"Sinamun Ing Samudana" (Kekuatan yang Tersembunyi)
Kepemimpinannya juga ditandai dengan prinsip "sinamun ing samudana", yang berarti kekuatan yang tidak selalu terlihat namun hadir dalam setiap tindakan. Sosrokartono sering kali memimpin dengan kehalusan, menggunakan pengaruh intelektual dan kekuatan batin alih-alih kekuasaan yang keras atau paksaan. Kepemimpinannya tidak terlihat menonjol secara fisik, namun dampaknya terasa mendalam dan berjangka panjang.
"Nglurug Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake" (Menyerang Tanpa Pasukan, Menang Tanpa Merendahkan)
Sosrokartono juga dikenal dengan prinsip "nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake", yang berarti ia dapat mencapai tujuannya tanpa menggunakan kekerasan atau penghinaan terhadap pihak lain. Kepemimpinannya bersifat diplomatis dan berwibawa, di mana ia lebih memilih negosiasi, dialog, dan pendekatan damai dalam menyelesaikan masalah, sehingga kemenangan yang diraih tidak merendahkan orang lain, tetapi justru menciptakan harmoni.
Sosrokartono" membahas tentang Makna Mental "Jawa". Pada bagian ini, dijelaskan bahwa istilah "Roh" atau "Mental" dalam bahasa Latin, spiritus, tidak hanya memiliki satu makna, tetapi bisa merujuk pada beberapa hal seperti semangat, nafas, batin, jiwa, sukma, kesadaran rasionalitas, dan empiris. Istilah ini dalam konteks Jawa Kuna juga bisa merujuk pada kasunyatan (kenyataan atau fakta), mirip dengan konsep Roh Dunia (Weltgeist) menurut Hegel.
Selain itu, kata "Jawa" tidak hanya berarti suku, tetapi lebih luas berarti mengerti atau memahami dengan mata batin, tanpa mengabaikan peran rasionalitas dan seni tiruan (mimesis). Dalam budaya Jawa, ini mencakup gagasan tentang cara hidup yang diinternalisasikan dalam tindakan sehari-hari (lelaku). Misalnya, orang dari berbagai latar belakang, seperti Jerman, Jepang, India, Batak, Ambon, Papua, dan lain-lain, bisa mengambil cara hidup seperti orang Jawa, atau sebaliknya, orang Jawa bisa hidup tanpa menerapkan nilai-nilai Jawani.
Jadi, "Jawa" bukan sekadar identitas suku, tetapi lebih kepada cara hidup yang berlandaskan pemahaman batin dan kesadaran spiritual.
Nilai filosofis Kejawen atau Jawa dikemukakan dengan penekanan pada perjalanan individu menuju kesempurnaan. Tokoh Werkudara (Bima) dalam cerita Dewaruci menjadi simbol perjalanan ini, yang dibagi menjadi empat tahap:
1. Syariat:
- Merupakan tahap yang paling dasar, mencakup aspek tindakan fisik dan norma-norma yang terkait dengan praktik keagamaan. Dalam konteks ini, individu diajarkan untuk menjalankan syariat agama secara baik dan benar.
- Contoh: Menghadiri shalat, melaksanakan puasa, dan mengikuti perayaan keagamaan lainnya. Dalam praktik sehari-hari, ini mencakup kebiasaan seperti memberi sedekah atau menjaga kebersihan lingkungan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial.