Mohon tunggu...
MULYANA AHMAD DANI 111211231
MULYANA AHMAD DANI 111211231 Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administarasi di Kantor Balai Monitor SFR Kelas I Jakarta

Futsal, Sepakbola dan Catur

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Diskursus Gaya Kemimpinan Gaya Leadership Adolf Hitler

13 November 2024   19:53 Diperbarui: 13 November 2024   19:55 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                              Gaya Kemimpinan Gaya Leadership Adolf Hitler

Hitler, pertama-tama dan terutama, bertekad untuk memimpin secara pribadi. Menurut Prinsip Pemimpin (Fhrerprinzip) yang dianutnya, otoritas tertinggi berada padanya dan mengalir ke bawah. Pada setiap tingkat, atasan harus memberi perintah, sementara bawahan harus mengikutinya dengan tepat. Dalam praktiknya, hubungan komando lebih halus dan kompleks, terutama di tingkat yang lebih rendah, tetapi Hitler memang memiliki keputusan akhir dalam hal apa pun yang menarik perhatiannya, termasuk rincian operasi militer, yakni arah langsung dari pasukan di lapangan. 

Sepanjang Perang Dunia Kedua, Hitler bekerja dari salah satu markas lapangan, berbeda dengan kepala negara lainnya yang tetap berada di ibu kota mereka. Staf pribadi kecil mendampinginya, dan markas besar komando tinggi angkatan darat juga mempertahankan posisinya dengan staf yang jauh lebih besar di dekatnya. Setiap sore dan larut malam, Hitler mengadakan pengarahan dengan penasihat militer seniornya, seringkali dihadiri pejabat Partai dan orang-orang dekat lainnya. Stafnya akan menyajikan informasi tentang status dan tindakan semua unit hingga kekuatan divisi atau lebih rendah, serta informasi mengenai topik khusus seperti produksi senjata atau spesifikasi teknis senjata baru. 

Setiap poin harus benar dan konsisten dengan pengarahan sebelumnya, karena Hitler memiliki ingatan yang luar biasa terhadap detail dan akan merasa kesal jika ada ketidaksesuaian. Dia melengkapi informasi tersebut dengan berkonsultasi dengan komandan lapangannya, meskipun sangat jarang di garis depan, lebih sering melalui telepon atau dengan memanggil mereka kembali ke markasnya. Selama pengarahan berlangsung, dia akan menyatakan instruksinya secara lisan untuk dicatat stafnya dan kemudian dikeluarkan sebagai perintah tertulis.

Ada beberapa masalah mendasar dengan gaya kepemimpinan Hitler. Masalah-masalah ini berpusat pada kepribadiannya, kedalaman pengetahuannya, dan pengalamannya di bidang militer, yang semakin memperburuk masalah dalam sistem komando Jerman. Setelah perang, muncul gambaran tentang Hitler sebagai seorang megalomaniak yang menolak mendengarkan para ahli militernya dan, akibatnya, menyebabkan Jerman kalah perang. Gambaran ini sebagian besar muncul berkat upaya para mantan jenderalnya, yang ingin melindungi reputasi mereka sendiri. Kenyataannya lebih rumit, meskipun kelemahan Hitler tetap menjadi faktor utama di dalamnya.

Mereka memiliki kelemahan yang sama dengan Hitler sebagai ahli strategi -- bahkan bisa dikatakan bahwa mereka mungkin lebih kurang berbakat daripada dia -- dan sikap politik serta ambisi ekspansionis mereka menempatkan sebagian besar dari mereka sepenuhnya mendukung Nazi. Mereka mendukung tujuan-tujuan Hitler tetapi tidak mampu mewujudkannya di tingkat strategis. Tidak ada sosok seperti Alanbrooke atau Marshall di kelompok mereka, bahkan tidak ada sosok seperti Eisenhower. Dan terlepas dari profesionalisme mereka yang diklaim, kemampuan operasional mereka tidak sehebat yang digambarkan dalam memoar mereka.

Namun, faktanya adalah Hitler adalah kekuatan pendorong di balik perang tersebut. Dialah yang memberikan dasar ideologis dan arahan strategisnya; para jenderalnya hanya mengikuti, betapapun sukarela mereka melakukannya. Hitler juga terlibat dalam hampir semua keputusan operasional besar terkait pelaksanaan perang oleh Jerman, dan kepemimpinannya yang membawa Jerman dan Eropa menuju bencana terbesar dalam sejarah modern.

Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo

Ideologi Nazi: Partai Nazi, yang dipimpin oleh Adolf Hitler, menciptakan dan menyebarkan ideologi ekstrem yang menekankan pada supremasi "ras murni" atau "ras Arya" di Jerman. Ini melibatkan pandangan bahwa masyarakat Jerman harus diisi hanya oleh individu dari ras yang dianggap murni. 

Holocaust dan diskriminasi yang dilakukan oleh Nazi didasarkan pada ideologi rasisme ekstrem yang dipopulerkan oleh Hitler dan Partai Nazi, yang berakar pada keyakinan tentang kemurnian ras Arya sebagai "ras unggul." Nazi percaya bahwa kelompok-kelompok tertentu yang dianggap "tidak murni" atau "lebih rendah" harus dihilangkan untuk menjaga kemurnian dan kekuatan ras Jerman. Ideologi ini melahirkan Holocaust, yaitu genosida sistematis terhadap jutaan orang yang dianggap ancaman terhadap kemurnian ras.

Selama Holocaust, orang-orang Yahudi menjadi target utama dan korban terbanyak dari kebijakan pembantaian ini, dengan sekitar enam juta orang Yahudi dibunuh di kamp-kamp konsentrasi dan pemusnahan. Selain itu, Nazi juga menganiaya dan membunuh kelompok lain seperti Gipsi (Roma dan Sinti), orang-orang LGBT, dan individu dengan cacat fisik atau mental. Nazi menganggap kelompok-kelompok ini sebagai "ancaman" terhadap masyarakat ideal yang mereka impikan. Orang-orang dengan cacat, misalnya, dianggap "tidak layak hidup" karena mereka dianggap membebani negara, sementara orang LGBT dilihat sebagai "abnormal" dan bertentangan dengan nilai-nilai Nazi.

Genosida ini dilakukan melalui berbagai cara yang terorganisir dan terencana, termasuk pengasingan, deportasi ke kamp-kamp, eksperimen medis, hingga pembantaian massal. Holocaust menjadi simbol dari diskriminasi ekstrem yang berujung pada kekejaman luar biasa dan penghapusan sistematis terhadap kelompok-kelompok yang tidak sesuai dengan standar ideologis Nazi.

Hukum Nuremberg adalah serangkaian undang-undang yang diberlakukan oleh Nazi pada tahun 1935 untuk memperkuat pemisahan ras dan diskriminasi, khususnya terhadap orang Yahudi. Aturan ini melarang pernikahan dan hubungan seksual antara orang Yahudi dan warga negara Jerman "berdarah Arya" serta mencabut hak-hak sipil orang Yahudi, seperti akses ke profesi tertentu, hak untuk memiliki bisnis, dan hak atas kewarganegaraan penuh. Hukum ini bertujuan untuk menyingkirkan orang Yahudi dari kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya Jerman serta memperkuat ideologi rasial Nazi.

Pembenaran Berdasarkan Sejarah dan Agama: Dalam bukunya Mein Kampf, Hitler menganggap bahwa pemisahan spesies dan ras adalah "hukum alam" dan menyatakan bahwa dominasi oleh satu ras lebih kuat adalah bagian dari kehendak ilahi yang abadi. Nazi menganggap diri mereka berhak untuk mempertahankan "kemurnian" bangsa dan wilayah Jerman.

Anti-Intelektualisme dan Kontrol Sosial: Nazi menolak kemajuan intelektual dan sains yang bertentangan dengan propaganda mereka. Anti-intelektualisme ini bertujuan untuk memperkuat kontrol negara atas masyarakat dan memastikan tidak ada kritik atau tantangan terhadap otoritas.

 

Propaganda anti-intelektualisme yang digunakan oleh Nazi bertujuan untuk menekan kebebasan berpikir dan menciptakan sebuah masyarakat yang sepenuhnya tunduk pada ideologi mereka. Dengan cara ini, mereka dapat mengendalikan pandangan umum dan menghindari adanya kritik terhadap rezim mereka. Berikut adalah beberapa elemen utama dari propaganda anti-intelektualisme Nazi:

  1. Penolakan terhadap Pemikiran Independen: Nazi ingin memastikan bahwa hanya ideologi mereka yang diterima dan dipahami oleh masyarakat. Pemikiran yang bebas atau kritis dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaan mereka. Oleh karena itu, mereka berusaha untuk meredam atau menghancurkan bentuk-bentuk intelektual yang berseberangan dengan ajaran mereka, seperti filsafat, ilmu pengetahuan, dan seni yang dianggap "berbahaya."

  2. Penghancuran Buku dan Seni: Salah satu cara yang paling mencolok dalam menyebarkan propaganda anti-intelektualisme adalah dengan menghancurkan buku-buku yang dianggap bertentangan dengan ideologi Nazi. Peristiwa yang paling terkenal adalah "Pembakaran Buku" pada tahun 1933, di mana ribuan buku yang dianggap "tidak Jerman" atau bertentangan dengan ajaran Nazi dibakar di seluruh Jerman. Buku-buku oleh penulis seperti Albert Einstein, Karl Marx, dan Sigmund Freud, serta karya sastra dari penulis Yahudi dan komunis, menjadi target.

  3. Penyaringan Sejarah: Nazi mengubah narasi sejarah untuk mencocokkan visi mereka tentang dunia. Mereka menulis ulang sejarah untuk menggambarkan bangsa Jerman sebagai pemimpin yang superior dan menyembunyikan atau memanipulasi peran negara dalam berbagai peristiwa sejarah, seperti Perang Dunia I dan peran mereka dalam kebijakan rasis. Melalui kontrol terhadap pendidikan dan media, mereka menyebarkan versi sejarah yang mendukung agenda mereka, sementara menghapus segala bentuk kritik terhadap tindakan mereka.

  4. Kontrol terhadap Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan: Di bawah rezim Nazi, sekolah dan universitas diubah untuk menyebarkan ajaran yang sesuai dengan ideologi Nazi. Mereka mendikte apa yang boleh dan tidak boleh diajarkan. Banyak ilmuwan, terutama yang beraliran kiri, Yahudi, atau yang memiliki pandangan yang berbeda, dipaksa untuk berhenti mengajar atau dipecat. Ini bertujuan untuk menumbuhkan generasi yang tunduk pada prinsip-prinsip mereka dan menghapuskan kemampuan untuk berpikir kritis.

  5. Pembatasan Kebebasan Berekspresi: Sebagai bagian dari upaya untuk menciptakan masyarakat yang sepenuhnya terkontrol, Nazi menekan semua bentuk kebebasan berekspresi yang dapat mengancam kekuasaan mereka. Media, seni, dan budaya dijadikan alat propaganda, sementara setiap bentuk kritik terhadap pemerintah atau ideologi Nazi dianggap sebagai pengkhianatan.

Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo

Anti-intelektualisme yang diterapkan oleh rezim Nazi merujuk pada sikap mereka yang menentang kemajuan intelektual, ilmu pengetahuan, dan pendidikan yang tidak sejalan dengan ideologi mereka. 

  1. Penolakan terhadap Pemikiran Kritis dan Intelektualisme: Nazi memandang intelektualisme---terutama yang bersifat kritis terhadap pemerintah atau ideologi mereka---sebagai ancaman. Mereka ingin menciptakan masyarakat yang sepenuhnya patuh pada doktrin mereka tanpa ruang untuk perbedaan pendapat. Oleh karena itu, mereka menyerang pemikiran independen, yang dianggap bisa menantang atau merongrong kekuasaan mereka. Semua bentuk kritik terhadap negara, baik dalam bentuk pemikiran, literatur, atau sains, dihambat dan diberangus.

  2. Serangan terhadap Ilmu Pengetahuan dan Kemajuan Intelektual: Nazi tidak hanya menentang sains yang bertentangan dengan ideologi mereka, tetapi juga secara aktif berusaha untuk merusak kemajuan ilmu pengetahuan. Misalnya, teori-teori ilmiah yang berbasis pada rasionalitas, humanisme, atau yang mendukung prinsip-prinsip kemanusiaan, sering dipandang sebagai ancaman. Sebaliknya, mereka mendorong pseudo-sains seperti eugenika (ilmu yang salah kaprah tentang pemurnian ras) untuk mendukung ideologi rasial mereka. Pemikiran yang ilmiah dan berbasis bukti sering kali dibuang atau disalahartikan untuk mendukung propaganda Nazi.

  3. Menyebarkan Pemikiran Anti-Pendidikan dan Anti-Ilmu: Rezim Nazi juga menggunakan propaganda untuk merendahkan pentingnya pendidikan dan intelektualisme dalam masyarakat umum. Mereka mendorong masyarakat untuk menghargai tindakan dan kesetiaan terhadap negara lebih daripada pengetahuan atau pencapaian intelektual. Dalam pandangan Nazi, "kepatuhan dan kesetiaan" jauh lebih penting daripada kemajuan ilmu pengetahuan atau pengembangan kemampuan berpikir kritis. Hal ini mengarah pada pengurangan nilai pendidikan yang sesungguhnya dan berfokus pada pengendalian pikiran rakyat melalui ideologi yang dipaksakan.

Nazi berusaha mengendalikan narasi nasional dengan cara menghapus segala bentuk pemikiran dan karya yang bisa merusak otoritas mereka atau menggugat citra yang ingin mereka bangun. Tujuan utama dari strategi ini adalah untuk menciptakan masyarakat yang sepenuhnya tunduk pada ideologi mereka dan tidak memiliki akses ke gagasan yang berlawanan, yang bisa membuka pintu bagi perlawanan atau keraguan terhadap rezim.

  1. Penyaringan dan Penyensoran Informasi: Nazi mengontrol seluruh sistem media, termasuk surat kabar, radio, film, dan teater, untuk memastikan bahwa hanya informasi yang mendukung ideologi mereka yang dipublikasikan. Mereka melakukan sensor ketat terhadap segala bentuk media yang dianggap bertentangan dengan narasi mereka, seperti laporan tentang kebijakan pemerintah yang buruk, atau kisah tentang penderitaan orang-orang yang terpengaruh oleh kebijakan Nazi. Dengan begitu, rakyat hanya menerima informasi yang telah dipilih dan disaring untuk mendukung citra positif tentang rezim Nazi.

  2. Revisi Sejarah: Nazi juga melakukan upaya besar-besaran untuk menulis ulang sejarah. Mereka menciptakan versi sejarah yang mendistorsi kenyataan, menghapuskan elemen-elemen yang dapat mengkritik kebijakan mereka, dan mengangkat pencapaian mereka sendiri sebagai sebuah narasi besar tentang kejayaan dan kebangkitan Jerman. Dengan mengendalikan sejarah, mereka dapat membentuk identitas kolektif yang mengarah pada kesetiaan buta kepada negara dan pemimpinnya, sekaligus menghapuskan atau meminimalkan peran kelompok atau negara lain yang mereka anggap sebagai musuh, seperti Yahudi, komunis, dan negara-negara yang kalah dalam Perang Dunia I.
  3. Pengendalian Publik melalui Propaganda: Propaganda adalah alat utama bagi Nazi untuk membentuk narasi nasional. Mereka menggunakan poster, film, radio, dan pidato-pidato publik untuk membangun citra pemimpin mereka, Adolf Hitler, sebagai penyelamat Jerman dan untuk menggambarkan musuh-musuh mereka, seperti Yahudi dan komunisme, sebagai ancaman besar bagi keberlangsungan bangsa Jerman. Propaganda ini disebarluaskan dengan sangat efektif untuk memastikan bahwa orang-orang hanya memiliki satu pandangan dunia---pandangan yang sepenuhnya mendukung Nazi.

Penggunaan propaganda oleh Nazi untuk merusak kebenaran adalah salah satu taktik utama mereka dalam mempertahankan kekuasaan dan mengontrol masyarakat. Propaganda digunakan untuk menyebarkan kebohongan, menyesatkan informasi, dan memanipulasi fakta demi membangun citra positif rezim serta mengalihkan perhatian dari kebijakan atau praktik yang merugikan

Nazi menggunakan propaganda untuk menyebarkan kebohongan yang mendukung kekuasaan mereka. Misalnya, mereka mengklaim bahwa mereka telah menyelamatkan Jerman dari kehancuran setelah Perang Dunia I, meskipun banyak kebijakan mereka yang merugikan rakyat. Mereka juga mempromosikan narasi bahwa bangsa Jerman adalah ras yang unggul dan bahwa ancaman terbesar bagi negara adalah kelompok-kelompok tertentu, seperti Yahudi, komunis, dan kelompok minoritas lainnya. Dengan menciptakan musuh bersama, propaganda ini bertujuan untuk menyatukan rakyat di bawah kepemimpinan Nazi, meskipun klaim-klaim tersebut jauh dari kenyataan. 

Propaganda Nazi tidak hanya berbicara tentang kata-kata dan pesan, tetapi juga tentang simbol-simbol. Swastika, misalnya, bukan hanya simbol agama kuno, tetapi menjadi simbol kebanggaan nasional yang digunakan untuk menyatukan orang-orang di bawah ideologi mereka. Poster, patung, dan film-film yang menampilkan Hitler sebagai pemimpin yang kuat dan penyelamat Jerman dirancang untuk membangun citra ini di benak masyarakat. Dengan cara ini, propaganda berfungsi untuk merusak kebenaran dengan menggantikan realitas dengan simbolisme yang menyanjung dan ideologi yang dipaksakan. 

Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo

Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo
  • Hukum Nuremberg (1935):

    • Hukum ini mengklasifikasikan warga negara berdasarkan keturunan, khususnya untuk membedakan orang Yahudi dari warga Jerman "murni". Orang Yahudi dilarang menikah dengan non-Yahudi, menjadi pegawai negeri, dan menjalani profesi seperti pengacara, dokter, atau pengajar. Ini adalah langkah untuk mengisolasi dan mendiskriminasi orang Yahudi secara hukum, dengan tujuan menjaga "kemurnian ras" Jerman.
  • Propaganda dan Anti-Intelektualisme:

    • Nazi menggunakan propaganda untuk mengendalikan pikiran masyarakat, membatasi pemikiran kritis, dan menghapus ruang bagi ide-ide yang berlawanan. Anti-intelektualisme memastikan bahwa masyarakat tidak memiliki kemampuan atau kesempatan untuk mempertanyakan otoritas atau kebijakan Nazi, memperkuat kontrol total Nazi atas kehidupan publik dan narasi nasional.

Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo

Nazi menolak intelektualisme dan menggantinya dengan nilai-nilai serta pandangan yang sesuai dengan ideologi mereka. Nazi menunjukkan ketidakpercayaan pada ilmu pengetahuan, pendidikan, dan literatur yang tidak sejalan dengan tujuan mereka, menggunakan propaganda untuk membatasi kebebasan berpikir dan menciptakan pandangan tunggal di masyarakat. Kebijakan anti-intelektual ini dimaksudkan untuk menguatkan kendali penuh atas masyarakat, menghindarkan segala bentuk kritik atau gagasan yang berpotensi menantang kekuasaan Nazi.

Implikasi dari kebijakan ini sangat mendalam, karena membuat masyarakat hidup dalam kepatuhan buta terhadap pemerintah, berkomitmen rendah pada kebenaran, dan kompromistis. Setiap bentuk kritik atau upaya menantang kekuasaan negara ditindas dengan keras. Nazi juga melakukan tindakan ekstrem dengan menghancurkan buku-buku yang bertentangan dengan ideologi mereka dan menulis ulang sejarah untuk memperkuat narasi yang mereka inginkan. Upaya ini memberi Nazi kendali total atas informasi dan pandangan sejarah yang diajarkan kepada masyarakat, memungkinkan mereka mempertahankan kekuasaan tanpa hambatan dari intelektual atau pemikiran kritis.

Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo

Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo

Nazi menggabungkan ideologi mereka dengan struktur negara untuk menguatkan kendali penuh atas masyarakat. Nazi menggunakan negara sebagai alat untuk memaksakan pemikiran ideologis, memastikan setiap lembaga berfungsi mendukung propaganda mereka. Mereka membangun sistem totalitarian di mana kebebasan masyarakat dihilangkan, dan setiap bentuk kritik atau perlawanan ditekan dengan hukum dan pengawasan ketat. Dengan cara ini, Nazi dapat mempertahankan kekuasaan absolut tanpa adanya ancaman dari warga atau institusi yang berani melawan. 

Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo

Antisemitisme yang diterapkan oleh rezim Nazi adalah salah satu bentuk kebencian terhadap orang Yahudi yang paling ekstrem dalam sejarah. Nazi, di bawah kepemimpinan Adolf Hitler, memperkenalkan ideologi rasis yang menggambarkan orang Yahudi sebagai musuh utama bangsa Jerman dan peradaban manusia secara keseluruhan. Pemikiran antisemit ini menjadi dasar untuk kebijakan diskriminasi, kekerasan, dan pengusiran yang mengarah pada Holocaust, pembantaian sistematis terhadap enam juta orang Yahudi oleh Nazi selama Perang Dunia II. 

Nazi, melalui ideologi mereka yang dikenal sebagai "rasialisme," menganggap ras Yahudi sebagai ras yang inferior. Menurut pandangan Nazi, ras Arya (terutama orang Jerman) dianggap sebagai ras unggul, sementara orang Yahudi digambarkan sebagai parasit sosial dan ancaman bagi kemurnian rasial Jerman. Hitler dan para pemimpin Nazi berpendapat bahwa orang Yahudi adalah penyebab banyak masalah sosial, politik, dan ekonomi yang dihadapi Jerman, termasuk keruntuhan negara pasca-Perang Dunia I dan krisis ekonomi global. 

Salah satu langkah pertama yang diambil oleh rezim Nazi untuk menerapkan kebijakan antisemit adalah dengan mengeluarkan Undang-Undang Nuremberg pada tahun 1935. Undang-undang ini secara resmi mengklasifikasikan orang Yahudi sebagai "ras rendah" dan menetapkan berbagai pembatasan yang membatasi hak-hak mereka. Orang Yahudi dilarang menikah atau berhubungan seks dengan orang Jerman non-Yahudi, mereka tidak boleh bekerja di sektor publik, dan mereka kehilangan kewarganegaraan Jerman. Undang-undang ini merupakan landasan legal untuk diskriminasi yang lebih luas terhadap orang Yahudi di bawah Nazi. 

Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo
Dokpri_Prof Apollo

Antiintelektualisme yang diterapkan oleh rezim Nazi adalah upaya sistematis untuk menekan pemikiran kritis, kebebasan intelektual, dan kemajuan ilmu pengetahuan yang tidak sejalan dengan ideologi mereka. Nazi menolak banyak aspek kemajuan intelektual dan ilmiah yang bertentangan dengan keyakinan mereka, terutama yang berhubungan dengan ras, politik, dan budaya.

Nazi sangat menentang ilmu pengetahuan yang tidak sesuai dengan pandangan rasialis mereka, terutama teori ilmiah yang menentang gagasan tentang superioritas ras Arya. Misalnya, mereka menolak teori evolusi dan mengabaikan prinsip-prinsip biologi yang tidak mendukung pemikiran mereka tentang "ras unggul." Ilmu sosial dan psikologi yang mendukung kesetaraan ras atau yang mengkritik struktur hierarkis yang diinginkan oleh Nazi juga dihancurkan. Sebaliknya, mereka mempromosikan teori-teori rasis, seperti eugenika dan "ilmuwan rasial," yang mendukung gagasan tentang pemurnian ras dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang dianggap inferior. 

Rezim Nazi mengubah sistem pendidikan untuk memastikan bahwa hanya ideologi mereka yang diajarkan. Mereka memperkenalkan kurikulum yang menekankan nilai-nilai Nazi, termasuk kebanggaan rasial Arya, ketundukan pada negara, dan supremasi Hitler. Sekolah-sekolah dan universitas diawasi ketat, dan dosen atau profesor yang dianggap memiliki pandangan liberal atau tidak sejalan dengan Nazi dipecat atau dipenjara. Pendidikan dipengaruhi untuk mendidik generasi muda Jerman agar mendukung ideologi Nazi dan mengabaikan pemikiran kritis atau ilmiah yang bertentangan dengan pandangan negara. 

Antiintelektualisme Nazi adalah upaya yang sangat sistematis untuk menghilangkan kebebasan berpikir, meredam kemajuan ilmiah yang bertentangan dengan ideologi mereka, dan mendominasi masyarakat dengan pandangan dunia yang sempit dan penuh kebohongan. Melalui pengendalian pendidikan, media, seni, dan ilmu pengetahuan, mereka menciptakan suatu iklim di mana pemikiran kritis dan kebebasan intelektual tidak hanya dihentikan, tetapi dihancurkan sepenuhnya, demi mendukung kekuasaan totaliter mereka. 

Daftar Pustaka :

Inside Hitler's High Command by Geoffrey Megargee (University Press of Kansas, 2000) 

Hitler, A. (1925). Mein Kampf. 

Weinberg, G. L. (1995). A World at Arms: A Global History of World War II. Cambridge University Press. 

Mazower, M. (2008). Hitler's Empire: How the Nazis Ruled Europe. Penguin Press. 

Goldhagen, D. J. (1996). Hitler's Willing Executioners: Ordinary Germans and the Holocaust. Alfred A. Knopf. 

Dokpri_Prof Apollo (2024) Dirkusus  Kemimpinan Gaya Leadership Adolf Hitler

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun