Ucapan ini boleh jadi yang akhirnya membuat Buya Hamka bersedia menjadi imam sholat jenazah ketika Bung Karno meninggal di Wisma Yaso, Jakarta. Menurut Mohamad Sobary bahwa kesediaan Buya Hamka juga dipengaruhi oleh bujukan Menteri Sekretaris Negara Alamsyah. Meski secara politik Buya Hamka sempat disudutkan oleh Bung Karno.
Bahkan menurut Sobary, keranda mayat Bung Karno kemudian benar-benar ditutupi dengan bendera Muhammadiyah. Karena ucapan Bung Karno tentang bendera tersebut dianggap sebagai wasiat beliau.
Disamping Muhammadiyah, Bung Karno juga dekat dengan Nahdhatul Ulama, bahkan saking dekatnya, ulama NU memberi gelar Bung Karno sebagai Waliyul ‘Amri Dharuriy bi al-Syawkah (Pemimpin Pemeritahan yang berkuasa dan wajib ditaati). Gelar yang belum pernah disematkan pada siapapun oleh NU ketika itu. Tentu pemberian gelar tersebut tanpa tendensi politik, karena lahirnya fatwa tersebut benar-benar dari pandangan para ahli agama di kalangan NU.
Tidak hanya Bung Karno, Ibu Fatmawati (Ibunya Megawati) adalah keturunan Puti Indrapura salah seorang keluarga raja dari Kesultanan Indrapura, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Sedangkan Ayah dari Ibu Fatmawati merupakan salah seorang tokoh Muhammadiyah di Bengkulu. Ibu Fatmawati sendiri meninggal dunia dalam perjalan pulang selepas menunaikan Umroh di Mekkah.
Silsilah ini jelas menunjukkan bagaimana eratnya hubungan Megawati (PDIP) dengan Islam. Perlu diketahui bahwa untuk urusan pengetahuan keagamaan oleh kebanyakan orang Indonesia, lazim diperoleh secara terun-temurun. Jika seorang ayah pandai dalam ilmu agama, maka anaknya tak akan jauh beda dengan ayahnya. Meskipun dalam perilaku sehari-hari bisa timpang. Karena itu, wajar jika menyebut Megawati-PDIP juga sebagai bagian dari kelompok Islam.
Megawati tidak hanya mewarisi sikap Islamis dari Ibu Fatmawati dan Bung Karno, juga dari Suaminya Taufik Kiemas. Pria yang dinikahi Megawati ini, lahir dari pasangan Tjik Agus Kiemas dan Hamzathoen Roesyda. Ayah Taufik Kiemas berasal dari Sumatera Selatan, sedangkan ibunya anak dari seorang penghulu di Kanagarian Sabu, Batipuh Ateh, Tanah Datar, Sumatera Barat dengan gelar Datuk Basa Batuah.
Tjik Agus Kiemas ayah Taufik Kiemas adalah seorang pegawai Persatuan Warung Bangsa Indonesia yang bernaung di bawah Masyumi, partai Islam terbesar ketika itu. Sudah pasti Taufik menjiwai karakter orang tuanya, sebab perjumpaannya dengan politik merupakan kontribusi langsung dari ayahnya. Sebagai aktivis Masyumi, pengetahuan keagamaan Tjik Agus Kiemas tak perlu diragukan lagi, apalagi wanita yang menjadi pasangan hidupnya berasal dari Minang yang diketahui memiliki tradisi Islam yang sangat kuat dan tentu saja keseharian Taufik Kiemas lekat dengan budaya Islam.
Dengan demikian semakin lengkaplah kisah pertautan Islam dan Nasionalis dalam tubuh Megawati-PDIP. Adalah keliru jika hanya menempatkan PDIP sebagai bagian dari kelompok Nasionalis saja, sebab ternyata Megawati-PDIP bergulat dengan Islam dalam paruh waktu yang cukup lama dan diperoleh Megawati-PDIP dari berbagai arah, baik orang tua (yang Muhammadiyah dan praktis juga NU) maupun suaminya (yang keturunan aktivis Masyumi).
Memposisikan PDIP dan Megawati hanya representasi kaum nasionalis adalah pendapat yang kurang lengkap. Megawati dan PDIP juga mewakili kelompok Islam sebagaimana silsilah Megawati dan PDIP.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H