Mohon tunggu...
Gigih Mulyono
Gigih Mulyono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Musik

Wiraswasta. Intgr, mulygigih5635

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Hembusan Angin Cemara Tujuh 39

18 Juli 2018   19:03 Diperbarui: 18 Juli 2018   19:07 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

*Hembusan Angin Cemara Tujuh 39*

Seratusan orang pendaki itu mulai menapaki jalan menanjak. Satu satu melangkah berurutan menempuh jalan tanah setapak. Paling depan koordinator dan penunjuk jalan, penduduk setempat memimpin perjalanan. Sekali kali koordinator menyorotkan lampu senternya menembus rumpun rumpun semak disepanjang jalan.

Bulan Purnama yang mulai condong ke barat , menyorotkan temaram sinar kuning keemasan. Bebunyian serangga malam bersahutan. Embun embun pagi masih menitik , membasahi jaket jaket para pendaki. Di depan, nampak puncak Lawu tinggi menjulang dikelilingi awan. Terlihat anggun, dekat dan nyata.

Inilah Keindahan Alam yang tak tertandingkan. Pagi begitu mempesona, sempurna.

Dua jam sudah mereka berjalan. Jalan semakin menanjak. Koordinator melalui pengeras suara mengumumkan, sebentar lagi mereka akan melewati kawasan bunga Eidelweiss, jangan ada yang memetik dulu. Saat turun nanti mereka akan melewati jalan ini lagi. Supaya Edelweiss dipetik waktu perjalanan turun, dan tidak boleh memetik banyak banyak, untuk menjaga keberlangsungan habitat Eidelweiss yang semakin berkurang.

Edelweiss, adalah bunga kenangan dan kebanggaan para pendaki gunung. Berwarna putih berbentuk seperti Brocoli. Tumbuh diatas ketinggian seribu meter,  memiliki daya tahan untuk tetap mekar lebih dari tiga tahun. Bunga ini menjadi simbol dan lambang petualangan, keabadian, untuk persahabatan atau cinta.

Benar saja, tak berapa lama mereka melewati area luas berwarna putih. Gerumbul gerumbul Pepohonan Eidelweiss setinggi satu sampai dua meter itu penuh bunga, seolah berselimut salju putih, indah tertimpa redup sinar Rembulan. Inilah kawasan ngarai bunga Eidelweiss gunung Lawu yang memukau.

Setelah berhenti sejenak , menatapi dan memotret gerumbulan gerumbulan Eidelweiss, mereka melanjutkan pendakian, medan semakin terjal.

Waktu sampai di puncak adalah saat tak terlukiskan. Matahari merah membara muncul di timur, terbit begitu saja dari awan putih yang berarak. Kota Solo, Madiun, Magetan, Karang anyar masih terlihat dibawah sana. Sinar Kerlap kerlip lampunya masih tersisa. Para pendaki terpukau memandanginya. Inilah suasana Puncak Gunung. Keindahan, kemegahan dan Magik berkelindan menjadi sesuatu.

Sutopo terpesona oleh keindahan alam yang spektakuler ini, namun tiba tiba perhatiannya tercuri. Di sudut timur puncak Lawu, terlihat mahasiswa kurus gondrong itu sedang bersujud syukur. Wajahnya kelihatan segar, bersih dan takjim. Sutopo tercekat, kembali ia melihat tanda itu di wajahnya. Tanda tanda masa depan.

Para pendaki lain berkerumun, riuh saling memberi Tos, mengucap syukur, tidak perhatian dan melewatkan momen yang dirasakan Sutopo.

Setelah bersama sama, penuh semangat menyanyikan Indonesia Raya, mereka heboh berfoto bersama dengan latar depan bendera UGM.

Satu jam mereka bersantai di puncak. Matahari mulai menaik, angin pagi sembribit, sejuk mengelusi wajah wajah berseri gembira itu.

Puas telah sukses mendaki dan bergembira dipuncak Lawu, mereka segera bergegas turun, untuk menghindari kabut yang akan segera menyelimuti gunung.

Perjalanan turun jauh lebih ringan dan mudah, namun seringkali juga memancing kesembronoan sebagian pendaki. Setelah Eforia sampai di puncak, sebagian pendaki lari menuruni jalan setapak.

Setengah perjalanan turun kembali ke Cemoro Sewu, satu pendaki yang berlari kencang terpeleset tanah basah licin. Kehilangan keseimbangan, tubuhnya ambruk, terguling guling kebawah, dan berhenti di jalan berbelok, tertahan rumpun perdu. Untung travelling bag nya masih tersandang di punggung, sehingga tulang tulang belakangnya aman. Hanya kakinya yang cedera,keseleo, tidak mampu berdiri, apalagi berjalan.

Entah darimana, tiba tiba pendaki gondrong dari  Kehutanan itu sudah muncul membawa dua bilah kayu. Sepotong Sarung telah terikat di empat sudut bilah. Tanpa babibu lagi, pendaki yang meringis kesakitan itu diangkat rame rame dibaringkan di sarung yang sudah terikat.

Pendaki naas itu di gotong turun, oleh empat pendaki lainnya. Salah satunya oleh pendaki, mahasiswa Kehutanan itu.

Lewat siang hari, mereka tiba kembali di pangkalan Cemoro Sewu. Tiga bus telah menunggu untuk membawa mereka turun ke Tawang Mangu, dan selanjutnya beriringan kembali ke Yogya.

                    Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun