Kenangan bersama Eyang Uti juga berarti tentang catatan-catatan kesedihannya. Nenek sangat terpukul mengetahui Bapak terkena stroke. Setiap hari ia berdoa memohon kesembuhan Bapak. Suaranya lirih, diselingi isak yang membuat dada sesak. Tidak ada jeda antara sebaris pinta dan air mata.Â
Aku masih ingat kata-kata Eyang Uti di hari pemakaman Bapak. Ia ucapkan sesaat setelah jenazah anak sulungnya itu disalatkan. Dua kalimat perpisahan yang sontak membuat dukacita kami semakin dalam.Â
"Dulu, aku pikir, aku kehilangan anak sewaktu dia memilih Islam. Ternyata inilah kehilangan yang sebenar-benarnya."
Pandangan Eyang Uti tidak beralih sedetik pun dari keranda. Air mata menganak sungai di pipinya. Bibir nenekku itu bergetar dan aku yakin masih banyak yang ingin ia katakan.
"Dia masih bocah. Nguyuh ae durung lempeng! Sok-sokan pingin jadi muslim!"
Bapak memang pernah cerita. Ia bahkan belum balig ketika jatuh cinta pada Islam. Baru berumur sebelas tahun. Eyang Uti juga Eyang Kakung marah besar karena Bapak tak pernah sembunyi-sembunyi dengan keyakinannya. Belajar membaca Al-Quran sambil bersandar di dinding bersalib adalah hal biasa.
"Aku ndak kehilangan anak. Malah dia yang tetap ada buatku, sebesar apapun kemarahanku."
Berjalan tertatih-tatih, Eyang Uti bersikeras ingin mengantar Bapak sampai liang lahat. Menangkupkan kedua tangan, ia juga ikut mengaminkan doa-doa kami.
"Aku bersaksi, Fred orang baik. Jalan baktinya padaku semoga menjadi surga buatnya. Amin."
Di perjalanan pulang, Eyang Uti bertanya, "Apa kamu juga bakal kirim Alfatihah, kalo Uti mati?"
Pertanyaan sulit.