"Kami semua pasti berdoa untuk Uti. Dengan atau tanpa Alfatihah."
Perempuan delapan puluh tiga tahun itu terdiam. Bening duka belum berhenti mengalir dari mata. Pandangannya kosong. Teramat kosong.Â
Sejak pemakaman Bapak, Eyang Uti tampak selalu murung dan lebih sering menyendiri. Kehilangan yang begitu dalam.Â
"Kalo nanti aku juga pergi, copot saja semua salib di rumah ini." Begitu pesannya.
Eyang Uti benar-benar pergi, 40 hari setelah kepulangan Bapak ke rahmatullah. Kami melepasnya seperti ajaran yang ia yakini. Mendoakan nenek sebaik-baiknya kehidupan di alam baka. Aku dan Ibu meyakini satu hal penting. Allah Maha Baik dan tidak akan ada doa baik yang sia-sia.Â
Aku sendiri yang kemudian mencopot salib-salib di rumah Eyang Uti. Rumah yang masih dihuni Ibu dan adik bungsuku. Kami menyimpannya di lemari nenek. Sebagai kenang-kenangan. Bahwa mengenang nenek berarti mengenang pernah ada perbedaan iman yang tak jadi penghalang berbaktinya seorang anak pada orang tua.Â
TAMAT
Jakarta, 16 April 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H