Mohon tunggu...
mulyanto
mulyanto Mohon Tunggu... Administrasi - belajar sepanjang hayat

Saya anak petani dan saya bangga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nyalakan Lilin, Jangan Mencaci Pendidikan

11 Mei 2016   10:39 Diperbarui: 11 Mei 2016   10:58 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sumber foto: gea.itb.ac.id

Masih terngiang di benak, pesan almarhum Gus Dur, Presiden RI ke-4 bahwa rakyat Indonesia sejatinya tidak neko-neko. Cukup beri fasilitas kesehatan sepenuhnya, sembako murah, dan pendidikan yang memanusiakan, sudah cukup –kira-kira demikian dawuh beliau, kurang dan lebihnya mohon maaf. Pendidikan nampaknya memang menjadi salah satu consent reformasi Indonesia di era tokoh kawakan NU ini memimpin. Namun sayang, pesan moral ini rupanya tak menarik untuk diindahkan penerusnya yang hanya lebih banyak bersolek untuk pemilu dan safari politik hingga hari ini.

Hari ini ruang publik banyak diisi tayangan/gambaran wajah bangsa blinger atau petugas Negara yang beringas dan miskin teladan. Ditambah modernisasi jaman memerkosa nilai luhur kehidupan berbangsa dan bernegara. Kecanggihan teknologi kian menjauhkan sesorang dari rasa empati pada sekelilingnya. Ia memberangus kesalehan sosial dan mendigdayakan ego personal. Semua adalah konsekwensi logis dari pendangkalan makna pendidikan yang di rezim ini dicoba segarkan kembali dengan jargon revolusi mental: integritas, etos kerja, dan gotong royong. Dengan harapan mampu menderek pendidikan ke arah yang agak cerah.

Kesuraman dunia pendidikan paling tidak dapat dirasakan setiap sanubari bangsa yang mampu melihat dan mendengar kemudian menilai dengan lebih jujur dan tak bertendensi. Bahwa di pelosok negeri ini masih banyak wajah suram pendidikan yang amat membutuhkan secercah cahaya lilin. Seperti yang dirilis sebuah media massa nasional edisi 2 Mei 2016, tepat hari di mana seluruh bangsa Indonesia memperingatan Hari Pendidikan Nasional (hardiknas). Berita yang sekaligus patut dijadikan kajian refleksi dunia pendidikan itu menggambarkan wajah pendidikan Nasional tak ubahnya tayangan reality show yang perlu dikasihani atau diperolok belaka.

Dikabarakan, SDN Pojok Klitih II Jombang amrol sudah selama 36 tahun dan tak tersentuh renovasi pemangku kebijkan, padahal, bangunan sekolahnya pun dari dek kayu, miris melihat potret demikian di era serbacanggih. Kemudian kabar SDN 2 Dunguswiru, Garut, Jawa Barat, siswanya belajar adu punggung karena kurang kelas setelah bangunan roboh diterjang angin. Akhirnya siswa kelas 1 tandem dengan kelas 3 dan kelas 2 dengan kelas 4. Atau kabar lain adalah tentang Bagus (16 tahun), siswa SMK Purwosari Kediri yang dikeroyok 4 teman sejawatnya hingga babak belur, dan sipelaku telah diringkus ke Mapolres setempat.

Memang berbicara pendidikan tidak mungkin ada habisanya. Di samping mutu pendidan yang benar-benar masih terjadi kesenjangan antara kota dengan dusun, antara yang kaya dengan yang melarat, kemudian sifat liar peserta didik acap tak mampu dibendung guru atau sekolah. Kriminalitas, premanisme, narkoba, pergaulan bebas masih banyak diperankan anak didik kita yang berstatus aktif sebagai pelajar. Bagaimana bisa produk pendidikan kita seharusnya melahirakan anak terpelajar gemilang, malah menjadi kurang (ajar)? Semoga benang kusut ini segera mampu diuraikan kita semua.

Bahkan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan baru-baru ini pun mengakui, bahwa wajah pendidikan di Indonesia masih banyak tantangan. Tantangan utama menurut mantan rektor Paramadina itu ialah, mutu pendidikan, akses pendidikan, dan tantangan kualitas guru. Bapak menteri ini tidak membeber apa dan bagaimana kriteria mutu pendidikan yang terkendala juga soal pendidikan yang susah diakses. Dia hanya menyampaikan, revitasi pola pendidikan di kelas untuk diperhatikan guru. Katanya, guru jangan bertahan di pola 3 R, yakni baca, tulis, dan hitung saja, tetapi beralihlah pada konsep 4 C, yaitu creative, communication, critical thinking,dancooperation.Fikir Anies mengarah kepada pemikiaran Stigler & Hiebert (1999) yang mengatakan, mengajar merupakan aktivitas budaya yang meniscayakan keutuhan kompetensi dan implementasinya.

Selain itu, Darling-Hammond (2006) pernah menyatakan bahwa selama ini pendidikan guru tergadaikan dan cenderung dianggap sebagai pendidikan profesi kelas kedua. Hal ini dikarenakan ketidakjelasan epistemologi disiplin pendidikan guru, kesenjangan teori, praktik, dan anggapan pekerjaan guru dapat dilakukan oleh lulusan dari disiplin apapun (teachers are born). Kita dapat melihat apa yang terjadi dari keterpaduan dan keutuhan antara visi, program, kurikulum dan pedagogi pendidikan guru masih menjadi menyumbang tantangan pendidikan.

Peran Orangtua dan Kesalehan Sosial

Sudahlah, berhenti memaki gelap, mari nyalakan lilin. Orangtua peserta didik adalah sejatinya pemegang peranan penting dalam pendidikan keluarga. Prof Din Syamsuddin pernah mengatakan, membangun kesalehan pribadi berarti tengah merangkai kesalehan sosial. Artinya pembentukan anak yang berkarakter, beraklak, cerdas, dan gemilang harus dimulai dari rumah. Orangtua melebihi peran guru formal di sekolah, yang meskipun guru atau tenaga pendidik formal, sarana pendidikan, dan sistem pendidikan –dalam hal ini pemangku kebijakan– sangat juga berperan membentuk peserta didik. Namun orangtualah yang lebih punya tangan berkekuatan “setara” Tuhan untuk menentukan kualitas pendidikan anak.

Saya berpendapat, mendidik anak agar menjadi manusia seutuhnya yang gemilang, menyejukkan pandangan orangtua juga semua orang, sehat hati dan badan, serta bermanfaat untuk banyak kebaikan, bagi sesama maupun bagi agama, bangsa dan negara adalah wajib diwujudkan oleh orangtua. Karena orangtua menurut titah Tuhan adalah tempat pendidikan yang pertama dan utama dalam keluarga. Setelahnya barulah harus diusahakan oleh guru dan lembaga pendidikan –ada kebijakan pemerintah di sana– kemudian lingkungan sosial. Tidak peduli seberapa reyotpun sekolah, kalau orangtua bijak menjadi guru maka berkilaulah masa depan anak didik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun