Gayung bersambut. Maka terjadilah pernikahan penuh cinta. Mereka hidup dengan bahagia. Tinggal di rumah lama penuh kenangan. Di rumah Pak Amir yang dulu aku dan kawan-kawan baik Rahman sering menginap di rumah itu.
Hari-hari berlalu, mereka bahagia, setahun lebih beberapa hari pun mereka bahagia. Meski tanda-tanda punya keturunan belum nampak. Tiada yang salah, keduanya hanya perlu berusaha dan berdoa, perlu juga menekan ego masing-masing untuk berkonsultasi kepada ahlinya. Pasti salah satu atau keduanya ada sesuatu.
Rahman bukan pemuda sudi hidup di zona nyaman. Untuk menghibur diri dari belum dikirimi keturuan oleh Tuhan, Rahman berniat kerja ganda. Tujuannya agar penghasilan berganda-ganda. Apalagi menjadi guru sukarelawan SDN gajinya suka-suka kepala dan bendahara sekolah. Kadang 200, 150, mentok 300 ribu.
Nawaitu menuju gaji lumayan Rahman mencari kerjaan lain: mau nyambi. Maka diterimalah Rahman menjadi pelayan kios teh kekinian di tepi jalan, lokasinya di utara alun-alun. Dia sanggup mengambil sift siang sepulang mengajar sampai malam. Dia berencana mengatur ritme kerjanya dengan baik. Rencana, pagi mengajar, siang menjaga kios. Gaji lumayan, sebulan 500 ribu, ditambah bonus bila laris manis.
Senin ini Rahman mulai training. Dia izin kepada Ibu Kepala Sekolah dengan sangat takzim, katanya mau training menjaga kios teh kekinian. Diizinkan. Sang kepala juga bilang akan mampir bila Rahman sudah resmi bekerja. Rahman tersenyum.
Jam 10 pagi training, Rahman cekatan, tangkas, dan lekas paham. Maka bos pemilik kios langsung percaya mempekerjakan Rahman saat itu juga. Bekerjalah ia hingga jam 10 malam. Banyak pembeli. Laris sangat manis.
Malang tak bisa ditolak. Esoknya Rahman masuk angin, lalu istrinya mengerok punggungnya. Seperti yang sudah-sudah 30 menit setelah dikerok Rahman harusnya sudah enakan dan sanggup beraktivitas Kembali. Namun hari itu tidak.
Rahman dengan dipaksa akhirnya mau dibawa ke RSUD, jam 8 pagi. Istri Rahman izin kepada ibu kepala sekolah, diizinkan. Sampai siang Rahman masih di rumah sakit, kondisinya memprihatinkan. Hingga tarhim menjelang adzan magrib berkoar sahut-sahutan dari corong-corong masjid, Rahman tak pulih. Tepat adzan magrib Rahman menghadap Ilahi Rabbi. Innalillahi wa inna ilaihi radjuin. Dia mati karena darahnya tinggi banget.
Aku diceritai cukup detail oleh istri Rahman sampai Rahman diambil oleh Allah SWT. Jadi aku lumayan tahu cerita Rahman sampai ajal menjemputnya.
Kemarin, teman kami, Sopian---dekat juga dengan Rahman---meneleponku, bertanya bagaimana Rahman bisa mati padahal masih sangat muda. Aku bingung mau memulai dari mana bercerita tentang Rahman ke dia. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI