Mohon tunggu...
mulyanto
mulyanto Mohon Tunggu... Administrasi - belajar sepanjang hayat

Saya anak petani dan saya bangga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wisuda Ibu

4 September 2021   10:05 Diperbarui: 4 September 2021   10:13 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Selasa sore Ibu di dusun meneleponku. Aku saat itu perjalanan pulang dari kantor ke rumah. Rumah kontrakan.

Di atas laju motor HP meronta-ronta di saku celana, aku menepikan motor matic biruku. Motor yang cicilannya baru kalong setahun setengah dari lima tahun kewajiban cicilan.

Akas aku rogoh HP di saku celana. Kulihat di layar foto wanita berkerudung biru yang tak lagi muda mesem manis di sana: ibu.

Kutolak panggilan ibu. Jangan ibu yang kalong pulsa. Aku kini menelepon balik. Kubuka helmku, sembari menunggu telepon diangkat aku turun dari motorku menuju kursi di muka warung makan yang sudah tutup. Di kaca warung itu tertulis; pengamen dan pengemis dilarang masuk.

"Halo, Bu? Ibu sama ayah sehat?" tanyaku setelah Ibu menerima teleponku.

"Alhamdulillah kami baik, Nak. Semoga kamu istrimu dan anakmu sehat bahagia selalu dan dalam lindungan Allah ta'ala, amin." Begitu suara ibu. Suara merdu yang tapi mengesankan ada yang tidak beres.

Aku selalu risau bila ibu yang meneleponku lebih dulu. Mendadak. Dan memang selalu begitu. Ibulah yang selalu meneleponku. Meski kutolak lalu aku yang menelepon balik.

Menelepon meski sekadar untuk bilang jaga diri dan keluarga; ayah dan ibu kangen; sapinya mogok makan; sawahnya kebanjiran, dan lainnya.

Ibu (orangtua) cintanya tak terhingga, kasihnya nirpamrih, sayangnya lebih luas dari lautan.

"Aamiin... Ibu maaf aku belum transfer ke Ibu bulan ini. InsyaAllah awal bulan depan ya," kataku sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Dua bulan sudah aku tak mengirim uang ke ibu. Padahal hanya 300ribu. Maklum hidup di kota metropolitan kebutuhan sering tak terduga. Anak seminggu lalu baru sembuh dan entah berapa ratus ribu yang dihabiskan untuk membayar dokter dan menebus obat. Serta kebutuhan mendadak lainnya.

"Ibu Jum'at ini harus ke rumah sakit di kabupaten, Nak."

"Oh, mmm,"

Panas entah dari mana asalnya langsung menyergap dadaku. Kubetulkan dudukku. Ibuku bercerita, katanya benjolan di bahu bak punuk unta itu, perintah dokter puskesmas, harus diangkat. Dioperasi.

"Kalau kata Mbah Siro diolesi minyak zaitun akan hilang sendiri dalam dua pekan, Nak." cerita Ibu. "Tapi ayahmu selepas shalat tahajud bilang lebih baik operasi. Jangan percaya dukun."

"Tiga hari lagi, Bu?"

"Iya, Nak. Kamu tenang. Sama Sahram--kakak sepupuku--semuanya sudah diurus. InsyaAllah sudah beres. Gratis, Nak. Tapi bila tidak sibuk, kalau kamu bisa pulang, pulang, Nur. Tapi bila sibuk nggak usah."

Aku tercenung nun di depan warung makan yang sudah tutup. Langit berwarna jingga. Kota ini siap ditelan malam. Tarhim sahut-sahutan dari corong-corong langgar juga masjid.

Pandanganku tak jelas. Air Mata tumpah. Lalu meleleh di pipi. Kalau sibuk tak usah. Kata itu menguing di benak. Jumat adalah hari penting bagiku di kantor. Tapi aku harus pulang.

Anak macam apa aku kalau sampai tak bisa menemani ibu operasi "punuk"nya. Punuk itu yang menyebabkan ibu sering diserang sakit kepala hebat lalu mengerang kesakitan. Ya Allah, sehatkan ibu. Berilah kesembuhan yang sempurna untuk ibu. Aamiin.

"Aku bisa pulang kok Bu."

"Jangan kalau sibuk, Nak."

"Nggak, Bu. Aku nggak sibuk."

*

"Ibu yang tenang ya. Bismillah semuanya lancar, wiridan terus Bu," saranku.

Ibu hanya mesem. Wajahnya pucat pasi. Mungkin khawatir. Matanya sayu. Orang tua 56 tahun itu lemas. Tapi terus tersenyum. Aku tahu itu demi menghibur kami: ayah dan aku yang menemaninya operasi pagi ini.

"Nanti temani ibu di dalam ya. Ibu takut Nak," pintanya. Aku mengangguk dan kusenyumi ibu. Meski mungkin ibu tahu senyumku kecut. Tangannya kugenggam tak akan aku lepas.

"Pak Nur... Pak Nur," Adi rekan kerjaku di kantor mengagetkanku. "Dipanggil pak Rektor, pak."

"Baik Mas. Makasih ya." Beranjak aku ke ruang rektor. Aku panggil mas ke Adi karena dia masih muda. Junior kami di kantor rektorat.

Peristiwa hari Jumat terus bersarang di otakku. Sejak ibu menelepon aku selalu memikirkannya. Malam tak bisa tidur. Makan tak selera. Buntutnya bahkan lamunan alur registrasi sampai selesai operasi Ibu sudah terformat di otak. Aku mendorong kursi roda ibu dan bersisian dengan Ayah sudah terjadi di otak.

Sekarang baru Kamis. Malam nanti aku harus pulang.

"Bagaimana persiapannya Mas Nur?" tanya Pak Rektor. Aku menjawab siap. Beres. Aman. Aku juga menjawab semua tanyanya dengan tangkas, cepat, dan mantap. Sudah lima tahun aku bekerja padanya dan semua sukses.

Lalu pak Rektor mengangguk-angguk bangga. Dia juga menyodorkan amplop cokelat berisi uang lumayan tebal kepadaku. Tentu aku dengan tatapan nanar menerima amplop tersebut.

"Semoga operasi Ibundamu lancar dan beliau terus sembuh sempurna dan sehat-sehat ya, Mas." ucap Pak Rektor.

"MasyaAllah. Terima kasih banyak nggih Pak Rektor." Kataku. Lalu beliau memelukku seperti bapak memeluk balitanya yang baru keluar kelas play group.

*

"Besok bila dokter membolehkan Ibu pulang Ibu ingin melihat pantai, Nur," kata ibu. Wajahnya berseri membayangkan pantai.

Aku dan ayah kompak mesem, mengangguk-angguk. Ayah di kanan ibu dan aku di sebelah kiri ibu yang berbaring.

Kami masih transit di kamar tulip ini. Sekian menit atau malah jam yang akan datang ibu akan digiring ke ruang operasi.

"Anakmu sekarang kelas berapa Nur?"

"Masih play group, Bu."

"Hani masih cemburuan Nak?"

"Nggak Bu. Sudah makin sabar dia. Sudahlah Bu. Wiridan aja. Jangan bahas yang lain."

Suster datang. Ibu lagi dicek suhu tubuh. Didengar detak jantungnya. Suster satunya mencatat ini itu.

"Kapan dikerjakan, Mbak?" Ayah bertanya.

"Sebentar lagi Pak. Mohon sabar ya." Kata suster yang gemuk pendek berkacamata. Kemudian mereka berpamitan keluar. Sudah itu hening.

Kami bertiga saling tatap bergantian. Kugenggam makin kuat tangan ibu.

Sudah pukul setengah 10 pagi ini. AC ruangan mulai surut dinginnya. Sebenarnya aku pingin buang air. Tapi tak jadi. Selain karena mungkin hanya perasaan saja, kadang orang panik larinya ke sakit perut, tapi tak jadi, juga karena WC di ruangan itu kotor sekali. Berlumut dan bau. Rumah sakit milik Pemkab seolah diurus ala kadarnya. Kasihan rakyat miskin. Kasihan kami.

"Ibu Aisyah mari bersama kami," kata dokter, seorang wanita muda, mungkin lima enam tahun di atasku. Dokter Nina nan juwita. Seperti artis Korea tapi yang ini agamis. Jilbaber.

Ibuku dipindahkan ke ranjang lain lalu digiring ke luar.

Kami ikut mendorong ibu. Laju kami berlomba dengan degup jantung.

"Ibu pasti sembuh. Yakinlah," kata Ayah. "Bismillah lancar Bu. Wiridan terus Bu." Kubilang.

Ibu diam. Bibirnya bergetar, wiridan, juga seperti ingin bicara banyak. Matanya sembab. Tak terhitung berapa kubik air yang ditumpahkan.

Sampai di ruang operasi kami melepas ibu di pintu. Ibu masuk kami tertunduk layu.

*

"Keluarga Ibu Aisyah!" Dokter Nina yang berkerudung lebar tergerai hingga di bawah pinggang berseru sekeluarnya dari ruang operasi.

Kami yang duduk tercenung di kursi tunggu menghambur ke arahnya.

"Bagaimana Ibu, Bu dokter?" Kutanya.

"Mohon maaf, Pak. Sampean dan Bapak yang sabar, yang ikhlas. Kondisi Ibu tidak stabil. Cuma memang operasi sudah selesai. Namun sekarang ibu koma."

"Ya Allah... Astaghfirullahal adzim. Astaghfirullahal adzim."

"Kenapa Pak Nur? Kenapa?" Mas Adi yang duduk di sebelahku kepo.

"Ibuku, Mas. Ibuku."

"Kenapa Pak?"

Tak kujawab Adi. Aku bergegas lari keluar gedung. Ragaku di acara wisuda kampus namun jiwaku di RSUD kabupaten, tempat pagi ini ibu menjalani operasi.

Sampai di taman depan gedung aku duduk berteman air mancar yang gemericik. Hiruk pikuk manusia seperti fatamorgana. Aku merasa di padang pasir kini. Kuteleponi Ayah. Tidak aktif. Kuteleponi Sahram. Sibuk.

Ya Allah. Bagaimana operasi Ibu. Kacau hati dan otakku.

Kuteleponi Hani, istriku. Kusampaikan resahku. Dia bilang aku harus sabar dan jangan putus dzikir dan doa.

"Kalau terjadi apa-apa dengan Ibu gimana, Dek,"

"Huss. Sabar, Mas. Bismillah operasi ibu pasti lancar."

"Bener kamu Dek. Kita kadang harus utamakan keluarga daripada pekerjaan. Kantor kalau kehilangan pegawai besok lusa akan rekrut pegawai baru lagi dan kerjaan beres lagi. Tapi kalau pegawai kehilangan tangan atau kaki atau mati, atau kehilangan anggota keluarga, dia tak bisa mencari pengganti. Ibu kalau meninggal dunia sekarang aku nggak bisa membeli nyawa buatnya lagi meski uangku segunung ya kan, Dek."

"Istighfar Mas. Istigfar." Lalu kami sudah teleponnya.

Telepon ayah masih tidak aktif. Ya Allah.

Anak macam apa aku ini. Ibu sedang sekarat tapi aku sibuk mengurus pekerjaan.

Sebenarnya tanpa aku pun wisuda ini pasti tetap berjalan. Tanpa aku pun Pak Rektor akan tetap pidato dan mengukuhkan wisudawan.

Menyesal hati kenapa semalam tak pulang. Kutepuk dan kupijat-pijat dahiku. Berat rasanya. Pening.

Lalu HP mendengking. Bu Rosi, tetangga samping rumah di dusun menelepon.

"Kamu tidak pulang, Nak Nur. Ibumu sudah tidak ada, Nak."

...        

Griya Amerta, 21 Juni 2021

*) Orang Sumenep bekerja di Surabaya, alumni SMA Muhammadiyah 1 Sumenep.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun