Biar! Biar saja nantinya para pengurus jenazah di kampung ini sibuk membatin. Dosa apa orang ini? Apa yang telah dilakukan almarhum hingga mendapat azab demikian parah? Lantas, pelayat-pelayat yang mencium bau sangit juga akan menyempatkan diri berbisik-bisik, menebar segala prasangka. Mungkin karena ini atau itu.
Sementara, Bang Sad yang terkenal temperamen, cuma bisa membisu. Boro-boro membela diri, arwahnya malah gentayangan. Dia bakal jadi hantu yang sibuk mendatangi para pecandu mobile legend, memaksa mereka agar diperbolehkan main bersama. Hahaha.Â
Sepiring munjung nasi goreng sudah siap. Satu mug teh manis hangat telah tersaji sebelumnya. Sambil menyodorkan hidangan, Mumun berkata, "Sarapan, Bang. Segini cukup, kan? Beras kita abis. Mumun belom beli lagi."
"Ya beli, gih. Gitu aja repot. Elu kan, punya duit dari dagang kue."
Mumun cuma mengangguk dan menikmati sarapannya yang cuma seujung centong--sekitar enam sendok makan saja. Nasi goreng tanpa telur. Prihatin.Â
Sungguh menyebalkan melihat Bang Sad makan. Dia menyantap semua makanan seolah-olah tubuhnya butuh energi ekstra untuk kerja berat. Padahal, seperti yang sudah-sudah, sehabis sarapan lelaki itu akan tidur pulas karena kekenyangan. Begini biasanya Sadeli berdalih, "Semalem gue gak bisa tidur, Mun." Jelas saja tidak tidur, dia sibuk bermain game online. Aku saksinya.
Satu atau dua jam Bang Sad akan terlelap. Kemudian, kembali tekun dengan ponselnya seharian sambil ditemani sinetron atau gosip selebriti. Lupa pada kewajibannya mencari nafkah. Ah, bukan! Bukan lupa. Aku yakin, dia ingat betul soal itu, tetapi punya seribu alasan untuk mengabaikan.Â
Toh, selama ini Mumun tidak pernah protes. Bahkan laki-laki tambur itu bisa makan enak, tidur nyenyak dan bercinta kapan pun hasrat memuncak. Tanpa pernah tahu, diam-diam Mumun berurai air mata di kamar mandi. Tanpa pernah pula mau berbagi pekerjaan rumah agar istrinya tak terus menerus lelah.Â
Di pikiran Bang Sad, semata-mata karena doanyalah langit menurunkan hujan rezeki berupa nasi padang, bakwan dan capucinno cincau. Tak ada hubungannya dengan peluh lelah Mumun. Tak ada sangkut pautnya dengan rintih doa seorang istri di sela-sela nyeri sendi.
"Bang, antar Mumun ke kantin, yok!" pinta sang istri setelah melihat Bang Sad selesai makan.
"Sendiri aja, sono! Gue mager, ngantuk nih."