Mohon tunggu...
Mulyano Nafli
Mulyano Nafli Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Berselancar dengan akun @bangmulyano

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mega-PDIP adalah Pasangan Islam-Nasionalis

26 April 2014   03:16 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:11 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dari mana kita mengukur kadar kepatuhan dan ketaatan seseorang dalam beragama? Dari tampilan fisik kah atau perilakunya. Rasanya kita akan punya pendapat yang berbeda-beda. Tapi kedua-duanya penting dan perlu dilakukan. 

Bagi saya, agama itu perpaduan antara ritual keagamaan dengan amal perbuatan manusia. Agama akan mencapai titik sempurnannya saat ibadah Ilahiah (shalat, haji dan sebagainya) dan kepedulian sosial dikerjakan secara bersamaan. Lalu ditambahkan dengan praktek budi pekerti dengan tidak mencederai lingkungan dan orang lainnya.

Bagaimana dengan pengaruh agama dalam praktek politik ?. Masih belum konsisten, perilaku keagamaan hanya dilakukan saat kepentingan partai dan keinginan pribadi bertautan mendapat kuasa rakyat. Diluar itu, agama tercecer diarea publisitas semu dalam spanduk pencitraan belaka. Agama umpama tebu, "sesudah manis, sepah dibuang".

Politik praktis cenderung meniscayakan kepentingan dan mengabaikan pesan moral keagamaan. Seakan dunia tidak pernah usai dan manusia tak pernah punah. Padahal semua yang ada, ditakdirkan untuk tiada. Yang bernyawa akan mati saat waktunya tiba. Tapi itulah manusia, keserakahan seakan enggan tanggal dari dirinya, ia mesra dalam dekapan kita. Hanya penikmat agama secara sungguh-sungguh yang akan sukses menyingkirkannya.

Di kita, keterlibatan agama riuh-rendah saat momen politik tiba, tak terkecuali saat ini. Pemilihan Presiden sebentar lagi, semua calon sibuk menentukan kawan dan lawan, kasak kusuk mencari pasangan akhirnya memanggil kembali istilah politik lama untuk melumasi kawan politik agar lebih rekat dan erat dalam melawan seteru politik lainnya.

Istilah Islam dan Nasionalis kembali populer, ukuran kategorisasinya sederhana, partai yang berazas agama diasosiasikan sebagai kelompok Islam, sebaliknya PDIP turunan dari Bung Karno penggagas dan pelaksana dari Nasionalisme dinisbatkan sebagai kelompok nasionalis.

Pemetaan ini relatif exspired, karena hubungan timbal balik dalam politik Indonesia lekat dengan kepentingan praktis dan pragmatis. Apalagi di daerah-daerah, sekat ideologis tidak kentara lagi, bahkan boleh dikata tidak ada, karena persinggungannya lebih pada "siapa memberi apa dan siapa meneriam apa".

Contoh nyata dari usangnya pemetaan ini adalah sosok Megawati. Meski banyak literatur yang menyebut Bung Karno sebagai seorang muslim nasionalis, tapi Megawati tak pernah di masukkan dalam grup Islam.

Padahal kiprah dan karir Megawati tidak dapat dilepas-pisahkan dengan Bung Karno. Buktinya sebagian besar kader partai moncong putih mencintai Bung Karno secara turun temurun. Kesetiaan mereka pada Bung Karno diteruskan ke anak cucunya masing-masing. Karena itu Megawati harus selalu disandingkan dengan Bung Karno. Artinya melihat Megawati harus pula menyertakan sepak terjang Bung Karno.

Dari latar belakangnya, hubungan Bung Karno dengan Islam mengalami pergulatan cukup panjang. Sejumlah literatur banyak menyinggung bagaimana riwayat ketertarikan Bung Karno dengan Muhammadiyah. Ketika itu Bung Karno diasingkan ke Bengkulu pada tahun 1938, disana beliau bertemu dengan Sutan Mansur seorang tokoh Muhammadiyah. Dari Sutan Mansurlah Bung Karno banyak menyerap ilmu agama, dan dari Sutan Mansur pula Bung Karno berkenalan dan bersentuhan dengan Muhammadiyah. Bukan hanya itu, menurut Din Syamsudin bahwa Bung Karno  juga pernah menjadi aktifis Muhammadiyah bidang Pendidikan, dan menjadi guru Sekolah Muhammadiyah di Bengkulu,

Satu cerita menarik tentang hubungan Bung Karno dengan Muhammadiyah. Bung Karno pernah mengungkapkan bahwa jika meninggal, kerandanya ingin ditutupi dengan panji Muhammadiyah. "Makin lama makin cinta pada Muhammadiyah. Saya  ingin  bila kelak saya mati, keranda saya ditutup bendera Muhammadiyah." kata Bung Karno.

Ucapan ini boleh jadi yang akhirnya membuat Buya Hamka bersedia menjadi imam sholat jenazah ketika Bung Karno meninggal di Wisma Yaso, Jakarta. Menurut Mohamad Sobary bahwa kesediaan Buya Hamka juga dipengaruhi oleh bujukan Menteri Sekretaris Negara Alamsyah. Meski secara politik Buya Hamka sempat disudutkan oleh Bung Karno.

Bahkan menurut Sobary, keranda mayat Bung Karno kemudian benar-benar ditutupi dengan bendera Muhammadiyah. Karena ucapan Bung Karno tentang bendera tersebut dianggap sebagai wasiat beliau.

Disamping Muhammadiyah, Bung Karno juga dekat dengan Nahdhatul Ulama, bahkan saking dekatnya, ulama NU memberi gelar Bung Karno sebagai Waliyul ‘Amri Dharuriy bi al-Syawkah (Pemimpin Pemeritahan yang berkuasa dan wajib ditaati). Gelar yang belum pernah disematkan pada siapapun oleh NU ketika itu. Tentu pemberian gelar tersebut tanpa tendensi politik, karena lahirnya fatwa tersebut benar-benar dari pandangan para ahli agama di kalangan NU.

Tidak hanya Bung Karno, Ibu Fatmawati (Ibunya Megawati) adalah keturunan Puti Indrapura salah seorang keluarga raja dari Kesultanan Indrapura, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Sedangkan Ayah dari Ibu Fatmawati merupakan salah seorang tokoh Muhammadiyah di Bengkulu. Ibu Fatmawati sendiri meninggal dunia dalam perjalan pulang selepas menunaikan Umroh di Mekkah.

Silsilah ini jelas menunjukkan bagaimana eratnya hubungan Megawati (PDIP) dengan Islam. Perlu diketahui bahwa untuk urusan pengetahuan keagamaan oleh kebanyakan orang Indonesia, lazim diperoleh secara terun-temurun. Jika seorang ayah pandai dalam ilmu agama, maka anaknya tak akan jauh beda dengan ayahnya. Meskipun dalam perilaku sehari-hari bisa timpang. Karena itu, wajar jika menyebut Megawati-PDIP juga sebagai bagian dari kelompok Islam.

Megawati tidak hanya mewarisi sikap Islamis dari Ibu Fatmawati dan Bung Karno, juga dari Suaminya Taufik Kiemas. Pria yang dinikahi Megawati ini, lahir  dari pasangan Tjik Agus Kiemas dan Hamzathoen Roesyda. Ayah Taufik Kiemas  berasal dari Sumatera Selatan, sedangkan ibunya anak dari seorang penghulu di Kanagarian Sabu, Batipuh Ateh, Tanah Datar, Sumatera Barat  dengan gelar Datuk Basa Batuah.

Tjik Agus Kiemas ayah Taufik Kiemas adalah seorang pegawai Persatuan Warung Bangsa Indonesia yang bernaung di bawah Masyumi, partai Islam terbesar ketika itu. Sudah pasti Taufik menjiwai karakter orang tuanya, sebab perjumpaannya dengan politik merupakan kontribusi langsung dari ayahnya. Sebagai aktivis Masyumi, pengetahuan keagamaan Tjik Agus Kiemas tak perlu diragukan lagi, apalagi wanita yang menjadi pasangan hidupnya berasal dari Minang yang diketahui memiliki tradisi Islam yang sangat kuat dan tentu saja keseharian Taufik Kiemas lekat dengan budaya Islam.

Dengan demikian semakin lengkaplah kisah pertautan Islam dan Nasionalis dalam tubuh Megawati-PDIP. Adalah keliru jika hanya menempatkan PDIP sebagai bagian dari kelompok Nasionalis saja, sebab ternyata Megawati-PDIP bergulat dengan Islam dalam paruh waktu yang cukup lama dan diperoleh Megawati-PDIP dari berbagai arah, baik orang tua (yang Muhammadiyah dan praktis juga NU) maupun suaminya (yang keturunan aktivis Masyumi).

Memposisikan PDIP dan Megawati hanya representasi kaum nasionalis adalah pendapat yang kurang lengkap. Megawati dan PDIP juga mewakili kelompok Islam sebagaimana silsilah Megawati dan PDIP.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun