Mohon tunggu...
Mulyanto
Mulyanto Mohon Tunggu... Guru - Guru di Sekolah Dasar

Bila berkenan, caraku tersenyum padamu anggaplah itu cinta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Guru Relaban

8 Desember 2024   21:05 Diperbarui: 8 Desember 2024   21:08 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

15 Januari 2004 yang ditunggu datang. Langit masih sering menangis. Tapi keluarga Pak Amir selalu tersenyum. Pak Amir yang punggung keluarga itu selalu bisa membawa keluarga bahagia dengan hal-hal simpel.

Misalnya honor mengajar kursus pada tengah bulan dibelikan martabak sekira 3-5 kotak, lalu Pak Amir mengundang beberapa teman-teman sekolah putranya, Rahman yang SMA dan Raini yang SMP. Teman baiknya saja. Dan, juga anak kursusnya.

Malam hari mereka berkumpul di beranda rumah dan menikmati martabak manis dan gurih diiringi cerita-cerita tak punya arah. Cerita berlangsung hingga malam beranjak. Biasanya itu terjadi di malam minggu. Bahkan beberapa anak putra sudah biasa menginap di rumah Pak Amir. Esok bakda shalat subuh mereka pulang.

Namun hukum dunia berlaku: tak ada yang abadi. Kehangatan makan martabak dan menginap di rumah pak Amir akhirnya pun harus selesai. Bulan Juni 2006 menjelang Rahman lulus SMA, pak Amir dipanggil Yang Maha Kuasa: mati. Duka mendalam bagi Bu Amir, Rahman, Raini, dan kami.

Aku adalah teman Rahman yang paling terakhir terus menginap di rumah almarhum. Aku boleh dibilang teman yang paling setia pada Rahman dan keluarganya. Meski pun aku lama-kelamaan tak enak diri. Itu saja. Akhirnya dengan sangat takzim aku berpamitan kepada Bu Amir untuk tidak menginap lagi. Persis Juli 2006.

Meski kami agak berjarak dengan keluarga Rahman tapi aku masih sering mencari tahu kabar tentang Rahman sekeluarga. Ya Bu Amir, ya Rahman, ya adik Raini. Mereka alhamdulillah terus sehat. Mereka hidup dengan uang kebaikan negara yang terus mengalir: gaji (alm) Pak Amir sebagai guru SDN.

Sampai aku kuliah di luar kota aku masih sering mencari tahu kabar tentang mereka. Pada akhir tahun 2006 dua hari setelah dunia merayakan hari besar agama tertentu, aku mendapatkan kabar pilu: Bu Amir pun menghadap Ilahi.

Dari kota lain aku menelepon Rahman, aku sampaikan duka mendalam dan permohonan maaf aku tak bisa ikut mengantar jenazah Ibu ke pemakaman. Rahman memaklumi. Raga kami berjauhan, hati kami berpelukan.

Babak baru bermula, Rahman menjadi punggung keluarga. Semangat Rahman berkuliah untuk menjadi guru meneruskan misi mulia sang ayah pingsan. Kini Rahman harus memutar otak untuk mendapatkan uang, untuk menyekolahkan adiknya, bahkan sampai adiknya sarjana.

Rahman akhirnya terdampar di pekerjaan yang dulu sangat dia benci: sales. Dia jadi sales makanan ringan untuk anak-anak. Sebulan dia bekerja menjajakan dagangannya itu, berputar-putar di jalanan kota, dengan bocengan besar kanan-kiri di belakangnya, isinya jajan ringan, tapi dengan hasil nol besar, akhirnya dia putuskan menyudahi pekerjaan itu.

Baik Rahman dan Raini semakin hari semakin kurusan. Tetangga hanya melihat iba pada mereka. Aku menangis dari kejauhan.

Rahman terus berusaha. Kali ini dia melamar pekerjaan menjadi penjaga toko. Toko sembako milik haji Bahri. Alhamdulillah diterima. Dan, di pekerjaan mulia ini Rahman mendapatkan keberkahan. Bekerja tenang, hasil lumayan memuaskan. Pak haji suka dengan semangat, jujur, dan keuletan Rahman.

Gaji semakin meningkat, Rahman dan Raini makin gemuk. Adik Raini berkuliah jurusan PGSD. Rahman semringah melihat adiknya semakin berkilau. Apalagi tak terasa, tahu-tahu adiknya sudah akan wisuda.

Dan semuanya berjalan lancar. Selang seminggu dari Raini wisuda, Rahman bersujud Syukur karena adik tercintanya sudah diterima bekerja di sekolah SD tempat sang ayah dulu bekerja. Meski pun statusnya sukwan (istilah sukarelawan atau pra honorer gitu lah). sebenarnya lebih tepat adalah relaban atau rela berkorban. Karena guru sukwan ini ya banyak berkorban meski gajinya sukarela. Tapi pekerjaan adalah harga diri, dia segalanya meskipun gaji tak seberapa. Setiap bulan diberi 200-300 ribu sudah alhamdulillah.

Melihat adiknya berbaju rapi setiap pagi, cantik jelita hendak mengajar, Rahman bungah. Sang adik tak kalah berbunga-bunga. Baginya bertemu murid-murid, menyampaikan ilmu pelajaran di kelas, anak-anak senang, anak-anak tertawa berderai-derai itu sudah surga bagi Raini. Itulah hidup baru Rahman dan Raini kini.

Sampai suatu waktu kebosanan mendera Rahman. Dia berfikir bagaimana jika dia sendiri yang kuliah sambil bekerja menjaga toko, yang sejujurnya dia sudah naik jabatan menjadi supervisor toko itu dengan seorang saja anak buah.

Soal kuliah pak haji pemilik toko berkenan. Mendukung. Maka terjadilah perkuliahan kelas karyawan. Kuliahnya luamayan singkat karena kelas karyawan. Pokok dosen mengajar, mahasiswa mendengarkan dan bertanya dan mengerjakan tugas. Dan, tahu-tahu Rahman akhirnya pun lulus: wisuda. Saat Rahman Wisuda si Raini sudah naik level menjadi guru negara dengan istilah pe tiga ka. Dan juga kini Raini sudah menikah. Alhamdulillah.

Babak baru lagi bagi Rahman. Dia masih terngiang untuk melanjutkan misi mulia sang ayah: menjadi guru. Maka dengan berat hati pekerjaan menjaga toko dipamiti dengan sangat takzim. Pak haji memberi pesangon kepada Rahman. Rahman sangat hikmad menerima amplop putih yang agak gemuk itu. Rahman menerima pesangon seperti petugas pembawa baki paskibraka menerima bendera dari Bapak Presiden. Hebat!

Rahman pun mengajar di SD, SDN lain di pinggiran kota. Dari rumah ke SD naik motor sekira 20 menit. Rahman statusnya sukwan, persis sang adik memulai karir dulu. Harapannya ke depan naik level ke status pe tiga ka atau pe en es, gitu lah. Bismillah.

Hari-hari berlalu, pe tiga ka memang belum hadir, tapi jodoh sudah hadir. Ceritanya, cinta memang tak kenal tempat dan waktu. Saat Rahman pulang dari sekolah mampir shalat asar di masjid kabupaten, lah kok di shaf perempuan ada perempuan baru saja melepas mukenanya dan tak tahu kenapa terjadi, Rahman dan perempuan itu matanya bertabrakan, lumayan lama. Dan dari sana mereka jatuh cinta.

Cerita Rahman ke aku, untuk membuktikan itu cinta, Rahman ke masjid itu sebanyak tiga kali/tiga hari berturut-turut di waktu asar untuk memastikan bertemu dengan perempuan itu dan akhirnya betulan terjadi. Tiga kali mata mereka tabrakan dahsyat, lalu mengalir semuanya ke hati. Maka berkenalannya mereka, akhirnya mereka saling jatuh cinta. Si perempuan adalah pegawai swasta, penjaga toko sepatu merek ternama, lokasi di barat alun-alun kota.

Tak sudi mengulur tempo, Rahman melamar perempuan itu. "Dengan segala hormat, saya Rahman Rahim bin Amir Adil Agung berniat melamar Diana Eka Purnama, putri bapak. Saya berjanji akan membuat Diana bahagia dengan Ridha Allah subhanahu wa ta'ala." Begitu bunyi lamaran gentle man Rahman. Dahsyat!

Gayung bersambut. Maka terjadilah pernikahan penuh cinta. Mereka hidup dengan bahagia. Tinggal di rumah lama penuh kenangan. Di rumah Pak Amir yang dulu aku dan kawan-kawan baik Rahman sering menginap di rumah itu.

Hari-hari berlalu, mereka bahagia, setahun lebih beberapa hari pun mereka bahagia. Meski tanda-tanda punya keturunan belum nampak. Tiada yang salah, keduanya hanya perlu berusaha dan berdoa, perlu juga menekan ego masing-masing untuk berkonsultasi kepada ahlinya. Pasti salah satu atau keduanya ada sesuatu.

Rahman bukan pemuda sudi hidup di zona nyaman. Untuk menghibur diri dari belum dikirimi keturuan oleh Tuhan, Rahman berniat kerja ganda. Tujuannya agar penghasilan berganda-ganda. Apalagi menjadi guru sukarelawan SDN gajinya suka-suka kepala dan bendahara sekolah. Kadang 200, 150, mentok 300 ribu.

Nawaitu menuju gaji lumayan Rahman mencari kerjaan lain: mau nyambi. Maka diterimalah Rahman menjadi pelayan kios teh kekinian di tepi jalan, lokasinya di utara alun-alun. Dia sanggup mengambil sift siang sepulang mengajar sampai malam. Dia berencana mengatur ritme kerjanya dengan baik. Rencana, pagi mengajar, siang menjaga kios. Gaji lumayan, sebulan 500 ribu, ditambah bonus bila laris manis.

Senin ini Rahman mulai training. Dia izin kepada Ibu Kepala Sekolah dengan sangat takzim, katanya mau training menjaga kios teh kekinian. Diizinkan. Sang kepala juga bilang akan mampir bila Rahman sudah resmi bekerja. Rahman tersenyum.

Jam 10 pagi training, Rahman cekatan, tangkas, dan lekas paham. Maka bos pemilik kios langsung percaya mempekerjakan Rahman saat itu juga. Bekerjalah ia hingga jam 10 malam. Banyak pembeli. Laris sangat manis.

Malang tak bisa ditolak. Esoknya Rahman masuk angin, lalu istrinya mengerok punggungnya. Seperti yang sudah-sudah 30 menit setelah dikerok Rahman harusnya sudah enakan dan sanggup beraktivitas Kembali. Namun hari itu tidak.

Rahman dengan dipaksa akhirnya mau dibawa ke RSUD, jam 8 pagi. Istri Rahman izin kepada ibu kepala sekolah, diizinkan. Sampai siang Rahman masih di rumah sakit, kondisinya memprihatinkan. Hingga tarhim menjelang adzan magrib berkoar sahut-sahutan dari corong-corong masjid, Rahman tak pulih. Tepat adzan magrib Rahman menghadap Ilahi Rabbi. Innalillahi wa inna ilaihi radjuin. Dia mati karena darahnya tinggi banget.

Aku diceritai cukup detail oleh istri Rahman sampai Rahman diambil oleh Allah SWT. Jadi aku lumayan tahu cerita Rahman sampai ajal menjemputnya.

Kemarin, teman kami, Sopian---dekat juga dengan Rahman---meneleponku, bertanya bagaimana Rahman bisa mati padahal masih sangat muda. Aku bingung mau memulai dari mana bercerita tentang Rahman ke dia. (*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun