi pemimpin yang Dicintai. Menurut pemikiran Sutopo, pemimpin dihormati itu menumbuhkan sekat sekat dan perilaku berlebihan. Sutopo yang berlatar belakang budaya Solo Yogya, di otak belakangnya tersimpan memori yang sudah tertanam sejak kecil. 

Pengejawantahan pemimpin Dihormati dalam budaya Jawa adalah olah tubuh berlebihan, tidak pas menurut dirinya. Laku dodok dalam cerita Kethoprak dan juga dalam kenyataan. Mundhuk mundhuk ketika berbincang dengan penguasa. Terlukis gambaran seperti itu di Mind Set dangkal Sutopo tentang pemimpin yang dihormati.

Apalagi pemimpin yang ditakuti. Mind set nya langsung membisikkan kata kata seram; Diktator, Otoriter, Represip, Sewenang-wenang, dan seterusnya.Hitler, Mussolini, Kubilai Khan, Jengis Khan, Amir Temur.

Sedangkan dalam pemikiran Sutopo, Pemimpin dicintai itu merefleksikan komunitas saling percaya, adil, partisipatif, kolaborasi, asah asih asuh. Kondisi ideal dalam mengelola komunitas. Komunitas yang bergembira dan produktif dapat hadir bila dikomandani oleh Pemimpin yang dicintai.

Waktu itu para pewawancara hanya tersenyum. Tidak memberi respon dan pertanyaan apapun. Dan Test diakhiri.

Sutopo berpikir. Apakah jawabannya itu yang menyebabkan dirinya tidak terpilih menjadi Direktur?Jawaban yang naif, tidak membumi? Untuk seorang calon pemimpin komunitas yang penuh dinamika, gejolak dan konflik.

Serangkaian *seandainya* dan *kalau* masih bermunculan. Sutopo pusing. Senja kala temaram menyelimuti pantai Ancol. Bola Matahari merah hampir tenggelam di Cakrawala, indah fantastis. Keindahannya tidak dirasakan Sutopo yang sedang gundah.

Sutopo membayar kopinya , dan beranjak pulang.

                 Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun